Kisah-Kisah Pak AR yang Cerdas, Kreatif, dan Jenaka, ditulis oleh M. Anwar Djaelani, Penulis buku “Jejak Kisah Pengukir sejarah”.
PWMU.CO – Sungguh banyak kelebihan KH AR Fachruddin atau yang akrab disapa Pak AR. Misalnya, beliau cerdas serta mudah dan cepat menemukan jalan keluar dari sebuah masalah. Beliau kreatif, pandai memodifikasi hal-hal yang ada di sekitar sebagai bahan dakwah termasuk saat menjawab pertanyaan jamaah di pengajian.
Beliau yang hidup sederhana, terbilang jenaka. Sering, komentar atau jawaban Pak AR mengocok logika pihak yang mendengarnya. Spontanitas Pak AR bisa mengundang senyum bahkan tawa. Berikut ini, kita nikmati tujuh fragmen di antaranya. Kesemua kisah, dipetik dari buku “Pak AR Muballigh nDeso” (Suratmin, 2010).
Kisah “Topi Bundar”
Suatu saat, Pak AR didatangi sekelompok mahasiswa Islam yang tinggal di Ledok Tukangan Yogyakarta. Mereka mengadu kepada Pak AR. Dialognya, kurang-lebih sebagai berikut.
“Celaka,” kata mahasiswa.
“Mengapa, apa yang celaka,” tanya Pak AR.
“Kampung kami didatangi oleh pastur. Anak-anak diberi permen dan buku tulis serta diajak menyanyi gereja,” jelas mahasiswa.
“Berapa pasturnya?”
“Cuma satu!”
“Apa mereka datang setiap hari?”
“Tidak, hanya setiap hari Ahad.”
“Kamu sudah berbuat apa? Apa kamu tidak dapat mengajar menyanyi?”
“Wah, susah Pak. Pastur itu rajin sekali, sepekan sekali datang.”
“Di asrama kamu ada berapa orang.”
“Ada 13 orang, tapi kami setiap hari kuliah dan belajar.”
“Apa setiap hari kamu belajar terus?”
“Tidak Pak, kadang-kadang kosong.”
“Nah, sekarang begini. Masing-masing kamu saya minta mengajar anak-anak di kampung itu. Kamu yang bisa menyanyi, menyanyi. Teman yang bisa bercerita, mendongenglah. Mahasiswa yang punya permainan, ajak anak-anak bermain. Kemudian, yang bisa mengajar Senin sore, mengajarlah. Lalu, yang dapat mengajar hari Selasa sore, mengajarlah. Demikianlah, berlangsung enam hari, Senin sampai Sabtu. Sementara, hari Ahad sore sudah diisi si pastur. Biarkan saja,” demikian petunjuk Pak AR bak seorang konsultan dakwah.
“Kalau kamu tidak dapat memberikan permen atau buku tulis,” lanjut Pak AR, “Nanti datang kepada saya. Saya beri permen dan buku tulis. Mulai besok sore semua harus melaksanakan rencana ini.”
“Sekarang,” masih kata Pak AR, “Saya ajari sebuah nyanyian.
Ternyata, yang diajarkan Pak AR adalah nyanyian Topi Saya Bundar, tetapi liriknya diganti: “Tuhan saya satu. Satu Tuhan saya. Kalau tidak satu, bukan Tuhan saya”.
Selajutnya, arahan Pak AR dilaksanakan oleh para mahasiswa itu. Setelah berjalan sekitar satu bulan, sang pastur tidak pernah datang lagi. Hal ini, karena setiap kali si pastur datang selalu disambut oleh anak-anak dengan nyanyian “Tuhan saya satu” yang dilagukan seperti lagu “Topi Saya Bundar”.
Shalat Id “Bersejarah”
Menarik, saat Pak AR mengarahkan agar shalat Id dilaksanakan di tanah lapang untuk kali pertama di Desa Bleberan Banaran Yogyakarta. Saat itu Pak AR menjadi Bagian Sosial di desa tersebut.
Sebelumnya, shalat Id di sana selalu dilakukan di masjid. Sementara, pada waktu itu, kiai atau ulama yang ditaati fatwanya oleh masyarakat setempat adalah Kiai Abu Amar yang tak lain adalah mertua Pak AR sendiri.
Meski pada awalnya Pak AR merasa sulit untuk memindahkan shalat Id ke tanah lapang, beliau lalu memilih untuk bertanya kepada Kai Abu Amar: Mengapa shalat Id tidak di tanah lapang?
Kiai Abu Amar lalu menjawab: Bahwa, itu karena para ulama dulu shalatnya juga di masjid kecuali kalau masjid sudah penuh.
Mendengar sang kiai alias mertuanya berkata seperti itu, kemudian Pak AR menggerakkan masyarakat Banaran agar semuanya shalat Id. Meskipun masih abangan, Pak AR memberi semangat agar mereka menjalankan shalat Id yang setahun hanya dua kali itu.
Rupanya, ajakan Pak AR sangat berpengaruh. Shalat Id penuh diikuti masyarakat Muslim, termasuk yang abangan. Jamaah sesak, termasuk dari kalangan ibu-ibu, remaja, dan anak-anak. Akibatnya, masjid tak bisa menampung.
Kiai Abu Amar lalu memanggil Pak AR dan memberi petunjuk: “Kalau sudah begini, laki-laki dan perempuan berdesak-desakan, makruh. Oleh karena masjid sudah tidak mampu menampung lagi, tolong shalat Id pindah ke tanah lapang saja.”
Sejak saat itu, terjadi perubahan. Shalat Id di tempat tersebut selalu diselenggarakan di tanah lapang.
