PWMU.CO – Hadapi KDRT Cukup dengan Bersabar? Kepala Pusat Studi Islam, Perempuan, dan Pembangunan (PSIPP) Institut Teknologi dan Bisnis (ITB) Ahmad Dahlan Jakarta Yulianti Muthmainnah SHI MSos menjawabnya pada Pengajian Orbit, Kamis (26/8/21).
Pengajian virtual via Zoom itu dihadiri Prof M Din Syamsuddin MA PhD sebagai pembinanya, para ustadz, dosen, dan artis lintas karya. Mereka tidak hanya dari Indonesia, tapi juga dari luar negeri.
Pada sesi diskusi, sebelum Bunga—sebut saja begitu, salah satu peserta wanita—membagikan kisah perjuangannya sebagai penyintas KDRT, dia melontarkan pertanyaan refleksi bagaimana solusi kekerasan terhadap wanita di Indonesia.
Potret Indonesia Hadapi KDRT
Bunga mengatakan, dulu dia sampai divisum, dibawa ke rumah sakit. Mantan suaminya seorang mualaf dan keluarganya tidak terima. Jadi selain mengalami KDRT dari suami, dia juga menerima KDRT dari mertuanya yang seorang mafia dan kini sedang dipenjara.
Dia menceritakan, saat itu keluarganya sampai diserang dengan satu truk orang yang membawa parang. Kemudian ada perwakilan dari FPI dan FPR membelanya. “Saya merasa tidak ada perlindungan sama sekali dari kepolisian dan hukum, yang melindungi saya justru orang FPI,” ungkapnya.
Ketika mengajukan cerai, anaknya diculik karena ingin dimurtadkan. Waktu itu dia bingung harus lari ke mana karena kepolisian tidak mendukungnya. “Polisi nggak proses semua pengadilan karena tidak ada saksi yang berani, karena ini keluarga mafia,” ujarnya.
Mengingat dia hampir dibunuh keluarga mantan suaminya, Bunga pun meminta bantuan Komisi V. “Saya dilindungi (dan) diumpetin sama Bu Rieke Dyah Pitaloka, akhirnya saya bercerai,” tambahnya.
Sehingga, dia merasa tidak ada solusi kekerasan terhadap wanita di Indonesia. Dia justru merasa mendapat perlindungan ketika di Jerman. Saat mau diculik, dia lari ke Jerman. Menurutnya, Jerman sangat melindungi wanita.
“Jika ada istri yang disiksa suaminya, polisi di sana langsung melindungi, memberikan shelter (tempat bernaung), dan memberi hukuman dengan jelas kepada pelaku,” ungkapnya.
Praktik Tidak Seindah UU
Mendampingi korban sejak 2002, Yulianti Muthmainnah juga merasakan jenuh dengan hukum di Indonesia. “Bolak-balik kasih ceramah dalam pengajian di anggota dewan, tapi bolak-balik juga nggak ada perubahan undang-undang,” ujarnya.
Meski demikian, dia bersyukur ada Undang-Undang (UU) No 23 tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan dalam Rumah Tangga. Walaupun dalam praktiknya masih banyak kekurangan. “Praktiknya tidak seindah apa yang ada di undang-undang,” komentarnya.
Kalau di tingkat internasional, lanjutnya, UU itu terobosan yang sangat signifikan. Indonesia menyumbang hukum internasional. Kalau di peraturan sebelumnya, yang termasuk kekerasan hanya tiga, fisik, psikis, dan seksual; di UU terbaru itu menambahkan penelantaran ekonomi.
Putus Lingkaran Setan
Yulianti menyatakan, kalau mengalami kekerasan seksual, harus bergerak memutusnya karena itu lingkaran setan. “Ada kekerasan, permintaan maaf, bulan madu, ketegangan lagi, kekerasan, minta maaf, bulan madu lagi, terus gitu,” jelasnya.
Yulianti pun mengapresiasi keberanian keluarga SZ untuk keluar dari KDRT. “Saat ini, jihadnya kita memastikan kebijakan itu berpihak kepada perempuan,” tuturnya.
Kalau tidak masuk ke dalam sistem pemerintah yang membuat kebijakan, apa yang bisa dilakukan? “Saat ini saya ingin mengubah paradigma semua orang bahwa kekerasan perempuan itu bukan kesalahan perempuan, itu karena laki-lakinya yang tidak punya akhlak!” tegasnya.
Dalam kesempatan itu, Yulianti juga mengajak berzakat untuk korban perempuan. “Karena zakat, dalam kajian saya, belum melihat perempuan korban sebagai kelompok mustahik yang penting dalam skema lembaga filantropi di Indonesia,” ucapnya.
Saat ini, BPJS tidak menanggung visum. Visum masih ditanggung korban, bukan negara. BPJS juga tidak menjamin pemulihan korban jangka panjang. Padahal ketika perempuan menjadi korban pelecehan seksual, traumanya jangka panjang.
Cegah KDRT di Pandemi
Selain Bunga, ada pula peserta lain asal Makassar Nurlinda Azis yang bertanya, “Bagaimana agar dalam situasi Covid-19 ini tidak ada kekerasan dalam rumah tangga?”
Pertama, Yulianti mengimbau agar suami-istri saling memahami, termasuk untuk urusan pekerjaan rumah tangga. Seperti dalam hadits, Aisyah mengatakan Nabi juga melakukan pekerjaan rumah tangga seperti manusia umumnya.
Maka dia menegaskan, “Kalau kembali ke ajaran Nabi Muhammad SAW, laki-laki itu ya ke dapur.”
Yulianti lantas mengungkap kesalahan persepsi di masyarakat sekarang. “Hari ini, laki-laki yang membantu istrinya melakukan pekerjaan rumah tangga dianggap laki-laki yang banci, tidak punya kepemimpinan untuk mendidik istrinya,” ujarnya.
Hadapi KDRT Cukup Bersabar?
Menurut Yulianti Muthmainnah, kesalahan persepsi itu terinternalisasi sampai sekarang. Ini tentu jauh dari nilai-nilai agama yang sesungguhnya, di mana laki-laki menghormati perempuan, menundukkan pandangan, tidak pernah memukul perempuan, dan tidak pernah menyentuh perempuan yang bukan haknya.
Dia teringat pada suatu pengajian, ada seorang perempuan—yang mengalami KDRT, dipukul suaminya—bertanya kepada seorang ustadz, bagaimana cara keluar dari KDRT. Ustadz itu mengimbau agar bersabar. Menurut Yulianti, bersabar saja tidak cukup.
Dia lalu mengingatkan hadits Man ra’a minkum munkaran fal yughayyirhu biyadih. Maksudnya, barang siapa melihat kemungkaran, ubahlah dengan tanganmu. “Tidak boleh diam kalau ada kekerasan di sekitar kita!” tuturnya.
Kalau tidak mampu membantu dengan lisan, dia mengimbau untuk bantu melaporkan ke polisi. Ketika mengalami kekerasan, tambahnya, harus memutus rantai itu. Ini bisa dilakukan dengan mengutus orang untuk menyelesaikan persoalan, seperti hakim. (*)
Penulis Sayyidah Nuriyah Editor Mohammad Nurfatoni