PWMU.CO – Kisah Rasul Mendengar Kesaksian Korban Perkosaan. Yulianti Muthmainnah SHI MSos mengisahkannya pada Pengajian Virtual Orbit, Kamis (26/8/21) malam.
Dalam sejarah, kesaksian perempuan korban perkosaan adalah kesaksian utama yang didengar Nabi Muhammad SAW. Bahkan, kata dia, tidak butuh kesaksian lainnya.
Rasul Dengar Kesaksian Korban
Kepala Pusat Studi Islam, Perempuan, dan Pembangunan (PSIPP) Institut Teknologi dan Bisnis (ITB) Ahmad Dahlan Jakarta itu menceritakan kisah dalam sebuah hadits.
Ada seorang perempuan yang mau shalat Subuh di masjid. Seorang laki-laki menghadangnya dan memperkosanya. Kemudian, laki-laki itu pergi.
Datanglah sekelompok laki-laki lain yang mau ke masjid juga. Mereka melihat perempuan itu menangis. Saat ditanya ada apa, dia menjawab ada seorang laki-laki datang padanya dan melakukan ini-itu.
Mereka membawa perempuan itu kepada Rasul dan menceritakan kejadiannya. Rasul meminta sahabat mencari pelaku. Saat dihadapkan pada seorang lelaki dan perempuan itu ditanya, “Apakah benar laki-laki ini yang memperkosamu?”
Perempuan itu menjawab, “Ya Rasulullah, iya!”
Ketika akan dihukum, ada laki-laki lain yang datang pada Rasulullah dan mengaku, “Ya Rasul, saya pelakunya. Bukan dia.”
Rasul bertanya lagi pada korban, “Apakah benar pelakunya laki-laki kedua yang memberi kesaksian itu?”
Perempuan itu mengatakan, “Karena dalam situasi gelap, saya tidak bisa membedakan siapa pelaku sebenarnya.” Rasul pun menghukum laki-laki kedua, karena memberi kesaksian lebih kuat, dan membebaskan laki-laki pertama.
Yulianti menyimpulkan, kesaksian perempuan di dengar Rasulullah. Bahkan ketika dia salah memberi kesaksian pada pelaku, dia tetap dibebaskan Rasulullah. Sehingga, ini juga menunjukkan kedudukan korban—dalam Islam—berada di posisi terhormat.
Beda Penciptaan Perempuan
Yulianti juga membahas perbedaan signifikan perempuan dan laki-laki. Pertama, secara penciptaan. Dengan jenis kelamin berbeda, sejak lahir perbedaannya dapat dilihat secara fisik.
Dia menekankan hal itu memengaruhi reproduksi keduanya. “Laki-laki sudah pasti enak dan tidak berbekas. Perempuan sudah pasti panjang (waktu reproduksinya), bisa jadi belum tentu menikmati, dan yang pasti berbekas,” ujarnya.
Perempuan hamil, melahirkan, dan menyusui dalam waktu yang panjang. Karena itu, lanjutnya, anak harus taat kepada perempuan (ibunya), di mana berbakti kepada ibu tiga derajat lebih tinggi daripada berbakti kepada ayah. Ini dipertegas dalam al-Quran surat Luqman (14), “Wahnan ‘ala wahnin wafishaaluhu fii ‘aamaini aniisykur lii ….”
Sedangkan laki-laki yang pasti merasa nyaman saat melakukan hubungan seksual, melekatkan pemikirannya bahwa ‘setiap reproduksi itu nikmat’ kepada korban perempuan. Karena dalam logika laki-laki, reproduksi yang dia lalui selalu enak dan cepat.
“Tidak ada mimpi basah berbulan-bulan, tidak ada pipis berlama-lama, tidak ada produksi sperma itu sakit, seperti perempuan menstruasi sakit sampai tidak bisa beraktivitas bahkan pingsan. Laki-laki tidak punya pengalaman itu!” terang Yulianti.
Islam Ubah Tradisi Menghinakan Perempuan
Yulianti menerangkan, Islam menjadi pembeda bagi tradisi agama sebelumnya. Sebelum Islam datang, perempuan tidak dianggap sebagai makhluk utama. “Kelahirannya tidak diinginkan. Ayah membenci anak perempuan,” tuturnya.
Selain itu, perempuan yang sedang menstruasi diusir dari rumah karena dianggap kotor. Islam mengubah tradisi yang menghinakan perempuan sedang menstruasi dengan menanamkan akidah.
Yaitu meyakinkan, perempuan yang sedang menstruasi sama sucinya, tetapi jangan melakukan hubungan seksual. “Tapi boleh makan bersama, tidur dalam selimut yang sama, bahkan boleh mandi dalam bejana yang sama,” tambahnya.
Sebelum Islam datang, perempuan adalah barang yang diwariskan. Islam mengubah tradisi itu. “Perempuan bukan barang warisan. Dia adalah makhluk merdeka, boleh memberikan dan berhak menerima warisan dari orang lain,” terangnya.
Laki-laki dan Perempuan Sama
Yang jelas pula dalam Islam, kata Yulianti, laki-laki dan perempuan berasal dari unsur yang sama. Tidak ada satu ayat pun dalam al-Quran yang mengatakan perempuan dari tulang rusuk laki-laki. Pernyataan ini ternyata dipengaruhi kisah dalam Perjanjian Lama.
Islam menegaskan, kualitas takwalah yang membedakan perempuan dan laki-laki. Sebab, Islam tidak mengenal adanya pewarisan takwa. “Sesuatu yang tidak bisa diwariskan dalam Islam adalah iman dan takwa!” tuturnya.
Persamaan tanggung jawab sebagai khalifah—untuk mewujudkan kehidupan yang baik—dibebankan kepada perempuan dan laki-laki. Dia menyatakan, baldatun thayyibatun warabbul ghafur hanya bisa terwujud kalau laki-laki dan perempuan saling bekerja sama dan membentuk keluarga menjadi ikatan yang kokoh.
Penulis buku Zakat untuk Korban Kekerasan terhadap Perempuan dan Anak itu menegaskan, perkawinan yang kokoh adalah tanpa kekerasan, pelecehan, dan perilaku yang tidak memanusiakan pasangannya. (*)
Penulis Sayyidah Nuriyah Editor Mohammad Nurfatoni