Perjuangkan Kemerdekaan, dari Teks Jadi Kenyataan! Oleh Prima Mari Kristanto, warga Muhammadyah Lamongan.
PWMU.CO – Secarik tulisan naskah Proklamasi Kemerdekaan yang dikonsep Sukarno, Muhammad Hatta, dan kawan-kawan, yang kemudian dibaca Sukarno pada 17 Agustus 1945 menandai lahirnya bangsa dan negara Indonesia.
Dari tahun 1945 sejak pembacaan naskah proklamasi hingga tahun 2021, negara Indonesia telah menginjak usia 76 tahun. Keberadaan Indonesia perlu disyukuri sebagai berkat rahmat Allah Yang Maha Kuasa sebagaimana tertulis pada Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945.
Program kerja bersama seluruh elemen bangsa sebagai bentuk perjuangan di alam kemerdekaan mewujudkan cita-cita ideal negara Indonesia telah ditulis para pendiri bangsa. Perjuangan mengurangi ketergantungan utang luar negeri, ketergantungan impor produk sandang, pangan, dan papan. Sementara ekspornya didominasi barang mentah dan barang jadi yang murah.
Pandemi covid-19 yang belum reda bahkan sempat menjadikan Indonesia pusat penularan virus di Asia sebagai ladang perjuangan.
Pungguk Merindukan Bulan
Melihat situasi dan kondisi terkini Indonesia dibandingkan cita-cita kemerdekaan yang tertulis dalam Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945 masih sangat jauh, bak pungguk merindukan bulan.
Namun demikian masyarakat wajib memiliki harapan terwujudnya kondisi lebih baik di masa depan. Tulisan cita-cita ideal bangsa dan negara Indonesia dalam Undang-Undang Dasar 1945 telah melalui proses yang panjang sebelum ditetapkan pada 18 Agustus 1945, satu hari setelah proklamasi 17 Agustus 945.
Melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia, memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa dan ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan perdamaian abadi dan keadilan sosial, menjadi tugas pemerintah mewujudkan kualitas bangsa dan negara Indonesia yang ideal.
Tidak ada yang salah dengan cita-cita tertulis buatan para pendiri bangsa. Konsep tentang kemerdekaan juga keberadaan negara dan bangsa Indonesia sudah lama ada sebelum dimusyawarahkan secara resmi dalam Badan Penyelidik Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI), Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia dan Komite Nasional Indonesia Pusat (KNPI).
Kapan Nama Indonesia Muncul
Sebelum 17 Agusus 945, Indonesia tidak ada meskipun wilayahnya ada. Hanya ada di tulisan-tulisan dan perkataan. Indonesia baru benar-benar ada dan diakui keberadaannya setelah melalui perjuangan panjang propaganda, pertempuranm hingga perundingan.
Tidak mudah mewujudkan hadirnya bangsa dan negara Indonesia, sejak nama Indonesia ‘ditemukan’ sebagai pengganti kata Hindia Belanda untuk wilayah kepulauan yang membentang dari Sumatera sampai Papua.
Sarekat Islam sebagai gerakan politik besar yang berdiri sejak tahun 1911 dalam memperjuangkan masa depan masyarakat bumiputra masih menggunakan kata Hindia untuk surat kabar Suara Hindia sebagai media propagandanya.
Demikian juga pergerakan mahasiswa di Belanda yang dipelopori Mohammad Hatta dan kawan-kawan masih menggunakan nama Indische Verenigde (Perhimpunan Hindia) pada awal tahun 1920-an.
Pertengahan hingga akhir tahun 1920-an kata Indonesia semakin sering digunakan sebagai identitas bangsa yang mendiami wilayah negara yang masih bernama Hindia Belanda. Indonesia telah hadir dalam perhimpunan, perkataan, angan-angan dan tulisan, Perhimpunan Indonesia, Partai Nasional Indonesia, Indonesie Vrij, “Indonesia Menggugat” dan sebagainya.
Indonesie Vrij terbit tahun 1925 sebagai surat kabar terbitan Perhimpunan Indonesia di Belanda juga menjadi judul pleidoi Mohammad Hatta di pengadilan Belanda tahun 1928. Indonesia Menggugat ditulis Sukarno sebagai pleidoi di pengadilan Bandung tahun 1930 yang kemudian menjadi buku diterbitkan oleh Haji Umar Said Cokroaminoto. Peristiwa Sumpah Pemuda 28 Oktober 1928 salah satu yang menjadikan kata Indonesia semakin menggema bersama dinyanyikannya mars Indonesia Raya.
