PWMU.CO – Inilah Strategi Branding Universitas Al-Azhar Indonesia. Wakil Rektor IV bidang Inovasi, Kewirausahaan, dan Pengembangan Universitas Al-Azhar Indonesia Ary Syahriar PhD DIC membahasnya dalam Muharam Marketing Festival 2021 hari kedua, Selasa (31/8/21).
Diskusi interaktif melalui Zoom Cloud Meeting dan kanal Youtube Marketeers TV itu digelar MarkPlus Islamic. Kali ini, mengangkat tema “Tren Pemasaran Islami di Sektor Penerbitan Buku dan Edukasi”.
Moderator sekaligus CEO MarkPlus Islamic dan Deputy Chairman MarkPlus Inc H Taufik menanyakan strategi agar brand tetap stand out dengan karakternya. Mengingat, di Yayasan Pesantren Islam Al-Azhar ada mulai TK sampai universitas.
Ary Syahriar PhD DIC menyatakan, Al-Azhar berawal dari mendirikan masjid. Baru kemudian mendirikan sekolah TK-SMA dan universitas.
Maka dia mengklaim, Universitas Al-Azhar bukan masjid kampus, tapi kampus masjid. “Universitasnya didirikan oleh masjid,” ujar doktor lulusan Imperial College London itu.
Terapkan Strategi Pengembangan
Untuk menjaga trademark dari TK sampai Universitas Al-Azhar, ada beberapa hal yang dilakukan. Pertama, dengan filosofi pendidikan rahmatan lil ‘alamin—center of excellent Islamic civilization—Universitas al-Azhar punya serangkaian proses strategi pengembangan. Yaitu input, proses, output, dan outcome.
Di antaranya, membangun halal lifestyle, menerapkan konsep moslempreneurs, dan menjadikan lulusan insan kamiil. “Setelah keluar dari universitas, kami melakukan tracer studies, untuk membuat proses itu lebih adjustable pada masyarakat,” ujar pria kelahiran Madiun, 6 Desember 1962 itu.
Bagi Jejaring Inovasi
Kedua, berkonsep inovation based university, ada pembagian jejaring inovasi di dalam universitas. Jejaring ini didukung enam fakultas, di antaranya fakultas ekonomi, sains dan teknologi, serta hukum. “Kami membagi dalam cluster-cluster, bagaimana membangun inovasi produk dan proses,” terangnya.
Inovasi dibentuk dalam empat cluster, yaitu inovasi organisasi, produk dan proses, peraturan dan ekosistem, serta budaya dan pemasaran. Ini didukung dengan membangun lingkup pasarnya sendiri bernama Tajeer.store. Di pasar itu, para mahasiswa bisa mengejawantahkan seluruh konsep inovasi dari pembelajaran di kelas.
Masukkan Nilai Islam
Ketiga, Universitas Al-Azhar juga selalu memasukkan nilai-nilai Islam dalam setiap pembelajaran. Salah satunya dengan memberikan sebuah ayat al-Quran yang relevan, kemudian membahas dan memasukkannya ke teori-teori di kelas. Baik terkait sains dan teknologi maupun sosial.
Yang terbaru, mereka menciptakan mata kuliah Green Technology yang dia nilai sangat Islami. “Bagaimana reduce CO2 tanpa menghancurkan alam? Itu bagian dari Islam!” ungkapnya. Nilai-nilai bagaimana membangun green technology di dalam kampus, lanjutnya, dihubungkan dengan konsep ihsan di dalam Islam.
Universitas Jadi Lokomotif Penggerak
Keempat, sebagai lokomotif penggerak seluruh sekolah yang berada di bawah yayasan tersebut, Universitas Al-Azhar selalu berinovasi. “Mencari sesuatu yang baru dalam konsep pembelajaran, memasukkan ke kurikulum, dan meletakkan langsung sampai ke TK,” jelasnya.
