Konflik Umat, Harus Berpihak ke Siapa oleh Nurbani Yusuf, Komunitas Padhang Makhsyar Kota Batu.
PWMU.CO– Politik umat Islam memang mengandung konflik. Bahkan DNA konflik ini telah ada sejak jenazah Rasulullah saw belum dikuburkan. Kemudian terus tumbuh berkembang dengan berbagai varian. Dan saya belum punya penjelasan yang rasional argumentatif kenapa umat Islam terus berpecahan dalam urusan politik.
Samuel Huntington menulis, ada Barat, ada Islam keduanya disebut sebagai peradaban dan di antara keduanya bakal terjadi benturan. Dalam Majalah Foreign Affairs edisi musim panas dua puluh tahun silam,tesis Samuel Huntington tentang benturan peradaban berbanding terbalik dengan tesis Rasulullah saw bahwa umat Islam tak bisa dikalahkan oleh musuh kecuali saling mengalahkan sesama umat Islam sendiri patut diuji.
Dua model tesis ini signifikan berpengaruh terhadap realitas politik umat Islam masa kini sebagai terusan dari warisan konflik politik masa salaf yang riuh.
Tidak ada varian konflik yang baru kecuali nama yang diubah-ubah yang tidak substantive. Pun konflik politik negara-negara mayoritas Islam di Timur Tengah dan semenanjung Teluk bersumbu pada tiga atau empat negara yang merepresentasi episentrum kepentingan dan model ideologisnya secara acak. Empat yang berseteru adalah Saudi, Turki, Iran dan Afghanistan. Keempat negeri ini meski sama-sama muslim jangan harap bisa akur.
Di masa akhir khulafaur rasyidin, dua muslim bertengkar berebut benar juga kekuasaan yang menyertai menjadikan saya seperti kehilangan akal harus berpihak pada Amru bin Ash yang cerdik atau Abu Musa Al Asy’ary yang wara dan zuhud.
Begitulah politik, peristiwa tahkim usai kemenangan Khalifah Sayidina Ali karamallahu wajh melawan Gubernur Syam Mu’awiyah ra diakhiri di meja runding yang dimenangkan Mu’awiyah. Saya sebagai patriot menyesalkan kenapa Sayidina Ali ra menerima tawaran Mu’awiyah untuk berunding. Dan sebagai politisi menganggap siasat Mu’awiyah yang menawarkan berunding sungguh brilian.
Tiga kesalahan fatal Sayidina Ali ra untuk kasus ini, pertama, menerima tawaran tahkim. Kedua, mengutus Abu Musa Al Asy’ari sebagai delegasi, dan ketiga, Sayidina Ali ra terlalu baik dan husnuzhan. Tiga hal ini yang secara mujmal dianggap sebagian besar ilmuwan sebagai penyebab kalah.
Memelihara Konflik
Sekarang saya tak harus tuliskan kenapa Turki dan Taliban berseteru. Setidaknya kedua negara ini dianggap sebagai yang tersisa dari puluhan negara Islam yang patut dijadikan model. Yang merepresentasi umat Islam dalam menjaga ghirah dan izzul Islam. Ketika sebagian besar umat Islam Indonesia kehilangan kepercayaan terhadap rezim Jokowi yang sedang berkuasa, meski belum ada bukti bahwa rezim yang sedang berkuasa di Indonesia lebih buruk dari Recep Tayip Erdogan atau Mullah Abdul Ghani Baradar penguasa baru Taliban.
Tak sedikit sanjung puji pada kedua pemimpin umat Islam ini. Meski belakangan membuat saya kecewa berat karena seteru yang terus dirawat. Pada akhirnya saya berpikir bahwa bukan Islam yang diperjuangkan tapi Islam dijadikan sebagai alat perjuangan untuk memenuhi egoisme ideologis yang tak pernah cukup.
Sikap politik memang soal subjektivitas. Termasuk saya yang mengidolakan Imam Khomaini meski saya bukan Syiah. Penyuka al-Hallaj yang berpaham wihdatul wujud meski saya aktivis Muhammadiyah sejak lahir. Saya juga menganggap Jokowi sebagai rahmat bagi bangsa Indonesia ketika politik identitas yang sempat membekap sebagian umat Islam yang mabuk agama pada Pilpres yang lalu.
Jadi ke mana saya harus berpihak. Erdogan atau Baradar? Tidak kedua-duanya atau iya kedua-duanya dengan berbagai risiko. Tak perlu akal sehat untuk menentukan keberpihakan. Ini hanya soal selera siapapun bebas memilih dan berpihak kepada yang disuka. Jujur saya katakan bahwa: Indonesia adalah jalan tengah terbaik. Wallahu taala a’lm.
Editor Sugeng Purwanto