Jalan Berliku Pak AR agar Muhammadiyah Tetap Selamat, oleh M. Anwar Djaelani, peminat biografi tokoh Islam, tnggal di Sidoarjo.
PWMU.CO – Di keseharian Pak AR luas diterima, tak hanya di Muhammadiyah saja. Hal ini, antara lain karena performa Pak AR yang selalu memancarkan kesejukan dalam bergaul. Meski dikenal sejuk bahkan jenaka, Pak AR tetap teguh memegang prinsip.
Jejak Kependidikan
Pak AR ulama kharismatik yang senantiasa mengedepankan sikap ikhlas, sabar, syukur, dan tawakal dalam berdakwah. Di Muhammadiyah beliau dipercaya menjadi Ketua (Umum) Pimpinan Pusat dalam waktu sangat lama, 1968-1990.
Abdur Rozaq Fachruddin, nama aslinya. KH AR Fachruddin, nama setelah aktif di dunia dakwah. Pak AR, sapaan akrabnya. Beliau lahir pada 14 Februari 1916 di Purwanggan Yogyakarta.
Pendidikan Pak AR dimulai pada 1923, dengan bersekolah di Standaarschool Muhammadiyah Bausasran Yogyakarta. Pada 1925 Pak AR pindah ke Standaarschool Muhammadiyah Prenggan Kotagede Yogyakarta.
Setelah lulus dari Standaarschool Muhammadiyah Prenggan, pada 1928 Pak AR melanjutkan ke Madrasah Mu’allimin Muhammadiyah Yogyakarta yang hanya ditempuhnya selama dua tahun saja.
Dia kemudian melanjutkan belajar di Madrasah Darul Ulum Muhammadiyah Wanaperi, Sewugalur, Kulonprogo hingga 1935. Selanjutnya pada tahun yang sama dia melanjutkan ke Madrasah Tablighschool (sekarang Madrasah Mubalighin Muhammadiyah) III.
Menjadi Guru
Memasuki masa pengabdian di tengah-tengah masyarakat, Pak AR menetap lama di Sumatera Selatan. Di sana beliau menjadi guru agama dan mengembangkan Muhammadiyah. Jejaknya dapat ditemukan di Tanjungbalai (sekarang, Ogan Komering Ilir). Di sana dia mendirikan Sekolah Wustha Mu’allimin Muhammadiyah (setingkat SMP) pada tahun 1936. Pada tahun 1938, dia mengembangkan hal serupa di Kulak Pajek, Sekayu, Musi Ilir (sekarang, Musi Banyuasin).
Pada 1941 Pak AR pindah ke Palembang. Di sana Pak AR bertugas sebagai pengajar Hollandsch- Inlandsche School (HIS) Muhammadiyah yang setingkat dengan SD. Saat Jepang menyerbu pabrik minyak Sungai Gerong, Pak AR dipindahkan mengajar di Sekolah Muhammadiyah Muara Maranjat – Tanjung Raja Palembang Sumatera Selatan sampai 1944.
Riwayat Keorganisasian
Pak AR menjadi Pimpinan Muhammadiyah Kotamadya Yogyakarta pada 1952. Kemudian, pada 1953, diangkat menjadi Pimpinan Muhammadiyah Daerah Istimewa Yogyakarta.
Kali pertama Pak AR menjabat sebagai Ketua (Umum) Pimpinan Pusat (PP) Muhammadiyah saat menggantikan KH Faqih Usman. Ini terjadi karena KH Faqih Usman wafat hanya beberapa hari setelah terpilih menjadi Ketua (Umum) PP Muhammadiyah dalam Muktamar Muhammadiyah ke-37 tahun 1968 di Yogyakarta.
Sidang Tanwir Muhammadiyah pada 1969 di Ponorogo menetetapkan Pak AR menjadi Ketua Umum PP Muhammadiyah. Selanjutnya, pada Muktamar Muhammadiyah ke-38 tahun 1971 di Makassar, Pak AR terpilih menjadi Ketua Umum PP Muhammadiyah untuk periode 1971-1974.
Masalah Berbuah Berkah
Pak AR harus melalui jalan berliku agar Muhammadiyah tetap bergerak. Banyak tantangan, tapi dapat dilaluinya dengan baik. Cermati salah satu fragmen berikut.
Pada tahun 1970-an, Menteri Dalam Negeri Amir Machmud mengeluarkan peraturan bahwa semua pegawai negeri dan pegawai perusahaan negara harus menjadi anggota Korps Pegawai Republik Indonesia (Korpri) dan dilarang menjadi anggota organisasi lain termasuk menjadi anggota Muhammadiyah.
Tentu saja, kebijakan tersebut sangat berpengaruh bagi Muhammadiyah sebab banyak pengurus Muhammadiyah yang berstatus pegawai negeri. Mereka lalu terpaksa mengundurkan diri. Akibatnya, kegiatan Muhammadiyah di banyak tempat menurun drastis. Bahkan, ada yang mati karena semua pengurusnya pegawai negeri.
Atas situasi itu, Muhammadiyah perlu melakukan sesuatu, harus proaktif. Sikap lalu diambil, PP Muhammadiyah menugasi Pak AR menemui Menteri Dalam Negeri Amir Mahmud untuk “minta kebijakan”.
Meski sadar bahwa tugas ini berat, Pak AR kuat berusaha. Beliau mencoba menawar.
