PWMU.CO – Sejarah yang Tak Dicatat, Akar Persoalan Pelecehan Perempuan. Kepala Pusat Studi Islam, Perempuan, dan Pembangunan (PSIPP) Institut Teknologi dan Bisnis (ITB) Ahmad Dahlan Jakarta Yulianti Muthmainnah SHI MSos memaparkannya pada Pengajian Orbit, Kamis (26/8/21).
Pengajian virtual setiap malam Jumat pertama dan ketiga via Zoom itu dihadiri Prof M Din Syamsuddin MA PhD selaku pembinanya, para ustad, dosen, dan artis lintas karya. Mereka tidak hanya dari Indonesia, tapi juga dari luar negeri.
Klaim Laki-laki Super
Wakil Rektor Peguruan Tinggi Ilmu Al-Quran Drs Imam Adaruqutni MA ikut berpendapat terkait akar persoalan yang mendasari perilaku laki-laki sampai melecehkan perempuan. Dia menduga, ini berkaitan dengan tertanamnya klaim—laki-laki lebih super—di alam bawah sadar manusia.
Secara ekologi, menurutnya klaim itu sudah lama berkembang, kemudian bertransformasi dalam akar-akar budaya. Selanjutnya, berkembang dalam bias budaya.
Seperti pandangan, “Dunia memang rancahnya laki-laki. Laki-laki mengangkat senjata untuk survival of the fittest baik itu dari dirinya sendiri, maupun dalam kelompoknya, termasuk di dalamnya yang harus dilindungi itu kaum wanita.”
Dengan perspektif ini, dia menilai pemecahan solusinya rumit. Bahkan, lanjutnya, di negara maju kini masih ada pelecehan seksual, meski ada emansipasi wanita sampai yang mengarah pada liberasi. Untuk sampai pada solusi, Imam menekankan perlu mencari akar masalahnya.
Sejarah Perempuan Tak Dicatat
Yulianti sepakat dengan pendapat Imam, lalu menambahkan akar persoalan lainnya. Yaitu sejarah perempuan tidak pernah dicatatkan dan diperdengarkan dalam pelajaran agama, sehingga seolah perempuan tidak pernah berkontribusi dalam agama.
“Perempuan dianggap lemah, hina, tidak berharga, jadi dilecehkan! Padahal, kita semua lahir dan tumbuh dari rahim perempuan, ” katanya.
Dia mengungkap, ada sejarah perempuan di balik perintah shalat. “Ketika Nabi Muhammad SAW bersedih atas meninggalnya Siti Khadijah, Allah menghibur Nabi salah satunya dengan Isra’ Mikraj,” jelasnya.
Kemudian, dia juga mencontohkan bagaimana Siti Sarah berlari dari Bukit Shafa dan Marwah yang diulang dalam Haji dan Umrah. “Haji dan umrah itu sejarah siapa? Sejarah perempuan!” tambahnya.
Begitu pula dengan peristiwa Qurban dan Idul Adha. Yang selalu diperdengarkan adalah dialog Ibrahim dan Ismail. Padahal, ada dialog Hajar ketika Ibrahim meninggalkannya di gurun bersama Ismail kecil. “Atas iman kepada Allah, dia menerima perintah ditinggalkan seorang diri!” ungkapnya.
Kalau Hajar tidak mau membesarkan Ismail, tentu menurutnya tidak ada dialog antara Ismail dan Ibrahim tentang Qurban. “Sejarah-sejarah perempuan yang tidak pernah diperdengarkan inilah yang kemudian saya tulis dalam buku ini,” tuturnya.
Perjuangan Perempuan dalam Kemerdekaan
Yulianti menyimpulkan, salah satu penyebab kekerasan terhadap perempuan adalah mengaburkan sejarah perempuan yang telah berkontribusi terhadap bangsa. Menurut dia, tokoh pejuang perempuan nasional juga mengalami sejarahnya tidak diperdengarkan.
Dia mencontohkan, para wanita lebih dikenal dengan panggilan nama suaminya, bukan namanya sendiri. “Nyai Dahlan sering disebutkan Nyai Dahlan, bukan Nyai Walidah, kemudian kita tidak kenal dengan Nyai Walidah,” jelasnya.
Padahal, Nyai Walidah pernah berdialog dengan Jenderal Soedirman dan mengusulkan, “Menyeranglah di waktu fajar!”
Dampaknya, kini ada istilah founding father, yang mendirikan bangsa ini laki-laki. Padahal, Yulianti menekankan, ada peran perempuan di dalamnya.
Dalam memperjuangkan kemerdekaan, Yulianti mengisahkan banyak perempuan menyelundupkan alat-alat perang di bakul yang mereka bawa ke pasar. Di bakul itu juga ada makanan untuk para mujahid. Di kondenya perempuan, ada informasi yang tentara Jepang atau Belanda tidak menyadari atau berniat menggeledahnya.
Perempuan Juga Punya Nafsu
Yulianti menekankan, perempuan juga punya nafsu dan hasrat seperti laki-laki. “Kalau perempuan tidak ada nafsu, mungkin semua hubungan seksual itu perkosaan. Tapi karena ada cinta dan nafsu yang dibungkus kasih sayang, maka bukan perkosaan,” ungkapnya.
Bedanya, perempuan dilatih sejak kecil untuk mengontrol hasrat nafsunya, sedangkan laki-laki sebaliknya. Dia menceritakan pengalamannya ketika melewati sekelompok anak laki-laki SMP mengganggu orang yang lewat.
Yulianti juga diganggu, sehingga dia berhenti dan langsung menegur, “Adek ini kan masih kecil, kok ngomong-nya begitu? Kok manggil ibu begitu?”
Dengan mengatakan itu, dia berharap bisa mendidik mereka. Memberi tahu yang mereka sampaikan itu adalah pelecehan dan merendahkan. Tapi, kata dia, masyarakat terbiasa memaksa perempuan untuk malu dan menunduk.
Sedangkan, laki-laki dibiarkan bebas ‘liar’, bahkan disuruh melakukannya. “Dianggap tidak jantan kalau tidak melecehkan perempuan,” ungkap Yulianti.
Ini bertentangan dengan an-Nur ayat 30 yang justru memerintahkan laki-laki untuk menundukkan pandangan. “Terbalik, ya! al-Quran menyuruh laki-laki menundukkan pandangan, masyarakat mengubahnya, perempuan yang disuruh menundukkan (pandangan),” terangnya. (*)
Penulis Sayyidah Nuriyah Editor Mohammad Nurfatoni