PP IPM Dilantik, Haedar Nashir ingatkan soal tas dan fasilitas. Ketua Umum PP Muhammadiyah itu juga mengingatkan pentingnya solidaritas dakwah dan bukan solidaritas politik.
PWMU.CO – Pelantikan Pimpinan Pusat (PP) Ikatan Pelajar Muhammadiyah (IPM) periode 2021-2023 akhirnya terlaksana setelah proses panjang dari Muktamar XXII disusul Muktamar Luar Biasa. Pelantikan berlansgung Senin (30/8/2021) secara daring via Zoom Clouds Meetings dan luring di Aula PP Muhammadiyah Cik Di Tiro Yogyakarta dan Gedung Dakwah PP Muhammadiyah Jakarta.
Pelantikan ini resmi menandai dimulainya kepemimpinan baru PP IPM di bawah komando Nashir Efendi setelah sebelumnya Muktamar XXII IPM di Purwokerto tidak menghasilkan ketua umum dan sekretaris jenderal definitif.
PP IPM 2021-2023 dijabat oleh 59 anggota yang terbagi dalam 12 bidang, tiga di antaranya baru ditetapkan pada Muktamar XXII yakni Bidang Lingkungan Hidup, Teknologi dan Informasi, serta Kesehatan.
Di luar pimpinan harian dan 12 bidang di atas, ada enam lembaga yang mendukung kerja pimpinan pusat yakni Lembaga Media dan Komunikasi, Penelitian dan Pengembangan Sumber Daya Insani, Pustaka, Fasilitator, Pengembangan Komunitas, serta Bantuan Hukum Pelajar.
Fokus Dua Aras
Ketua Umum PP IPM Nashir Efendi menyampaikan, IPM periode ini akan berfokus pada dua aras: intelektual dan budaya pop. Mengusung tagline “IPM sebagai Wahana Keilmuan”, Nashir berharap IPM mampu menjadi ruang yang asyik dan menyenangkanm di samping menjadi wadah belajar, bergerak, berbagi dan berkolaborasi,
Nashir Efendi mengatakan, kapasitas IPM sebagai kaum terpelajar harus selaras dengan aksi-aksi sosial sebagai bentuk kepedulian untuk sesama dan harus selaras dengan berbagai kebermanfaatan yang ada. Mengutip Kuntowijoyo, dia menuturkan “… iman berujung pada amal. Tauhid harus diaktualisasikan.”
Amanat Pimpinan Pusat Muhammadiyah
Ketua Umum PP Muhammadiyah,Haedar Nashir menyampaikan amanat untuk para anggota PP IPM 2021-2023 yang baru dilantik tersebut.
Menyinggung tema pelantikan kali ini “The Great Shifting: Mencari Platform Gerakan Pelajar di Era New Normal”, Haedar mengatakan, “Tentu bahwa perubahan-perubahan besar itu mesti berpijak pada bumi realitas ‘ketika dan di mana’ kita berada, agar tidak melambung tinggi di angkasa raya. Dan dunia Ikatan Pelajar Muhammadiyah adalah dunia pelajar. Dunia yang sedang mekar, tumbuh dan berkembang.”
Bagaimana mentransformasikan dan mengaktualisasikan “The Great Shifting” dalam isu-isu besar di dalam realitas gerakan PP IPM di dunia pelajar Indonesia? Haedar menyatakan “Langkah awal harus mengerti apa yang dipelajari. Itulah tradisi iqra’, tradisi ‘nuun wal qalami wa maa yasthuruun‘.
Menurut Haedar Iqra tidak sembarang Iqra, tapi Iqra yang punya dimensi ilahiah, yang berdimensi profetik. ”IPM juga harus mampu menurunkan isu-isu besar menjadi isu-isu menengah dan mikro. Kemudian, memetakan kembali dunia pelajar saat ini yang mengalami perubahan luar biasa,” pesannya.
Islam Agama Prajurit
Haedar juga menyoroti pola pemikiran keagamaan kader Muhammadiyah akhir-akhir ini. “Pemikiran-pemikiran keagamaan kita jangan-jangan banyak dogmatis, banyak normatif. Bayani, bayani pun kering, bukan bayani yang istiqra’ ma’nawi, bukan yang saling koneksi antarayat dengan ayat, ayat dengan hadits, dan seterusnya. Lepas-lepas.”
Dia melanjutkan, “Di Muhammadiyah itu, mungkin karena aktivitasnya menjadi aktivisme, itu ada lompatan. Maka beruntung ketika tarjih (Majelis Tarjih dan Tajdid) kemudian melakukan rekonstruksi sesuai dengan apa yang diletakkan oleh Kiai Dahlan, bahwa dalam memahami Islam itu, dengan pendekatan bayani, burhani, dan, tambah satu lagi, irfani.”
Ia menekankan pentingnya dimensi Irfani “Nah dimensi irfani juga, aspek-aspek humanisme itu kan bahkan ciri dari dunia modern, dunia pencerahan. Bahkan posmodern juga mengakui nilai-nilai humanisme—biarpun kemudian menjadi bablas pada humanisme sekular—tetapi, penghargaan terhadap kemanusiaan itu tinggi,” terangnya.
Nah, dia melanjutkan, jangan-jangan di dunia pergerakan keagamaan, lebih khusus di Islam, dimensi irfani itu kemudian tidak hidup karena agama menjadi serba bayani yang terbatas.
“Burhani-nya pun mungkin instrumental, lalu menjadi, melahirkan (Weber nggak nyaman ketika nyebut) bahwa ‘Islam itu agama prajurit’. Yang tampil para mubaligh, tokoh agama itu ya seperti prajurit … seperti prajurit perang.”
Solidaritas Dakwah, Bukan Solidaritas Politik
Haedar percaya bahwa kader IPM memiliki modal yang bagus soal integritas, kualitas, dan solidaritas. Haedar menekankan, integritas perlu dirawat di tengah realitas yang serba pragmatis dan hedonistik. Ia berharap kualitas bacaan klasik dan modern kader IPM harus lebih baik dari ayahanda pimpinan Muhammadiyah.
Haedar mengingatkan para pimpinan dan kader IPM terkait pentingnya solidaritas dakwah, bukan solidaritas politik. “Kalau konsep politik, kan, konsep sharing kekuasaan, kemudian distribusi kekuasaan, lalu teorinya teori oposisi biner antara hegemoni dan sub-ordinasi. Dunia dakwah tidak itu, tapi interkoneksi, unity,” ujarnya.
Ia mengkhawatirkan, “Kalau kita pakai teori-teori itu, nanti yang muncul adalah pikiran-pikiran oposisi terus. Kalau toh ada dinamika, ada problem, itu problem yang alamiah terjadi, yang kemudian kita bisa menyelesaikannya. Bukan dengan political sharing. Ini penting.”
Di akhir amanatnya, Haedar sempat menyinggung soal ‘tas’ yang lain. “Fasilitas, isi tas itu jangan dipikirkan, karena itu (Muhammadiyah) harus diperjuangkan bersama. Jangan berpikir kayak mereka yang ada di tempat sana. Belum apa-apa sudah berpikir soal isi tas dan fasilitas. Semua berjuang di Muhammadiyah, di ortom (organisasi otonom),” pesannya. (*)
Penulis Aunillah Ahmad Editor Mohammad Nurfatoni