PWMU.CO – Nama besar tak cukup, produk ini sukses gunakan story telling! Demikian Co-Founder dan Kepala Pengembangan Produk PT ZAM Kosmetik Indonesia Tania Ray Mina mengungkapnya, Senin (30/8/21) pagi.
Setelah bekerja sebagai profesional di PT HM Sampoerna selama tujuh tahun, lulusan sekolah bisnis Prasetya Mulya itu menemui titik baliknya memasuki dunia bisnis setelah memiliki anak.
Tania memilih menjadi full time enterpreneur dengan pertimbangan bisa lebih fleksibel mengatur waktu. “Prioritas itu memang harus selalu diambil, nggak bisa berusaha mengambil semuanya, akhirnya saya memprioritaskan keluarga saya,” ungkapnya.
Lahir di Luar Zona Nyaman
Untuk memperluas kemampuan berbisnisnya, dia menyadari perlu keluar dari zona nyaman. Maka lahirlah bisnis komestik halal untuk memenuhi kebutuhan keluarganya.
“Pada akhirnya, kita coba expand ke kategori lain tapi yang juga masih dekat dengan keseharian dan masih nyambung dengan fashion bussiness kita,” ungkapnya.
Tujuh bersaudara—lima perempuan dan dua laki-laki—itu memiliki kebutuhan dasar skin care yang berbeda-beda. Sebab, kondisi kulitnya berbeda-beda. Mereka akhirnya coba mengakomodasi semua kebutuhan. Baik yang masih remaja sehingga punya banyak acne, dalam kondisi hamil, maupun menyusui.
Tania mengungkapnya pada Muharram Marketing Festival 2021 yang digelar virtual di Zoom dan Marketeers TV. Webinar yang diselenggarakan MarkPlus Islamic Inc itu mengangkat tema “The Next Marketing of Islamic Cosmetic and Personal Care“.
Nama Besar Tidak Cukup
Dia mengawali bisnisnya dari membangun PT Cals Corpora Indonesia bersama keenam saudaranya. “Ini adalah bisnis yang dibangun sebelum saya keluar dari perusahaan yang sebelumnya,” ujar adik kandung artis Zaskia Adya Mecca itu.
Dia membangun di bidang pakaian dengan merk ZM dan BIA. Meski keduanya dianggap sukses bertahan karena nama besar Zaskia Adya Mecca, tapi Tania meluruskan, “Nama besar pun tidak cukup untuk mendukung sustainability dari bisnis!”
Menurut Tania, perlu maintain dengan punya visi dan banyak pencapaian. Akhirnya, membuat bisnisnya sustain. “Alhamdulillah brand fashion kita masuk top 10 fashion moslem brand di e-commerce Indonesia,” ujarnya.
Awalnya, mereka dapat kontrak eksklusif dari salah satu department store besar di Indonesia yang sedang gencar membangun brand atas nama artis. Dia mengakui asosiasi dengan nama besar kakaknya itu perlu, sebagai gerbang masuk memperkenalkan produk yang lebih mudah.
Tapi dia tidak mau terlalu melekat dengan asosiasi itu ketika brand ZAM harus berkembang. Ketika di ZM, brand fashionnya, Zaskia perlahan tidak lagi dihadirkan wajahnya. Mereka justru menampilkan sosok baru yang lebih relevan dengan target pasar mereka.
“Justru menampilkan ‘Zaskia Mecca lainnya’ di masa sekarang,” ungkapnya.
Filosofi Berkumpul dan Kebersamaan
Terkait merk ZAM yang juga banyak diasosiasikan dengan akronim Zaskia Adya Mecca, Tania meluruskan saat launching justru mereka ingin membangun brand independen. Tidak harus melekat dengan brand ambassador.
ZAM, lanjutnya, diambil dari bahasa Turki yang berarti berkumpul. “Kita kan keluarga, adik-kakak, kita melakukan family bussiness generasi pertama. Bukan turunan dari orangtua,” terangnya.