Ormas Muhammadiyah disebut ikut mempopulerkan nama Indonesia melalui tulisan-tulisan di media Suara Muhammadiyah. Tidak ketinggalan para pegiat olahraga khususnya sepakbola ikut menyematkan kata Indonesia pada nama perkumpulan sebagai bentuk dukungan. Persatuan Sepakbola Indonesia Jakarta (Persija), Persatuan Sepakbola Indonesia Bandung (Persib), Persatuan Sepakbola Indonesia Semarang (PSIS), Persatuan Sepakbola Indonesia Surabaya (Persibaya) dan lainya ikut berjuang populerkan nama Indonesia.
Menjaga Cita-Cita di Era Milenial
Pentingnya terus menjaga nama dan cita-cita Indonesia di era milenial sebagaimana dilakukan banyak elemen masyarakat pada masa kolonial. Era milenial dan globalisasi yang didengungkan banyak negara sangat mungkin dijadikan pintu imperialisme dan kolonialisme model baru.
Ketika keberadaan imperialisme dan kolonialisme model baru tidak disadari, Indonesia diyakini akan tetap ada dan berdiri di wilayah yang sama, tetapi dengan cita-cita atau orientasi berbeda. Cita-cita mewujudkan masyarakat yang adil dan makmur bisa berganti orientasi hanya dengan mewujudkan sebanyak-banyaknya infrastruktur melayani kepentingan pemodal.
Keberadaan infrastruktur yang tidak sebanding dengan kebutuhan dan kemampuan ekonomi masyarakat dalam negeri berpotensi menciptakan kesenjangan sosial ekonomi yang tinggi. Apalagi jika didanai dari utang luar negeri dalam jumlah terlalu besar.
Untuk menjaga agar Indonesia tetap ada dan benar-benar ada—bukan sekedar nama—falsafah bangsa dan negara yaitu Pancasila sebagai landasan ideologi penting untuk terus-menerus dipromosikan.
Sejak berdirinya bangsa dan negara Indonesia, Pancasila mengalami dan melalui banyak cobaan multitafsir dari pemerintahan pertama sampai terkini. Pancasila pernah ditafsirkan dengan Nasakom, dijadikan Asas Tunggal, ditanamkan dengan bentuk penataran Pedoman Penghayatan dan Pengamalan Pancasila (P4), usulan untuk “dikompres” menjadi ekasila, trisilam dan sebagainya.
Dalam beragam penafsiran, penghayatan, dan pengamalan Pancasila dari periode ke periode pemerintahan, tidak bijak jika hanya menyalahkan masa lalu yang belum sempurna dalam menjadikan Pancasila sebagai landasan ideologi mewujudkan cita-cita negara dan bangsa.
Tidak ada yang salah dengan Pancasila sebagai landasan ideologi, seringkali yang terjadi adalah salah penafsiran disebabkan ambisi jangka pendek dengan orientasi politik praktis dan ekonomis.
Seluruh elemen bangsa berhak dan berkewajiban menawarkan alternatif tafsir penghayatan dan pengamalan Pancasila sebagaimana Persyarikatan Muhammadiyah menawarkan konsep Darul Ahdi wa-Syahadah.
Tawaran konsep dan narasi agar Pancasia dan UUD 1945 tetap selaras dengan perkembangan zaman sangat dinantikan dibandingkan sekedar jargon NKRI Harga Mati misalnya tetapi minim tafsir dan penjabaran. Apalagi jika disertai intimidasi, ancaman, atau pemberian stigma radikal, teroris, kontrarevolusi dan sebagainya, pada yang berbeda pendapat dalam usaha ikut “menyumbang” narasi Indonesia lebih baik.
Kata dan cita-cita Indonesia perlu terus dijaga dengan sebanyak mungkin tulisan agar tidak lekas hilang dari ingatan. Indonesia sebagai hasil kesepakatan ulama, cendekiawan, pejuang, pemimpin-pemimpin daerah serta kerajaan baru menginjak usia 76 tahun. Periode yang singkat dibandingkan “negara” Hindia Belanda yang mampu bertahan selama 142 tahun dari tahun 1800 hingga 1942. Juga sangat belia dibandingkan Amerika Serikat yang berdiri dan bertahan sejak tahun 1776, Perancis sejak Revolusi 1789 dan Inggris yang setia dengan konstitusi Magna Carta sejak tahun 1215.
Indonesia bisa “sedikit” bangga, lebih dahulu merdeka dibandingkan India yang merdeka tahun 1947, Republik Rakyat Cina berdasarkan komunisme tahun 1949, Malaysia merdeka dari Inggris tahun 1957. Semua bangsa, negara dan peradaban memiliki potensi bertahan, berkembang bahkan tumbang sebagaimana Uni Soviet, Yugoslavia, Daulah Utsmani dan lain-lain jika tidak serius menjaga cita-cita konstitusi, Naudzubillahimindzalik. (*)
Editor Mohammaad Nurfatoni