Didiklah Generasi Alfa sesuai Zamannya! Ditulis oleh Ir Dodik Priyambada SAkt, Ketua Majelis Pendidikan Dasar dan Menengah Pimpinan Daerah Muhammadiyah Gresik.
PWMU.CO – Kehadiran Edutabmu perlu kita sambut dengan suka-cita. Aplikasi belajar tanpa internet produk kerja sama Lazismu dengan Enuma Inc itu bakal bisa mengatasi beberapa kendala pembelajaran jarak jauh (PJJ) di masa pandemia Covid-19.
Mengutip berita PWMU.CO, Edutabmu adalah aplikasi untuk siswa usia dini hingga siswa kelas I-II sekolah dasar. Berbasis tablet, aplikasi ini berisikan ratusan buku, gambar, cerita, serta permainan literasi, numerasi, dan bahasa.
Dengan dikemas melalui prinsip pembelajaran yang menyenangkan, interaktif, mengasyikkan, dan mencerahkan, Edutabmu akan bisa mengatasi problem PJJ.
Selama ini salah satu kendala dalam PJJ adalah jaringan internet. Bukan saja soal keterbatasan paket kuota, melainkan juga lemah, atau tidak adanya, koneksi internet yang memadai di berbagai dareah.
Tapi selain soal koneksi internet, jujur harus diakui jika tidak optimalnya PJJ sebernaya karena ada asumsi bahwa metode pembelajaran tatap muka (PTM) merupakan satu-satunya cara yang efektif bagi anak usia PAUD, TK/RA, dan SD/MI.
Asumsi itu kemudian berkembang dalam bentuk penolakan guru dan orangtua terhadap pembelajaran PJJ, dengan alasan: anak-anak jenuh dan ingin masuk sekolah. Padahal sebenarnya alasan itu tidak fundamental.
Yang sejatinya terjadi adalah sekolah tidak siap memfasilitasi PJJ dan atau orangtua yang tidak memahami PJJ serta tak mampu menyelami karakter anaknya. Memang ada kondisi riil tentang ketersediaan gawai akibat ekonomi keluarga yang kurang mampu atau kondisi keuangan sekolah yang pas-pasan membuat PJJ menjadi problem. Namun, itu bukan problem peserta didik.
Saat ini sudah terjadi perubahan komposisi siswa, terutama di tingkat PAUD, TK/RA, dan SD/MI. Para siswa di jenjang itu disebut Generasi Alfa yang lahir dengan gawai sebagai alat utama hidupnya.
Teori Generasi
Generasi adalah sekelompok individu yang mengidentifikasi kelompok berdasarkan kesamaan rentang: tahun kelahiran, umur, lokasi, dan kejadian-kejadian dalam kehidupan yang memiliki pengaruh signifikan pada fase pertumbuhan mereka.
Pembagian generasi yang sudah dikenal saat ini—seperti teori generasi yang dikemukakan oleh Graeme Codrington & Sue Grant-Marshall (2004)—adalah Generasi Baby Boomers (kelahiran 1946–1964); Generasi X atau Baby Bust (1965-1979), Generasi Y atau milenial (1980 -1994), Generasi Z (1995–2009) dan yang terbaru adalah Generasi Alfa (2010-2024).
Dari data penduduk Indonesia di atas, (catatan ada pembagian rentang tahun yang berbeda) menunjukkan bahwa di tahun 2020 Generasi Alfa kurang lebih sudah berjumlah 29.7 juta jiwa atau 10.88 persen dari jumlah penduduk Indonesia.
Besarnya persentasi itu tidak bisa diabaikan begitu saja. Sebab perubahan komposisi generasi pada peserta didik atau siswa bukan sekadar perbedaan tahun kelahiran, tetapi juga ada perbedaan sifat dan karakteristiknya.
Hal ini mengharuskan sekolah dan para guru, juga orangtua, untuk melakukan penyesuaian dan perubahan strategi pembelajaran yang berbeda dari pola yang diterapkan pada generasi sebelumnya.
Generasi Alfa
Generasi Alfa adalah generasi pertama yang benar-benar hidup berdampingan dengan teknologi canggih sejak lahir. Mereka seolah terlahir dengan bekal kemampuan dasar penggunaan teknologi sebagai alat hidupnya. Karena itu mereka juga disebut sebagai Generasi Digital.
