Pidato Haedar, Oase di Tengah Kemarau Kebangsaan. Ditulis oleh Prima Mari Kristanto, warga Muhammadiyah yang tinggal di Lamongan.
PWMU.CO – Tidak ada angin, tidak ada hujan. Pidato Ketua Umum Pimpinan Pusat Muhammadiyah Prof Dr Haedar Nasir MSi yang disiarkan jaringan TVMu dan CNN Indonesia pada 30 Agustus 2021 seperti oase di tengah sahara yang gersang.
Indikasi gersang antara lain bangkitnya militansi aktivis lingkungan Greenpeace Indonesia sebagai bagian dari Greenpeace Internasional yang ikut peduli masuk ranah politik. Beberapa waktu lalu aktivis-aktivis Greenpeace menembakkan laser ke gedung KPK sebagai protes atas penonaktifan penyidik-penyidik senior melalui tes wawasan kebangsaan. Greenpeace sebagai organisasi aktivis lingkungan demikian peduli dengan KPK, demikian juga seniman-seniman jalanan yang mulai banyak menyindir melalui mural-mural sebagai gambaran ada masalah di negeri ini.
Masalah sebagai bagian dari kehidupan dan sebagai pertanda kehidupan, tidak ada kehidupan tanpa masalah. Yang sering menjadi perdebatan adalah cara menyelesaikan masalah. Perdebatan dan perbedaan pendapat yang dikelola dengan baik bisa melahirkan teori baru dalam pemecahan masalah, demikian menurut Bung Hatta salah satu founding fathers Indonesia. Para pendiri bangsa telah memberi keteladanan yang indah ketika menyepakati Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945 pada 18 Agustus 1945, di mana sebelumnya para tokoh telah mengajukan draft usulan masing-masing melalui sidang-sidang Badan Penyelidik Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI) dan Panitian Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI).
Salah satu kesepakatan krusial pada 18 Agustus 1945 yaitu penghapusan tujuh kata yang diusulkan sebelumnya dalam Piagam Jakarta 22 Juni 1945 tentang Ketuhanan dengan Kewajiban Menjalankan Syariat Islam bagi Pemeluk-Pemeluknya. Kalimat itu diubah menjadi Ketuhanan Yang Maha Esa. Kesepakatan ini dianggap sebagai jalan tengah dari usulan-usulan sebelumnya termasuk Ketuhanan Yang Berkebudayaan usulan dari Sukarno pada 1 Juni 1945. Salah satu pesan penting Haedar Nasir pada pidatonya adalah agar pihak-pihak yang merasa berwenang melakukan amandemen UUD 1945 berhati-hati.
Sekilas Masuk Akal
Dua argumen pro amandemen yang “sekilas” tampak benar dan “masuk” dalam logika, UUD 1945 bukan kitab suci dan karena bisa diamandemen melalui sidang MPR sebagai representasi atau perwakilan rakyat yang dipilih melalui pemilihan umum. Bahwasanya UUD 1945 bukan dihasilkan dengan tergesa-gesa, karena sidang-sidang BPUPKI dan PPKI telah berlangsung sejak bulan Mei 1945 atau tiga bulan sebelum Agustus 1945. Jauh sebelum sidang-sidang BPUPKI dan PPKI konsep sebuah negara Indonesia merdeka yang dicita-citakan para pendiri bangsa telah dibicarakan dan ditulis dalam terbitan-terbitan, kongres-kongres Budi Utomo, Perhimpunan Indonesia, Sumpah Pemuda ,dan sebagainya.
Jika para pengusul amandemen UUD 1945 saat ini merasa sebagai pemilik gagasan kekinian adalah sebuah klaim di siang bolong karena usulan amandemen UUD 1945 pernah terjadi pada tahun 1955. Pada tahun tersebut bahkan dilakukan pemilihan umum secara khusus untuk memilih anggota dewan konstituante setelah pemilihan anggota DPR. Apa daya setelah melakukan sidang selama empat tahun tidak kunjung menghasilkan kesepakatan Undang-Undang Dasar yang baru sebagai pengganti UUD 1945 sampai keluar Dekrit Presiden 5 Juli 1959 untuk kembali pada UUD 1945.