“Baiklah, Pak Amir! Kalau terpaksa anggota Muhammadiyah yang menjadi pegawai negeri harus mengundurkan diri, saya mohon bekas-bekas anggota Muhammadiyah itu diperbolehkan mengadakan pengajian,” usul Pak AR dengan santun.
“Oh, kalau itu tidak ada masalah. Kalau mereka mau mengadakan pengajian, malah saya bantu,” respon Amir Machmud.
“Betulkah,” tanya Pak AR.
“Betul. Saya ini perwira, jadi tidak akan bohong,” tegas Amir Machmud.
“Kalau begitu, saya pamit dan terima kasih,” kata Pak AR.
Setelah itu, Pak AR berkeliling ke daerah-daerah. Beliau hubungi para Pimpinan Daerah Muhammadiyah supaya mereka yang menjadi pegawai negeri mengadakan pengajian di kantor tempat kerja masing-masing.
Atas pilihan dakwah model Pak AR itu, maka bermunculan-lah pengajian di kantor-kantor pemerintah. Juga, shalat Jum’at diadakan dan pembangunan tempat ibadah diusahakan. Hal yang kemudian terjadi, kegiatan keagamaan malah menjadi subur (Huda, 2012: h. 34-35).
Kias yang Menyelamatkan
Oleh karena dipercaya, Pak AR memimpin Muhammadiyah dalam waktu lama. Pernah, di salah satu periode kepemimpinannya, Muhammadiyah berada pada situasi sulit. Kala itu, terjadi ketegangan antara umat Islam dengan pemerintah, yaitu ketika pemerintah memberlakukan asas tunggal Pancasila.
Dengan mengedepankan pola komunikasi yang santun, Pak AR berhasil mengurai ketegangan antara Muhammadiyah dengan pemerintah ini. Kisah tersebut, seperti tergambar berikut ini.
Sebagaimana organisasi lain, Muhammadiyah terkena kewajiban harus berasas tunggal Pancasila. Ketetapan dari pemerintah ini menimbulkan benih perpecahan di Muhammadiyah. Tak sedikit tokoh yang mengancam keluar jika Muhammadiyah mengganti asasnya dari Islam ke Pancasila.
Pak AR lalu datang ke Pak Harto (presiden ketika itu), berdialog dengan akrab. Kemudian, muncullah kias dari Pak AR bahwa Muhammadiyah menerima kewajiban asas tunggal seperti pengendara sepeda motor menerima kewajiban memakai helm sekadar supaya tidak kena tilang.
Singkat kisah, Muhammadiyah berasas Pancasila. Hanya saja, di Anggaran Dasar tetap tertulis sebagai organisasi Islam dan berakidah Islam (Huda, 2012: h. 35-36).
Luas Diterima
Pak AR itu halus saat berkata-kata, santun ketika berinteraksi, dan bijak kala bersikap. Dengan performa seperti itu, Pak AR telah menjadi teladan bagi masyarakat luas dan menjadi model kepemimpinan bagi tokoh-tokoh masyarakat.
Selama menjadi Ketua Umum Muhammadiyah, Pak AR tidak saja telah menjadi pemimpin bagi umat Islam tetapi juga bagi semua kalangan. Seorang Romo sepuh di Katolik, misalnya, pernah menyampaikan kesannya bahwa “Muhammadiyah dalam kepemimpinan Pak AR sungguh menjadi penerus suara hati kami warga Kristiani”.
Hampir semua pengikut agama Indonesia merasa Pak AR juga pemimpin mereka, meskipun kita tahu tak sedikitpun terjadi perubahan sikap keagamaan pada dirinya. Simaklah pandangan Pak AR berikut ini: “Muhammadiyah mengerti dan tahu benar-benar bahwa masyarakat tidaklah terdiri dari orang-orang sepaham saja.
Meskipun demikian, hormat-menghormati, harga-menghargai wajiblah diwujudkan. Sebaliknya, hina-menghina, tindas-menindas, saling-menganiaya, wajib disingkirkan. Sifat-sifat semacam itu adalah salah satu sifat masyarakat Islam yang harus diwajibkan” (Rohma dan Budiman, 2009: xi-xii).
Penulis Produktif
Pak AR termasuk produktif menulis buku. Di antara judul yang telah diterbitkannya adalah: Upaya Mewujudkan Muhammadiyah sebagai Gerakan Amal, Pemikiran dan Dakwah Islam, dan Syahadatain Kawedar.
Ada juga judul: Tanya-Jawab Entheng-Enthengan, Muhammadiyah adalah Organisasi Dakwah Islamiyah, Menuju Muhammadiyah, Kembali kepada Al-Qur’an dan Hadits, Khutbah Nikah dan Terjemahnya, dan lain-lainnya (Ensiklopedi Muhammadiyah, 2015: h. 142).
Demikianlah, sekilas kisah hidup dan kepejuangan Pak AR. Sebuah riwayat yang penuh dengan keteladanan: Beliau pribadi yang suka belajar, bersedia berdakwah ke mana saja, selalu mendahulukan kepentingan umat, setia menjaga amanah organisasi, pandai menemukan jalan keluar atas sebuah masalah, dan hidup sederhana. (*)
Jalan Berliku Pak AR agar Muhammadiyah Tetap Selamat: Editor Mohammad Nurfatoni