PWMU.CO – Digitalisasi Bukan Memindahkan Gedung Sekolah ke Perangkat Elektronik. Ketua Umum PP Ikatan Pelajar Muhammadiyah (IPM) Nashir Efendi membahasnya dalam Bincang Pendidikan yang digelar Rumah Baca Cerdas (RBC) Institute, Kamis (19/8/21).
Nashir Efendi menegaskan, digitalisasi bukan memindahkan gedung sekolah ke perangkat elektronik, tapi justru memanfaatkan teknologi dalam keseharian pembelajaran tatap muka yang konvensional.
Kepraktisan dan Birokrasi
Keberadaan media belajar digital seperti Google Classroom menurutnya bisa mengubah kebiasaan murid. Yang dulu perlu mondar-mandir mencari guru, sekarang bisa mengunggah tugasnya lewat HP/PC.
Selain itu, dulunya meja guru penuh dengan kertas berserakan, tapi kini semua nilai sudah terinput rapi. Tidak hanya soal kepraktisan, pembelajaran juga bisa tetap berlangsung sekalipun dalam pandemi.
Menurut dia, dampaknya tidak hanya soal budaya belajar-mengajar, tapi juga soal birokrasi. “Bagi yang tidak suka dengan yang sifatnya birokrasi, hal-hal seperti ini menjadi mudah. Meski ada kemungkinan miskomunikasi,” ujarnya pada webinar bertema Transformasi dan Digitalisasi Budaya Belajar Jarak Jauh itu.
Lebih Interaktif
Dari pengalamannya berdiskusi dengan salah satu pimpinan cabang IPM, dia menilai diskusi lewat Google Classroom bisa lebih interaktif daripada lewat Zoom. “Lebih interaktif lewat teks,” ujarnya.
Nashir Efendi menduga ini terjadi karena pelajar tidak perlu menampilkan wajahnya sebagai bukti eksistensinya. Setiap milenial, tambahnya, ketika diberi ruang bebas di ruang publik (atau) media sosial—tanpa identitas jelas—mampu mengeluarkan segala pendapatnya.
Saat meneliti di Surabaya, dia menemukan data pelajar yang biasanya cukup pendiam di kelas, saat PJJ ini mulai berani bertanya. Yaitu saat merasa belum paham dengan penjelasan gurunya.
Awalnya, hanya bertanya dengan mengetikkan pesan. Kemudian, karena melihat beberapa temannya bertanya menggunakan pesan suara, akhirnya pelajar itu ikut-ikutan.
Kaderisasi IPM Sistem Daring
Pada praktiknya di IPM, kaderisasi melalui sistem daring sangat mendukung peserta mendapatkan pengetahuan. Hanya saja, kalau dari sisi spiritual menurutnya agak kurang.
Meskipun, saat Nashir Efendi menjadi peserta Taruna Melati Utama—pengaderan IPM di tingkat pusat—yang menggunakan sistem daring penuh, aspek spiritual masih dia rasakan. Misal, jam lima pagi harus sudah membuka gawai untuk mengaji bersama.
“Penekanan hal spiritual masih utama daripada hal kognitif,” ungkapnya.
Dia mengatakan, pengetahuan mudah dicari secara mandiri, tapi pendekatan yang sekarang pelajar butuhkan sebenarnya aspek afeksi, psikis, dan spiritual. “Ketika dari sisi afeksi ini sudah terpenuhi, otomatis segala informasi pengetahuan itu bisa didapat secara mudah,” jelasnya.
Metode Pengaderan IPM
Dia menegaskan, metode pengaderan IPM sudah mengarah ke inklusif dalam pendidikan daring. Ini sesuai kaidah, at tariiqatu ahammu min al maddah, al ustaadzu ahammu min al thariiqah, wa tilmidlu ahammumin al ustadz. Maksudnya, metode lebih penting dari materi, guru lebih penting dari metode, dan murid lebih penting dari guru.
Kaidah itu baginya sangat penting dalam pembelajaran daring, pelatihan, dan pengaderan. Sebab, biasanya bobot kontennya sudah bagus, hanya saja pengemasan dan penyampaiannya masih menjadi PR.