Konsisten pada UUD 1945 lebih efisien daripada melakukan amandemen lanjutan demi mengamankan jabatan orang dan kelompok tertentu
Dari kejadian tahun 1955 sampai 1959 bisa belajar ternyata menghasilkan kesepakatan yang sama-sama “menguntungkan” tidak mudah, artinya UUD 1945 yang disepakati pada 18 Agustus 945 telah mewakili beragam kepentingan di tengah kemajemukan bangsa Indonesia.
Perkembangan berikutnya masa Orde Lama dan Orde Baru tidak ada amandemen UUD 1945 meskipun menghasilkan Demokrasi Terpimpin dan Asas Tunggal dengan penyederhanaan jumlah partai politik. Era Orde Lama dan Orde Baru ditengarai banyak melakukan penyimpangan meskipun tidak melakukan amandemen pada UUD 1945. Beragam kejanggaan yang dirasakan pada masa Orde Lama dan Orde Baru mendorong para elite politik era reformasi melakukan amandemen UUD 1945 khususnya tentang pembatasan masa jabatan presiden dan susunan kedudukan lembaga-lembaga negara.
Amandemen untuk Amankan Jabatan?
Amandemen UUD 1945 menghasilkan pasal pembatasan masa jabatan Presiden selama dua periode yang dipilih secara langsung. Ada pepatah sekali layar terkembang, pantang surut ke belakang, amandemen demi amandemen terlanjur dilakukan, saatnya melaksanakan sesuai kesepakatan. Sulit konsisten pada kesepakatan tampaknya menjadi penyakit elite politik ketika wacana amandemen UUD 1945 mengarah kembali ke masa Orde Lama atau Orde Baru, merubah masa jabatan Presiden lebih dari dua periode.
Ironi jika amandemen demi amandemen atau perubahan UU hanya serius dalam pembahasan masa jabatan Presiden dan penyelenggaraan pemilu perihal jabatan DPR, belum sungguh-sungguh menyajikan UU yang berpihak pada masyarakat.
Saat ini skor pergantian Presiden secara paksa dan terencana sama-sama imbang tiga dibanding tiga. Presiden Sukarno, Presiden Suharto dan Presiden Gus Dur terpaksa turun karena tekanan massa. Peralihan dari Presiden Habibie kepada Presiden Gus Dur, Presiden Megawati kepada Presiden Susilo Bambang Yudhoyono dan berlanjut kepada Presiden Joko Widodo melalui proses pemilihan umum. Menyayangi bangsa agar jangan lagi terjadi aksi massa dalam pergantian kepemimpinan menjadi tanggung jawab bersama. Suka tidak suka, aksi massa tidak mungkin terbendung jika saluran aspirasi resmi melalui pemilihan umum ditutup.
Konsisten pada UUD 1945 lebih efisien daripada melakukan amandemen lanjutan demi mengamankan jabatan orang dan kelompok tertentu. Peralihan kepemimpinan secara konstitusional lebih murah daripada melakukan perubahan konstitusi demi mempertahankan jabatan tertentu. Biaya politik akan berdampak pada biaya ekonomi, biaya hidup masyarakat bertambah berat apabila pemilihan umum yang dibiayai dengan uang rakyat tidak benar-benar berorientasi untuk kesejahteraan masyarakat.
Demokrasi disiapkan untuk melakukan pergantian kepemimpinan jika telah tiba waktunya dengan melibatkan partisipasi masyarakat. Demokrasi sebagai ikhtiar agar tidak terjadi praktik melanggengkan dinasti kekuasaan sebagaimana sistem monarki atau sistem tangan besi yang merekayasa aspirasi masyarakat demi mempertahankan kekuaasaan kelompok oligarki, hasil kolusi antara penguasa dengan pemilik modal besar.
Maka menarik sinyal keprihatinan yang disampaikan Haedar Nashir. Itu ibarat oase di tengah padang pasir kebangsaanß yang gersang. (*)
Pidato Haedar, Oase di Tengah Kemarau Kebangsaan: Editor Mohammad Nurfatoni