PWMU.CO– Afghanistan menjadi pemberitaan internasional menyusul jatuhnya ibu kota Kabul ke tangan Taliban untuk kedua kalinya. Keadaan politik dan kehidupan lain masih tidak menentu.
Agustinus Wibowo, seorang penulis pernah berkeliling negeri Afghanistan dan negeri-negeri Asia Tengah lainnya. Petualangannya itu sudah menjadi empat buku berjudul Selimut Debu: Impian dan Kebanggaan dari Negeri Perang Afghanistan (2010), Garis Batas: Perjalanan di Negeri-Negeri Asia Tengah (2011), Titik Nol: Sebuah Makna Perjalanan (2013), dan Jalan Panjang untuk Pulang.
“Semua buku yang saya tulis, berisi cerita kehidupan yang pernah saya alami di Afghanistan,” kata Agustinus Wibowo kepada wartawan ABC Indonesia Sastra Wijaya.
Pertama kali menginjakkan kaki di negara tersebut pada tahun 2003, Agus, sapaan akrabnya, langsung jatuh cinta. Menurut dia, Afghanistan bagaikan magnet yang terus menariknya untuk ke sana.
“Keindahan alamnya, keramahan penduduknya yang luar biasa, budayanya yang penuh kepercayaan diri, sejarahnya yang dramatis, semuanya membuat saya ingin terus mendalami dan menyelaminya,” katanya.
Agus datang saat pembukaan kembali Afghanistan menyusul lengsernya Taliban dari kekuasaan. Di masa kekuasaan Taliban tahun 1996 sampai 2001, Afghanistan sempat terisolasi dari dunia internasional. Hanya mendapatkan pengakuan dari beberapa negara.
Awalnya, Agus tiba sebagai backpacker dengan rencana tinggal selama tiga pekan. Tapi perjalanannya tidak berakhir sampai di situ. Pada tahun 2006, ia kembali dan melakukan perjalanan keliling Afghanistan selama empat bulan dengan menumpang truk.
Kemudian dari tahun 2007 hingga 2009, Agus bekerja sebagai jurnalis di sebuah media lokal Afghanistan, merangkap jabatan di badan Perserikatan Bangsa-Bangsa, UNDP, sebagai konsultan proyek kesetaraan gender.
Memuliakan Tamu
Dari pengalaman selama beberapa tahun tersebut, Agus yang berasal dari Lumajang, bersentuhan langsung dengan warga di sana.
Salah satu yang dirasakannya selama bertahun-tahun tinggal di Afghanistan adalah keramahan warganya dalam menerima tamu.
“Mereka sangat memuliakan tamu. Kultur itu yang kadang membuat saya malu sebagai orang yang berasal dari bangsa lain,” kata Agus yang sarjana ilmu komputer dan kuliah di China.
“Kita punya kemampuan ekonomi yang jauh lebih kuat dari pada orang Afghanistan tapi kita tidak punya kesungguhan hati untuk melayani tamu sebagaimana orang Afghan,” katanya lagi.
“Kalau kita berkunjung ke daerah-daerah yang sangat miskin, sangat terpencil, walau tidak punya makanan, mereka akan menjadikan saya sebagai tamu mereka dan memberikan makanan yang terbaik untuk saya. Itu sangat mengharukan.”
“Dari sisi sejarah saya tertarik dengan Jalur Sutra, juga tertarik mempelajari budaya dan bahasa,” tuturnya.
Banyak tempat di Afghanistan sudah dijelajahi Agus, namun ada yang paling berkesan. Ia tidak dapat melupakan perjalanannya ke kawasan pegunungan Pamir, yang terbentang di ujung timur laut Afghanistan, daerah yang berbatasan langsung dengan China.
“Di sini tinggal orang-orang dari etnis Kyrgiz yang masih hidup seperti nenek moyang mereka seperti ratusan lalu, mereka masih hidup nomadik penuh, tinggal di kemah-kemah di kawasan puncak pegunungan Pamir yang tingginya sekitar 4500 meter di atas permukaan laut,” katanya.
Menurutnya, Pamir sering disebut sebagai surga di atas bumi, dalam istilah Inggrisnya Shangri La, atau kawasan impian oleh orang yang pernah mengunjunginya.
“Ketika saya berada di Pamir saya menyadari betul mengapa orang Afghan menganggap ini sebagai surga karena di tempat yang terpencil ini, kita menemukan perdamaian. Kita tidak perlu merasakan takut akan bom atau peperangan dan konflik lainnya.” kata Agus lagi.
Sebagian warga Afghanistan mampu menyitir puisi dari pujangga-pujangga lama mereka, baik dari latar belakang Persia maupun Pashto, dua budaya kuat yang sudah lama hidup di negara itu.
Suku utama yang tinggal di Afghanistan adalah Pashto, sementara budaya Persia berasal dari Iran karena perbatasan langsung kedua negara.
“Saya kadang malu ketika ditanya apakah saya hafal puisi dari salah seorang penyair di negeri saya sendiri,” ujar Agus. “Mereka sehari-hari biasa menyitir puisi dari pujangga-pujangga mereka. Budaya itu kuat di Afghanistan.”
Kondisi Terkini
Walau sudah lama meninggalkan Afghanistan, Agus mengatakan masih memiliki beberapa teman yang tinggal di sana. Jatuhnya ibukota Kabul ke tangan Taliban membuat beberapa temannya khawatir akan keselamatan mereka.
“Saya kan jurnalis, dan banyak bergaul dengan teman-teman jurnalis di sana. Ketika Taliban dulu berkuasa, jurnalis menjadi salah satu sasaran serangan Taliban,” kenangnya.
“Mereka masih syok dan sekarang bersikap menunggu untuk melihat apa yang terjadi di sana. Beberapa teman yang bilang bahkan sekarang mereka tidak keluar rumah untuk sementara,” sambungnya.
Agus menilai, Taliban yang saat ini mengambil alih kekuasaan berbeda dengan Taliban yang dulu pernah berkuasa. “Saya kira Taliban akan berubah. Kita lihat sekarang pemimpin Taliban menggunakan video untuk menyebarkan kemenangan mereka, juru bicara Taliban juga bicara dengan media-media Barat,” ujar Agus.
“Ini kan sesuatu yang kita tidak bayangkan terjadi di tahun 1990-an ketika mereka berkuasa,” ujad dia. “Masalahnya apakah masyarakat Afghanistan akan hidup lebih baik di bawah Taliban atau Taliban akan memenuhi komitmen seperti yang sudah dikatakan kepada media asing,” ucapnya. (*)
Editor Sugeng Purwanto