Dengan berkumpul, tambahnya, mereka bisa support satu sama lain. Melihat kemampuan siapa yang cocok di mana, akhirnya bisa membentuk usaha. “Kita local brand yang tidak disupport siapapun, adik-kakak yang terus menjaga kebersamaan,” jelasnya.
Peran Konsep dan WoM
Menjawab pertanyaan Taufik tentang cara menarik perhatian dan meyakinkan produknya berkualitas, Tania menilai orang lebih tertarik brand lokal karena brand itu punya kebebasan berekspresi, menciptakan warna, dan komunikasi.
Rekomendasi dan review konsumen (WoM) berperan penting. Ketika konsumen mencoba produk halal dan menggunakan bahan dasar air, mereka merasa memakai hal baru yang ringan. Karena biasanya lipstik terlalu berat di bibir dan tidak bertahan lama. “Ini semua word of mouth (WoM)!” tuturnya.
Tania juga menilai produk kosmetiknya bisa dilirik karena tanpa menggunakan alkohol dan mengusung konsep halal, tapi tetap berkualitas.
Beda lagi untuk produk skin care. Menurutnya, sukses dilirik karena jarang ada pemain lokal, semuanya berhijab, menampilkan pria-wanita, dan bisa mengakomodasi kebutuhan berbagai jenjang usia.
Dia mengaku awalnya tidak berharap produknya berkembang besar. “Saat kita mengeluarkan ZAM, kita tadinya berpikir ini adalah komplementer bisnis kita sebelumnya,” ungkapnya.
Hanya saja, dia menyatakan tidak mungkin menciptakan produk yang penting ada alias setengah-setengah. Apalagi, dulu produknya langsung laris di pasar karena banyak yang mencari label halal di lip matte. “Label halal pada kosmetik pada tahun 2017 belum banyak, terutama dari indie brand,” kata dia.
Story Telling Bisnis Digital
Saat memutuskan menggunakan bisnis digital sebagai platform utama berjualan, Tania menegaskan pentingnya peran konten. “Terlepas dari produk harus berkualitas, tapi bagaimana kita menyampaikannya melalui konten,” terang perempuan kelahiran 1 April 1989 itu.
Tidak hanya fokus pada kualitas produk, tapi juga dengan story telling, menceritakan kisah di balik lahirnya. “ZAM selalu mengangkat tema-tema setiap bulannya yang relevan dengan isu saat ini,” tegasnya.
Misal, tentang diversity (keberagaman), baik warna, lokasi, sampai pola pikir seseorang. “Nggak apa lho setiap orang memiliki aneka perbedaan, tapi mereka juga bisa menyatu dalam satu Indonesia, ZAM bisa masuk sebagai produk yang bisa mereka gunakan bersama-sama,” tutur Tania.
Dalam membuat konten, imbuhnya, tidak hanya mengambil foto. “Tidak hanya mencari lima model dengan latar belakang berbeda, tapi kita juga buatin videonya yang menceritakan background-nya apa, dan itu dikemas dalam cerita yang bisa bikin orang ZAM itu dekat dengan mereka,” ungkapnya.
Mereka juga menampilkan cerita pemberdayaan perempuan. “ZAM dilahirkan atas perempuan-perempuan yang semuanya bisa punya inisiatif kemauan untuk berkarya. Kita menampilkan cerita bagaimana perempuan ini tetap berkarya walaupun mereka pada life stages yang berbeda,” jelas Tania.
Tapi, metode story telling ini juga menurutnya perlu menyesuaikan dengan kapan sekiranya lebih perlu mengomunikasikan manfaat dan perbedaan produk. Ini timnya lakukan saat mengeluarkan lip art.
“Kita nggak terlalu pusing dengan bagaimana story di belakangnya harus menceritakan tentang lip art ini. Kita hanya fokus pada kebutuhan orang memakai masker, tapi saat digunakan produk itu tidak menempel di maskernya,” tuturnya. (*)
Penulis Sayyidah Nuriyah Editor Mohammad Nurfatoni