Andai Mesin WhatsApp Bisa Menjawab Ucapan ‘Innalillahi’ Kita. Kolom ditulis oleh Sayyidah Nuriyah SPsi, Konselor SD Muhammadiyah 2 GKB (Berlian School) Gresik.
PWMU.CO – Belakangan ini, hampir setiap hari, notifikasi kabar duka berseliweran di berbagai grup WhatsApp saya. Apakah itu di grup keluarga, teman, tempat kerja, alumnus, maupun komunitas. Mulai dari kabar berpulangnya sosok yang dikenal—keluarga atau teman—sampai yang tidak, misal keluarga teman di grup tersebut.
Saat mendapat kabar duka golongan yang kedua yakni sosok yang tidak dikenal, biasanya responnya seragam. Lalu secara ‘otomatis’ mengundang sederet pesan balasan. Grup ramai dalam sekejap.
Karena terganjal jarak jauh dengan rumah duka, juga situasi PPKM di masa pandemi Covid-19 ini belum memungkinkan takziah tatap muka, maka pesan virtual itulah penggantinya.
Balasan Copas dan Stiker
Yang bikin garuk-garuk kepala, sebagian besar pesan balasan itu isinya sama persis. Dari segi besar-kecil huruf, penempatan spasi, sampai gaya penulisan: kata per katanya. Ada pula yang sedikit di-edit di beberapa bagian.
Beruntung, jika sejak awal sudah ada anggota grup yang berinisiatif dan rela sedikit mengorbankan waktu 1-2 menit untuk mengetik. Diawali frasa istirja—ucapan innalillahi wainna ilaihi rajiun—berlanjut disertai doa dengan redaksi pada umumnya.
Saya bayangkan, seandainya pesan teks WhatsApp bisa berubah jadi pesan suara, maka yang terdengar adalah gema lantunan Innalillahi wa inna ilaihi rajiun. Berulang-kali. Tapi, Anda tidak perlu ikut membayangkan ya!
Kadang, deretan respon pesan balasan tergantung pembalas pertamanya. Kalau pesan balasan yang muncul lebih dulu singkat, pesan setelahnya juga demikian. Begitulah jika bermodal usaha copy-paste (copas, menyalin).
Sampai ada lagi yang berinisiatif menambahkan doa pelengkap dan kata-kata peneguh yang menyentuh. Baru terjadilah deretan pesan copas mengikuti versi terbaru.
Apalagi, keberadaan stiker istirja dengan beragam tulisan dan hiasan seolah menjadi angin segar bagi kaum penikmat kepraktisan. Semakin rusuh hati rasanya, berkali-kali terpapar stiker ini. Terjadi di berbagai grup WhatsApp saya, apa memang sudah membudaya, ya?
“Cuma mengetik sebaris kalimat saja seberapa berat bebannya?” pertanyaan ini sempat terlintas di hati saya setiap kali respon membeo itu tampil.
Suudzan-husnudzan Motifnya
Lantas, ada suudzan motifnya, mereka malas mengetik. Atau pesan balasan itu yang penting sudah jadi bukti kehadiran virtual (dengan kesan dukungan seadanya). Ini hanya suudzan atau prasangka jelek saya.
Yang sebenarnya terjadi lebih kompleks dan berhak mendapat toleransi, mungkin. Husnudzannya, kabar duka muncul saat mereka dikejar waktu menyelesaikan tanggung jawabnya. Masing-masing, sedang perlu tetap fokus menjalankan peran kekhalifahan di muka bumi yang mendesak.
Lebih penting saat itu, dari pada sejenak ikut menulis singkat pesan belasungkawa virtual yang sebetulnya juga tidak terlalu mengurangi duka yang bersangkutan. Karena tentu doa dan empati yang lebih diperlukan.
Sehingga, mungkin mereka juga menyampaikan pesan personal—untuk menunjukkan empati dan peduli yang mendalam—disampaikan secara langsung ke yang bersangkutan di lain waktu. Saat sudah lebih longgar dan bisa berpikir jernih untuk hadir penuh menemaninya. Mendengarkan dan mengenang kisah kebaikan almarhum(ah) bersama.
