PWMU.CO– Kenangan yang tersimpan bersama Ketua IRM periode 2002-2004 Daeng Munawwar Khalil MAg muncul begitu mendengar dia telah wafat, Ahad (22/8/2021) sore. Ya, Covid-19. Sempat dirawat di RS PKU Muhammadiyah Yogyakarta sejak 14 Agustus 2021.
Pertemuan tatap muka langsung tiga tahun lalu. Tahun 2018. Saat sama-sama mengantar anak masuk Muallimin Yogyakarta. Setelah itu komunikasi lewat grup WA atau acara IPM secara online.
Dia terpilih sebagai ketua umum PP IRM (Ikatan Remaja Muhammadiyah) saat muktamar di Universitas Muhammadiyah Yogyakarta (UMY) untuk periode 2002-2004.
IRM itu nama mlungsungi IPM (Ikatan Pelajar Muhammadiyah) akibat UU No. 8/1985 tentang Organisasi Kemasyarakatan. Tak boleh ada organisasi pelajar selain OSIS. Apalagi bersifat nasional.
Sampai-sampai Menpora Akbar Tanjung waktu hadir di Konferensi Pimpinan Pusat (Konpiwil) IPM tahun 1992 di Yogyakarta meminta perubahan nama sesuai UU itu.
Maka pada 18 November 1992 nama IPM berubah menjadi IRM. Keputusan ini tertuang dalam SK Pimpinan Pusat IPM Nomor Vl/PP.lPM/1992. Kemudian disahkan oleh SK PP Muhammadiyah Nomor 53/SK-PP/IV.B/1.b/ 1992 tentang pergantian nama Ikatan Pelajar Muhammadiyah menjadi Ikatan Remaja Muhammadiyah. Lantas kembali lagi menjadi IPM disahkan di Muktamar XVI 2008 di Solo.
Gadis Mandar
Kenangan pertama muncul saat Munawwar Khalil menjadi ketua umum IRM, saya direkrut sebagai anggota pimpinan pusat. Masuk Bidang Pengkajian Ilmu Pengetahuan (PIP) bersama Abdullah Mukti, Dhian Rahmawati. Ketua dan sekretaris waktu itu Soleman Suaidi dan Anggrek.
Saya bersama Mukti dan Dhian pernah diutus untuk mengelola pelatihan motivator kelompok ilmiah remaja (PM-KIR) yang diselenggarakan Pimpinan Wilayah IRM Sulsel di Malino.
Daeng Nawar, sapaannya, sempat berpesan agar berperilaku sopan santun. Di mana bumi dipijak di situ langit dijunjung. Maklum IRM Sulsel terkenal kritis. Apa yang tidak sesuai langsung diprotes.
Kenangan kedua, ketika pelaksanaan Konferensi Pimpinan Wilayah (Konpiwil) di Kendari, Sulawesi Tenggara, Soleman mengundurkan diri dari ketua Bidang PIP. Posisi ketua diganti Anggrek dan saya jadi sekretaris.
Karena jabatan baru itu membuat saya diutus untuk mendampingi pelaksanaan Konferensi Pimpinan Daerah (Konpida) Sulawesi Selatan di Sidenreng Rappang (Sidrap). Lima jam perjalanan dari Makassar.
Saat pagi di Sidrap, Daeng Nawar telepon saya melalui teman Sulsel. Maklum saya belum punya HP waktu itu. Selain tanya kabar dan memberikan instruksi terkait pelaksanaan Konpida, pesan yang paling saya ingat adalah agar saat taaruf nanti harus baik-baik.
Saya pikir ini pesan biasa agar saya pandai membawa diri. Ternyata saat acara taaruf itu setelah perkenalan nama dan lain-lain, maka harus tampil dalam keahlian seni. Bisa nyanyi atau kalau dari daerah bisa lawak dan sejenisnya.
Ini membuat saya panik. Terus terang saya tidak bisa nyanyi selain lagu Olle ollang. Saat terpepet seperti itu, saya ingat Daeng Nawar yang sering baca puisi. Maka saya coba baca puisi karya D. Zawawi Imron. Judulnya Nyanyian Gadis Mandar.
Baca puisi itu sukses. Saat mau pulang ke Surabaya, saya digoda Irmawati Sulsel, ”Mas, gadis Mandarnya gak diajak?” Saya jadi salting, maklum di situ memang ada gadis suku Mandar.
Hubungan dengan Daeng Nawar terus berjalan ketika sama-sama ngurusi MPK (Majelis Pembinaan Kader). Saya di MPK PWM Jawa Timur, dia di MPK PP Muhammadiyah. Daeng Nawar tidak banyak berubah. Tetap ramah, murah senyum, dan selalu penuh humor. Saat acara pelatihan instruktur nasional di Bogor, Daeng Nawar tetap suka tampil baca puisi.
Lelucon IPK
Kenangan terakhir, entah guyon atau memang betul-betul tidak paham, suatu ketika masih kuliah Munawwar Khalil dan Miftahul Haq berdebat tentang IPK (Indek Prestasi Kumulatif) siapa paling tinggi. IPK Munawwar 3,4 sedang IPK Miftah 3,35.
“Coba lihat punyamu hanya 3,4. Sedangkan punyaku 3,35. Jadi 4 dengan 35 jelas tinggi 35,” kata Miftah. “Iya, ya… Berarti IPK-ku kalah jauh,” sahut Munawar.
Perbincangan itu lantas disiarkan oleh Munawwar ke pertemuan organisasi. Bahwa IPK Miftah lebih tinggi dari IPK dia. Maka jadilah lelucon baru. Tak hanya teman di pimpinan pusat, bahkan seluruh Indonesia juga mendengarnya sehingga dianggap lelucon nasional. Sampai kini di grup alumni juga masih sering joke itu jadi ledekan.
Guyonan terbaru tanggal 3 Agustus 2021 di grup WA IPM tentang bantuan Rp 2T keluarga Akidi Tio yang hoax itu. Saat salah seorang anggota grup salah kirim tugas matematika untuk muridnya, Arif Jamali Muis yang menjadi Sekjen PP IRM periode Raja Juli Antoni langsung menimpali, “Ustadz Miftah dan Kiai Nawar silakan berdiskusi.”
Miftahul Haq yang biasa dipanggil Ustadz Miftah menjawab dengan dua emoticon senyum lebar. Teman yang lain menimpali, “Daripada pusing mikir 2T belum tentu juga bisa cair, mending belajar ngitung yang beginian dulu.
Miftahul Haq menjawab, “Angka kok dibagi-bagi…mbok yo yang utuh saja.” Ditambah dua emoticon tertawa lebar.
Arif Jamali Muis langsung menimpali, “Soal itu persis perdebatan Ustdadz Miftah dan Kiai Mun (Munawwar Khalil, maksudnya) tentang besar IPK.” Postingan ini disambut tawa anggota yang lain.
Munawwar Khalil juga langsung menulis, “Soal Covid dah berat, jangan ditambah lagi beban umat ini untuk menyelesaikan soal matematika. ” Dihiasi emoticon ketawa miring empat puluh lima derajat. Kenangan ini tak terlupakan. (*)
Penulis Ernam Editor Sugeng Purwanto