Kiai Dahlan Tak Mau Disebut Wahabi oleh Nurbani Yusuf, Komunitas Padhang Makhsyar.
PWMU.CO– Saking geramnya dipadankan dengan gerakan Wahabi, Kiai Ahmad Dahlan mengutus Hoofdbestuur (Pengurus Besar) Muhammadiyah H. Fachrodin menyelidiki dan mengklarifikasi sampai ke Mekkah. Tidak saja kepada ulama-ulama nusantara yang mukim di Mekkah, tapi juga kepada penguasa Mekkah Syarif Husein.
Isu Muhammadiyah diindikasi Wahabi sudah berlangsung sejak lama. Sejak Ibn Saud, penguasa Nejed, dan Muhammad bin Abdul Wahhab melawan penguasa Mekkah Syarif Husein yang berafiliasi dengan Khilafah Turki Utsmani. Penguasa Mekkah tersebut sudah ’melirik’ Muhammadiyah berafiliasi dengan gerakan Muwahidun. Ini tertulis dalam verslag (Laporan Resmi) Haji Fachrodin tahun 1921-1922. Lihat juga tulisan sejarawan Muhammadiyah Mas Deni Asy’ary dan Mas dokter Alim Nogotirto.
Telah benderang bahwa Muhammadiyah tak ada kaitan historis apalagi organisatoris dengan gerakan Wahabi. Bahkan Kiai Dahlan sampai-sampai harus mengklarifikasi isu tak benar itu.
Menurut catatan sejarah Muhammadiyah, dipakainya jargon kembali kepada al-Quran dan as-Sunah, memberantas TBC (Tahayul, Bida’ah, Churafat) mulai digerakkan, purifikasi dijadikan jubah kebesaran baru populer di era tahun 1940 hingga 1950-an.
Menurut Prof Ahmad Jainuri, empat majelis awal yang didirikan pada era Kiai Dahlan adalah Majelis Penolong Kesengsaraan Oemoem (PKO), Majelis Poestaka, Majelis Pendidikan, dan Majelis Tabligh yang berfungsi sebagai humas dan agitasi untuk menyosialisasikan program pembaharuan. Purifikasi agama di masa Kiai Dahlan belum menjadi yang utama.
Ironisnya ada sebagian kecil yang bilang tidak mengapa dan bangga disebut Wahabi? Bagaimana kalau ada semacam ’perampokan’ ideologi ?
Terlihat dipaksakan jika DNA Wahabi yang menganut kebenaran tunggal, keras, radikal, eksklusif, puritan, konservatif dan tekstual dalam memahami agama dijadikan justifikasi kaitan itu. Ironisnya jargon kembali kepada al-Quran dan as-Sunah acap dipakai untuk mengindikasi sebagai Wahabi yang berpangkal dari Syaikh Ibnu Taymiyah.
Tapi cukupkah secara akademik dibilang bahwa Muhammadiyah tak berkaitan dengan Wahabi. Ini problem teologis menarik dibincangkan. Ada beberapa mencoba menampik, meski ada beberapa yang lain tak menolak meski dengan berbagai alasan.
Ini wilayah paling krusial apalagi jika kemudian masuk dalam wilayah paling sensi: politik. Termasuk sebagai alat untuk menjustifikasi kepada siapapun yang tidak sepandangan.
Bantahan
Berbagai kalampun serasa tak cukup untuk menjelaskan sebuah fakta bahwa Muhammadiyah sama sekali tak ada kaitan dengan Wahabi. DNA Muhammadiyah menganut kebenaran jamak, inklusif, tajdid, modern, dan kontekstual berbanding terbalik dengan DNA Wahabi yang menganut kebenaran tunggal, radikal-eksklusif, puritan, konservatif, dan tekstual.
Mungkin karena punya kesamaan dengan jargon: kembali kepada al-Quran dan as-Sunah yang dipahami letterlijk lantas menyebut Muhammadiyah dan Wahabi itu identik. Sungguh suatu pemisalan yang tergesa.
Prof Haedar Nashir, Ketua PP Muhammadiyah yang santun itu sampai harus terus menjelaskan bahwa Muhammadiyah tak ada kaitan dengan Wahabi. Tapi bisakah menghilang realitas keberagamaan meski fakta sejarah membuktikan bahwa Muhammadiyah bukan Wahabi. Tegasnya tak ada kaitan historis maupun organisatoris dengan Wahabi tapi punya beberapa kemiripan dalam pemikiran dan perilaku keberagamaan sungguh sulit memisahkan.
Pasca kewafatan Kiai Dahlan sungguh menarik untuk dibincangkan. Bagaimana kalau DNA Wahabi kembali masuk usai kewafatan Kiai Dahlan? Pendirian majelis tarjih dan konflik di organisasi Taswirul Afkar antara Kiai Abdul Wahab Chasbullah dan Kiai Mas Mansoer tahun 1927 bisa saja menjadi pangkalnya. Prof Haedar boleh saja menyebut tak ada kaitan, tapi bagaimana jika Muhammadiyah jadi rumah singgah aliran Muwahidun ini?
Sebab itu menarik garis demarkasi ini sangat penting. Sebab menjadi Wahabi sangat tidak menguntungkan pada era Islam kosmopolit yang mengusung gerakan wasathiyah. Belum lagi soal politisasi agama yang kerap jadi rujukan beberapa aliran kecil fanatik tapi lantang.
Tulisan ’Awas Wahabi’ di kamar mandi Masjid at-Taqwa Aceh dan penolakan Pangeran Johor atas pendirian Universitas Muhammadiyah Malaysia (UMAM) di Perlis dan penolakan di akar rumput terhadap Muhammadiyah karena disebut sebagai Wahabi. Ini adalah bukti aktual resistensi yang tak boleh disepelekan. Meski selesai dengan indah.
Wasathiyah adalah garis demarkasi yang tegas lagi jelas. Terbuka dan inklusif. Bahkan dalam kesejarahannya tidak dipungkiri gerakan ini sangat lentur dan bisa berdiaspora dengan berbagai ideologi dan manhaj yang punya kemiripan. Maka menjadikan Muhammadiyah tetap otentik seperti ide dasar Kiai Dahlan di awal berdiri menjadi sangat urgen dan krusial. (*)
Editor Sugeng Purwanto