Di beberapa negara saat ini, sudah menambahkan pelajaran pemrograman komputer di kurikulum nasionalnya untuk pembelajaran tingkatan sekolah dasar dan menengah. Hal tersebut dimaksudkan untuk menyiapkan kemampuan penguasaan teknologi sejak dini untuk membentuk karakter siswa yang kreatif dan mampu menggunakan teknologi sebagai alat untuk menghasilkan solusi untuk pemecahan masalah hidup mereka.
Generasi Alfa memilki kemudahan akses dan komunikasi global yang memungkinkan mereka memperluas kemampuan linguistik mereka dengan jangkauan yang lebih luas dan varian lebih banyak, sehingga wujud dunia tanpa batas (borderless world) menjadi semakin nyata adanya.
Sembilan Katakteristik Generasi Alfa
Generasi Alfa memiliki beberapa karateristik yang menonjol, yaitu:Mahir menggunakan gawai sejak usia dini. Bagi mereka gawai adalah bagian dari gaya hidup. Hal ini akan membuat cara berkomunikasi yang paling diminati adalah komunikasi menggunakan gawai yang berbasis internet.
Pertama, sangat memahami keadaan dunia dan lingkungannya di usia dini, seperti: cara tetap aman di sekolah, pentingnya berbagi makanan dengan orang lain, dan berlaku adil kepada semua orang dalam keberagaman dan kepedulian terhadap lingkungan.
Ini adalah hal-hal yang selama ini tidak diketahui oleh publik, bahwa sesungguhnya potensi mereka untuk berperan meningkatkan kualitas kehidupan manusia dan lingkungan adalah sangat besar dan siap untuk dikembangkan.
Kedua, sangat terdidik karena saat mereka tumbuh dan berkembang tersedia teknologi dan informasi yang instant sehingga memiliki kesempatan belajar lebih banyak dan lebih dalam. Hal ini menghasilkan sebuah generasi yang sangat pandai dan kaya informasi.
Ketiga, pembelajar yang sangat personal dan memiliki kecenderungan mencari langsung dari sumber informasi dan datanya. Mereka memiliki kemampuan untuk mengakses langsung sumber informasi dan sumber pembelajaran tersedia semakin banyak, lengkap dan ilmiah sebagai hasil dari perkembangan teknologi digital.
Keempat, mereka tidak memerlukan seseorang untuk membawa dan mengajarkan kepada mereka informasi dan pengetahuan untuk dipelajari, mereka memerlukan seseorang untuk mengarahkan agar mereka menjadi pembelajar yang memiliki budi pekerti mulia dan berorientasi pada kemanfaatan pada kehidupan.
Kelima, memiliki keinginan besar untuk mendapatkan informasi dan pengetahuan, tetapi tidak terlalu mementingkan gelar formal kependidikan. Menguasai ilmu pengetahuan dan ketrampilan khusus lebih menjadi kebutuhan mereka, daripada dorongan untuk menjadi ilmuwan dengan gelar akademis dan pengakuan formal dari masyarakat.
Keenam, lebih menyukai komunikasi audio visual (video) daripada berkomunikasi melalui email atau chatting melalui aplikasi. Inilah pintu komunikasi yang paling diminati oleh mereka.
Ketujuh, suka melakukan eksperimen atau mencoba hal-hal yang baru, sehingga mereka mudah diajak untuk melakukan penciptaan-penciptaan karya baru yang diperlukan oleh masyarakat.
Kedelapan, berpikir sangat kritis dan logis. Ini adalah sebuah kemandirian dan kemerdekaan berpikir.
Kesembilan, cederung memilih dan memiliki ketrampilan yang khusus (spesialisasi), bukan sesuatu terlalu umum dan dasar.
Delapan Cara Mendidik Generasi Alfa
Beberapa hal yang harus dilakukan oleh para pendidik dan orangtua untuk mendidik dan mendampingi Generasi Alfa:
Pertama, menanamkan budaya penggunaan gawai proporsional sesuai kebutuhan, sejak usia dini.
Pengaturan atau penjadwalan penggunakan gawai untuk kehidupan lebih seimbang dan bervariasi serta agar terhindar dari gangguan psikis yang disebut kecanduan gawai (gadget addiction) dan nomo phobia (no mobile phobia).