Nashir Efendi menyatakan, dalam SPI GPB sudah diatur bagaimana metode kader IPM dalam memfasilitasi pengaderan. Yaitu dengan metode jigsaw, think-pair-share, numbered heads together, group investigation, two stay and two stray, make and match, listening team, inside-outside circle, bamboo dancing, dan the power of two.
Berbasis Komunitas
Terkait inovasi pembelajaran, gerakan berbasis komunitas di IPM menjadi solusinya. Misal, peer-to-peer (teman sebaya) untuk media curhat. Karena, kata dia, meski ada konselor di sekolah, siswa merasa malu menyampaikan masalahnya kepada orang yang lebih tua.
Untuk bidang organisasi, ke depannya, ada inkubator komunitas akademik dari bidang sains maupun humaniora. “Kita akan mendata siapa saja kader, simpatisan, anggota IPM yang ingin belajar atau berprestasi di mata pelajaran Geografi misal, kita buatkan grup,” ungkapnya.
Menurutnya, ini bisa menjadi solusi ketika ada yang tidak puas dari pembelajaran formal bersama gurunya. “IPM perannya mengisi ruang-ruang kosong atau abu-abu yang selama ini kurang dalam proses pendidkan,” harapnya.
Dari sistem komunitas akademik berbagai pelajaran itu, harapannya juga akan terintegrasi. Seperti ada dialog lintas ilmuwan, pemikiran, dan suku. “Ketika diskusi, bisa menghasilkan apa sih? Fenomena cross culture generation (generasi lintas budaya) itu menjadi ciri khas pelajar,” kata dia.
Ragam Inovasi Pembelajaran IPM
Nashir Efendi berharap, di pelatihan IPM atau pelajaran formal, proyek menjadi orientasi. Tujuannya agar penyampaian teori tidak monoton. “Satu pelatihan, satu karya,” tuturnya.
Selain itu, inovasi pembelajaran bisa terwujud dalam kegiatan berbasis permainan. Dia menilai teman-teman IPM sekarang sudah pandai mengoperasikan permainan edukatif secara daring. Misalnya, Kahoot, Classcraft, Plickers, Pool Everywhere, dan Padlet.
Nashir mengungkap, yang paling sering digunakan adalah Padlet. Berawal dari beragamnya asal daerah peserta pengaderan atau pelatihan IPM, maka sebelum dimulai, bisa menampilkan dari mana saja peserta yang hadir itu. Dia berharap, ini menjadi protokol pengaderan, dimulai dengan mengecek dari mana saja yang hadir.
Yang menjadi ciri khas IPM dalam menyiasati masalah pengaderan, pelatihan, dan pendidikan adalah appreciative inquiry (AI). Dia menyebut AI sebagai seninya. Karena selalu mengedepankan aset, apa yang dimiliki dan pernah dilakukan.
“Bahkan ketika krisis seperti ini, apa yang bisa diberdayakan dari setiap individu?” ungkapnya.
Masa Depan Pendidikan 2030
Dia menukil kata Herbert Spencer—filsuf Inggris—pendidikan harus dimaknai dalam arti luas. Yaitu sebagai rekayasa sosial membentuk karakter siswa.
Pendidikan juga menghadapi tantangan perubahan sangat drastis dalam lima tahun terakhir. Di mana, perkembangan teknologi informasi mengubah gaya hidup masyarakat.
Untuk itu, sudah saatnya mendefinisikan ulang pengetahuan, keterampilan, dan sikap yang perlu siswa kuasai. Ada kecenderungan pergeseran dalam arah pendidikan, yaitu ke kompetensi vokasi.
“Menghadapi era digital ini, sudah saatnya kita mengubah paradigma proses pembelajaran di dalam kelas menjadi suatu proses penuh pengalaman,” tuturnya.
Selain itu, lanjutnya, juga memberi kesempatan siswa untuk berkolaborasi dengan guru dan temannya. Tujuannya, membangun pengetahuan, melibatkan diri dalam penelitian, belajar menulis, dan menganalisis.
Kemudian, tambahnya, mampu mengomunikasikan yang mereka alami sebagai pemikiran baru, sebagai wujud pengalaman sesuai usia mereka. (*)
Penulis Sayyidah Nuriyah Editor Mohammad Nurfatoni