Pemberontakan lewat Mural oleh M Rizal Fadillah, Pemerhati Politik dan Kebangsaan.
PWMU.CO– Untuk memerdekakan negara dari kaum imperialis penting adanya perlawanan bahkan pemberontakan. Sejarawan Ahmad Mansyur Surya Negara dalam buku karyanya Api Sejarah telah menggambarkan dahsyat dan gigihnya pemberontakan kaum ulama dan santri. Pemberontakan membangun semangat juang elemen lain untuk bersama melawan kezaliman kaum imperialis.
Setelah merdeka, selalu saja ada penguasa yang berperilaku sama dengan kaum imperialis itu. Sok kuasa, gemar mengadu domba, mengooptasi koalisi, abai pada aspirasi rakyat, serta cenderung menindas.
Perlawanan pun muncul di tengah kezaliman tersebut dalam berbagai bentuk mulai dari sikap kritis para aktivis, petisi tokoh, aksi unjuk rasa mahasiswa, hingga santri dan ulama yang menggelorakan jihad. Puisi, graffiti, dan mural termasuk yang menjadi media untuk perlawanan bahkan pemberontakan (insurrection).
Rezim Jokowi mengarah pada perilaku imperialis. Oligarki politik, ekonomi dan etnik dibangun masif. Profil sederhana menjadi desepsi dari kebrutalan untuk membunuh demokrasi dan hak asasi. Sikap kritis aktivis dikendalikan, aksi unjuk rasa dibungkam, kriminalisasi ulama dijalankan. Pandemi dijadikan alasan. Penegakkan hukum menjadi alat dari kekuasaan.
Fenomena perlawanan kontemporer adalah mural. Mural berasal dari bahasa Latin murus. Artinya, dinding. “Menggambar atau melukis di atas media dinding, tembok, atau media luas lainnya yang bersifat permanen”.
Sejarah mural sudah ada 31.500 tahun yang lalu sejak ada lukisan gua di Lascaux Paris selatan. Menggunakan cat dari buah. Mural Pablo Picasso Guernica sangat terkenal dibuat saat perang sipil di Spanyol tahun 1936-1938 sebelum Perang Dunia pertama.
Mural sejak awal menjadi bentuk ungkapan untuk mengkritisi masalah sosial. Pejabat yang paranoid sering menghapus mural. Membungkam protes walau konten itu sebenarnya hanya sekadar sindiran. Para seniman mengekspresikan jiwa seninya melalui lukisan di dinding. Rezim represif memburu dan mencoba membungkam atau menghukumnya.
Pemerintahan Jokowi menghadapi insureksi (pemberontakan) mural saat ini. Yang ramai adakah wajah Jokowi yang tertutup mata bertuliskan 404: Not Found. Di berbagai kota seperti Jakarta, Bandung, Tangerang, Solo, Bogor hingga Banjarmasin mural merebak. Berbagai isi kritik tertulis seperti Tuhan aku lapar, Dipaksa sehat di negara yang sakit, Wabah sesungguhnya adalah kelaparan, Masyarakat minus nurani, Yang bisa dipercaya dari TV hanya adzan, atau Jangan takut tuan-tuan, ini cuma street art.
Mural adalah seni yang butuh kecerdasan dan keberanian karena bermakna kuat sebagai kritik atau koreksi. Ada mural menggambarkan seseorang berbaju putih dengan kepala masuk di lubang seperti burung unta. Ada tulisan 11.000 Trillion: Not Found. Sangat mudah dipahami arah kritikan ini. Demikian juga dengan mural: Selamat datang di Indonesia-NKRI harga nego.
Kini banyak mural dihapus dan pembuatnya diburu. Tetapi adakah pelanggaran pidana? Tentu tidak. Hanya mungkin sebatas pelanggaran Perda kebersihan dan keindahan. Itupun masih bisa diperdebatkan.
Mural insurrection menjadi strategis bagi penyadaran perilaku kekuasaan yang selalu merasa benar dan anti kritik. Penguasa yang lupa bahwa rakyat jika terus diinjak akan bisa menggigit. Diawali oleh gerakan moral ini.
Mural adalah manifestasi mual yang bisa membuat ’murus’ dan ’muang angin’ atau ’muang air kecil’ dan besar. Mural adalah perlawanan ketika elemen lain tak berdaya. DPR yang mati suri dan partai politik yang bermasturbasi. (*)
Bandung, 29 Agustus 2021
Editor Sugeng Purwanto