Generasi Alfa harus mengerti bahwa ada saat-saat tertentu yang lebih bermakna bagi mereka jika dilakukan dengan tanpa hadirnya gawai di sisinya. Misalnya: berkendara, beribadah, berolahraga, bercengkerama dengan keluarga, dan momen-momen sejenis lainya.
Kedua, menghadirkan peran guru dan orangtua sebagai teman akrab yang siap menerima curahan hati dan keluh kesah seorang Generasi Alfa.
Generasi Alfa rawan terhadap gangguan psikis berupa kesendirian, kecemasan, dan depresi akibat sebagian besar waktunya berinteraksi dengan informasi tentang perkembangan dunia sekitarnya selalu bergerak cepat akibat perkembangan teknologi yang memicu perubahan sosial, ekonomi dan budaya masyarakat.
Generasi Alfa seperti generasi sebelumnya yaitu Generasi Z, memiliki sifat FOMO (fear of missing out) yaitu ketakutan dan kegelisahan terlewatkan (informasi) atas suatu yang selalu diperolehnya secara on line menggunakan gawainya.
FOMO adalah sebuat sindrom dan gangguan psikis. Hal-hal inilah yang harus diantisipasi dengan menghadirkan guru dan orangtua sebagai teman akrab yang siap untuk mendampingi di saat-saat Generasi Alfa mengalami tekanan psikis dalam hidupnya.
Ketiga, memotivasi Generasi Alfa untuk memperbanyak pengalaman dan petualangan di dunia nyata sebagai penyeimbang muatan dunia maya yang penuh sesak di dalam diri mereka.
Keempat, mengajak Generasi Alfa untuk berjalan-jalan ke hutan, melihat keaneka ragaman flora-fauna, bermain di sungai, menyaksikan keberagaman manusia dan karyanya secara langsung adalah sangat penting, agar mereka tidak tercabut dari akar kehidupan nyatanya.
Mendidik Generasi Alfa lebih dominan pada bagaimana berpikir dan belajar (how to think and to learn) daripada mendidik apa yang harus difikirkan dan dipelajari (what to think dan to learn).
Generasi Alfa adalah pembelajar mandiri sehingga mutlak membutuhkan pendidikan bagaimana berpikir dan belajar yang secara benar (thinking and learning ethics), seperti: hak cipta, anti plagiarisme, agama sebagai tuntunan berfikir, dan sebagainya.
Kelima, menggunakan lebih banyak media pembelajaran audio visual.
Generasi Alfa lebih mudah menikmati dan memahami pembelajaran melalui media Audio Visual dibanding media-media yang lain. Guru seyogyanya lebih banyak menggunakan bahan ajar yang berbasis video, yang bisa diakses secara online, dan saat guru melakukan pembelajaran tatap muka, sedapat mungkin juga menggunakan media audio visual agar pembelajaran tatap muka lebih menarik bagi Generasi Alfa.
Keenam, membangun budaya komunikasi terbuka (open communication). Generasi Alfa itu memiliki pola pikir logis dan kritis, sehingga orangtua dan guru harus mengembangkan suatu budaya komunikasi yang jujur, terbuka terhadap kritik, dan apresiasi pada prestasi, agar bakat dan kelebihan mereka tumbuh, berkembang dan beretika.
Ketujuh, mengembangkan kemampuan berbahasa internasional. Generasi Alfa sangat membutuhkan kemampuan bahasa Inggris yang memadai, untuk menyerap informasi dan berkomunikasi dengan seluruh belahan dunia.
Kedelapan, mengembangkan literasi visual (visual literacy), yakni suatu kemampuan untuk membangun (to construct) suatu makna yang berasal dari gambar visual, menggunakan kecakapan mengeksplorasi, mengkritisi dan merefleksi.
Generasi Alfa sejak usia dini harus dididik untuk mengembangkan kemampuannya di dalam literasi visual agar mampu mentransformasikan pemahamannya tentang konten visual di dunia maya ke dalam kebermanfaatan dunia nyata.
Karena Generasi Alfa memang benar-benar sudah berada di sekolah kita. Maka marilah kita mendidik mereka sesuai dengan zaman dan karakteristik mereka untuk mencetak generasi yang unggul dan berkemajuan di masa depan. (*)
Didiklah Generasi Alfa sesuai Zamannya! Editor Mohammad Nurfatoni