Menuntun “Bebek”
Pada 1970-an Pak AR bersama Lutfi, putranya, pergi ke Pajangan Bantul naik motor jenis bebek. Tiba-tiba, ban motor kempes. Oleh karena itu, dituntunlah motor itu untuk mencari tukang tambal ban.
Tak dinyana, mereka berpapasan dengan seorang kenalan.
“Kok dituntun Pak AR,” tanya si kenalan.
“Iya, karena motor itu tidak dapat jalan sendiri,” jawab Pak AR spontan.
Tentu saja, jawaban spontan Pak AR membuat si penanya tertawa. Dia terbahak-bahak atas respon Pak AR yang spontan dan jenaka.
Selamat, Itu Paling Penting!
Sebagai anggota DPRD dari Fraksi Masyumi, Pak AR mendapat fasilitas untuk membeli sebuah sepeda motor. Untuk itu, beliau perlu dan harus memiliki Surat Izin Mengemudi (SIM).
Pada waktu ujian praktik, Pak Polisi membawa ke jalan-jalan sempit berliku dan agak licin. Atas hal itu, Pak AR turun dari motor dan memilih menuntunya.
“Pak, kok tidak dinaiki,” tanya Pak Polisi.
“Saya ini selalu ingin selamat. Tujuan mencari SIM ini juga supaya kita selamat yaitu tidak menabrak, tidak ditabrak, dan tidak jatuh. Oleh karena itu kalau ketemu jalan seperti ini, daripada jatuh maka saya tuntun saja,” jawab Pak AR.
Tentu saja mendengar jawaban yang seperti itu, Pak Polisi yang menguji hanya bisa tersenyum. Singkat kata, meski diwarnai praktik yang tak biasa itu, Pak AR lulus dan mendapat SIM.
Rencong Kenangan Penyelamat Dapur
Pak AR kali pertama ke Aceh, sekitar 1957. Tentu, di masa itu, perjalanan Yogyakarta-Aceh jauh sekali. Oleh karena itu, sang istri meminta Pak AR membawa beberapa kain batik. Ini dimaksudkan, kalau Pak AR kehabisan bekal, bisa dijual.
Sesampai di Aceh, kain batik itu tidak dijual tetapi dijadikan oleh-oleh, diberikan kepada Pimpinan Muhammadiyah Aceh termasuk ibu-ibu Aisyiyah. Kepada ibu-ibu Aisyiyah, Pak AR berkata, “Ini hadiah dari Bu AR”. Tentu, batik itu habis, laris manis.
Ketika Pak AR kembali ke Yogyakarta, oleh sang istri ditanya, bagaimana “nasib” kain batik itu. Pak AR tidak menjawab, hanya kemudian memberikan kenang-kenangan dari keluarga besar Muhammadiyah di Aceh: Sebuah rencong kecil dari emas.
Di belakang hari, ketika keluarga Pak AR sedang kesulitan ekonomi, jadilah rencong itu dibawa ke pasar. Rencong kenangan itu dijual, untuk membeli beras.
Penuh Kehati-hatian
Sebagai Ketua PP Muhammadiyah, Pak AR sering bertemu dengan pejabat penting, tokoh-tokoh masyarakat, pengusaha, dan lain-lain. Di kesempatan bertemu itu, beliau-beliau itu sering memberi uang kepada Pak AR, yang untuk ukuran pada waktu itu sangat banyak.
Kalau sudah sampai di Yogyakarta, Pak AR segera meminta putra-putranya untuk menyampaikan uang tersebut kepada Bendahara PP Muhammadiyah. Atas hal ini, Fauzi-putra Pak AR-heran. Dia bertanya kepada sang ayah.
“Pak, masa tidak ada yang dipakai untuk kita. ‘Talang’ kok tidak basah,” kata Fauzi.
“Itu ‘talang’ plastik, jadi tidak basah,” jawab Pak AR.
“Wah susah,” kata Fauzi.
Mengapa Kalah, Mengapa Bekicot
Pernah, pada sebuah kesempatan. Saat itu, selesai memberikan pengajian, ada acara tanya-jawab.
“Katanya, di bulan Ramadhan itu pintu neraka ditutup, pintu surga dibuka, dan setan-setan dibelenggu. Tetapi mengapa dalam bulan Ramadan ini masih banyak orang yang bermaksiat,” tanya seorang jamaah.
“Itulah kelemahan manusia. Dengan setan yang dibelenggu saja kalah,” jawab Pak AR.
Kisah berikut, masih di acara tanya-jawab. Juga, setelah memberikan pengajian.
“Bagaimana hukum dari makan bekicot, cacing, kodok, dan ular,” tanya seorang jamaah.
“Makan (dari jenis) yang enak-enak saja, banyak. Kok makan bekicot,” jawab Pak AR.
Dua jawaban Pak AR di atas, ringan dan jenaka. Pesan pokoknya, mudah dimengerti oleh kalangan manapun.
Di keseharian Pak AR luas diterima, tak hanya di Muhammadiyah saja. Hal ini, antara lain karena performa Pak AR yang selalu memancarkan kesejukan dalam bergaul. Meski dikenal sejuk bahkan jenaka, Pak AR tetap teguh memegang prinsip.
Dasar Keteladanan
Pak AR ulama kharismatik. Beliau selalu mengedepankan sikap ikhlas, sabar, syukur, dan tawakkal dalam berdakwah. Di Muhammadiyah beliau dipercaya menjadi Ketua Umum dalam waktu sangat lama, 1968 sampai 1990.
Tentu, dipercaya menjadi pemimpin dalam waktu yang sangat lama-yaitu22 tahun-menunjukkan sebuah tingkat kepercayaan yang sangat tinggi. Bahwa, yang dipilih adalah pemimpin dengan prestasi yang luar biasa dan-ini yang paling penting-amanah! (*)
Editor Mohammad Nurfatoni