Atau karena pesan balasan hanya dianggap sebatas simbol. Maka tidak masalah kalau disampaikan lewat sebuah stiker. Sudah mewakili upaya sabar ketika tertimpa musibah kehilangan saudara sedarah atau semuslimnya yang berpulang, hidup di alam lain.
Yang terpenting, segenap jiwa dan pikiran mengakui, kita milik Allah dan hanya kepada-Nyalah kita kembali. Begitukah?
Membeo Respon Terbaik?
Jangan-jangan, mereka paham sebatas itu respon terbaik saat menerima kabar teman sedang berduka sehingga ikut merasa berduka. Dengan dalih tidak tahu apa yang harus diucapkan lagi a.k.a keterbatasan keterampilan komunikasi, maka tentu respon membeo itu lebih bisa diterima (a.k.a singkatan dari As Known As, artinya dikenal juga atau alias).
Membeo ini berarti meniru ucapan yang sama berkali-kali. Hal ini wajar terjadi pada orang yang mengalami gangguan secara medis. Tapi bagimana bagi manusia dengan nikmat kesehatan yang utuh dan kecerdasan yang mumpuni?
Tentu jika mau, bisa mengetik dan mengolah sendiri ungkapan duka cita, dukungan, dan doa yang menyertai istirja. Pesan khusus untuk personal. Misal, dengan tambahan membantu doa agar dia mampu bersabar (bukan langsung menyuruh sabar yang terkesan kurang empati).
Bukankah mengucap frasa sebagaimana yang disebut dalam al-Baqarah 156 itu untuk memperkuat hubungan kita sendiri dengan Allah setelah ingat akan tujuan hidup kita kembali ke Dia? Maka perlu diperhatikan bagaimana upaya memperkuat saudara kita yang berduka.
Tak Terdeteksi Plagiat
Terlepas dari itu, seharusnya kita bersyukur. Sebab kita beruntung. Di tengah berkembangnya kecerdasan buatan, mesin atau sistem aplikasi WhatsApp tidak menerapkan program yang mengenali plagiasi.
Bayangkan kalau program ini ada dan diterapkan, maka setiap ada pesan membeo itu, muncul pesan peringatan, “Harap lebih kreatif! (emot senyum)”
Atau yang lebih asertif, “Sistem kami mendeteksi Anda sekadar copy-paste, silakan membalas dengan bahasa Anda sendiri dengan tulus.”
Bisa juga sistem memberi jawaban yang lebih menggugah, “Dia sedang sangat berduka, ada tambahan pesan untuk menghiburnya?” Dengan pesan peringatan semacam itu, mungkin akan berpikir dua kali jika sekadar merespon dengan stiker atau copas pesan sebelumnya.
Semoga Tobat
Mengingat setiap kebaikan bisa bernilai pahala, semoga jadi bonus amal bagi yang membalas pesan lebih dulu. Lewat pesan dia, Muslim lainnya di grup itu bisa mengikuti jejaknya mengekspresikan duka dan mengingat akan menyusul kembali ke Allah dengan praktis.
Begitupula untuk penggagas stiker frasa istirja. Berkatnya, sekarang warga WhatsApp hanya perlu usaha mencari dan memilih stiker di bagian yang sering dipakai, lalu klik, dan kirim.
Dan mengingat setiap amal sesuai niatnya, semoga meski lewat stiker atau pesan copas itu, empati dan peduli si pengirim pesan tetap terhitung. Setidaknya, mereka masih membalas. Ada teman saya mengaku hanya menjawab dalam hati, lalu lupa mengetiknya, sehingga secara tidak langsung dia daftar jadi silent reader, he-he-he.
Harapan terbesar, budaya copas sebagian masyarakat intelek itu cukup berhenti pada bagaimana mereka merespon berita duka di grup WhatsApp. Bahaya jika berlanjut pada tataran kepenulisan yang lebih serius! (*)
Andai Mesin WhatsApp Bisa Menjawab Ucapan ‘Innalillahi’ Kita: Editor Mohammad Nurfatoni