Dia juga bersyukur, konsep dan penelitian dari Fakultas Psikologi di sana bisa diterapkan langsung di TK, SD, SMP, dan SMA. Selain itu berbagai tulisan pendukung telah diterbitkan, kemudian ditanamkan ke para mahasiswa.
Salah satunya, tulisan Direktur Manajemen Inovasi dan Program Hani Nurlatifah tentang konsep moslempreneur. “Bagaimana menjadikan seorang Muslim dengan nilai ihsan yang besar, menjadi seorang Muslim yang kaffah,” terang Ary.
Tantangan Kesiapan Teknologi
Ary Syahriar meluruskan, ada kesalahan penggunaan kata inovasi, invensi, dan temuan, dicampur-baur definisinya. Dia menegaskan, inovasi adalah sebuah invensi yang masuk ke pasar dan menghasilkan uang secara komersial.
“Kadang kita baru temukan sesuatu, lalu kita katakan itu inovasi, padahal masih invensi,” terangnya.
Bicara inovasi, dia menyatakan Indonesia menjadi negara dengan kesiapan teknologi terendah di dunia, sehingga perlu memperbaikinya. “Dosen-dosen, tenaga peneliti membuat publikasi hanya sekadar mengejar untuk menjadi profesor,” ungkapnya.
Dia mengklaim, hanya sekitar 15 persen anak lulusan SMA yang mau melanjutkan pendidikan di bidang sains dan teknologi. Rinciannya, 10 persen masuk teknologi dan 5 persen masuk sains. Sedangkan 85 persen lainnya mau masuk sosial dan humaniora.
Fokus Hasilkan Produk
Untuk mendukung inovasi berkelanjutan, dia menyatakan Indonesia membutuhkan sekitar 150 ribu sarjana teknik. Yang menyedihkan, menurutnya, separuh dari sarjana teknik di Indonesia biasanya bekerja di bank atau perusahaan yang tidak ada hubungannya dengan inovasi.
Perlu mengembangkan sebuah sains dasar yang fokus memiliki satu tujuan: menghasilkan produk.
Tantangan lainnya, siswa SMA sekarang tidak berminat kuliah di jurusan hardcore engineering yang dinilai susah lulusnya, padahal yang paling dibutuhkan. Yaitu teknik mesin, sipil, dan elektro. “Mereka lupa, lulusan hardcore engineering adalah orang yang paling dicari sekarang,” ujarnya.
Maka, agar kesiapan teknologi Indonesia lebih kuat, dia menyarankan agar berkaca pada Australia. Yaitu dengan membangun with mission oriented basic science. “Kita fokuskan saja mau mengembangkan apa?”
Jadi, menurut Ary, perlu mengembangkan sebuah sains dasar yang fokus memiliki satu tujuan: menghasilkan produk.
Dorong Publikasi Internasional
Menyadari Universitas Al-Azhar menduduki peringkat 87 dari 4 ribuan universitas di Indonesia, maka mahasiswa—terutama di Fakultas Sains dan Teknologi—dipaksa publikasi tingkat internasional. Kalau mau maju sarjana, lanjutnya, paling tidak punya dua jurnal.
“Di jurnal internasional Q3 atau Q4, Q2 kalau dia bisa masuk, bahkan di seminar internasional yang terindeks Scopus,” terangnya.
Meski para mahasiswa tergolong level bawah, Ary menyatakan sebagian besar mahasiswa mampu menulis skripsi dalam bahasa Inggris. “Kami bisa mendorong mereka muncul di dunia internasional untuk publikasi jurnal,” ungkapnya
Itulah wujud kerja sama dengan para dosen yang juga melakukan proyek penelitian. “Alhamdulillah sering membawa pulang best paper,” kata dia.
Bagaimana kolaborasi antar sesama universitas Islam? Menurutnya, inilah wujud tanggung jawab bersama sebagai muslim, untuk membangun umat. Dia menekankan untuk tidak menjadikan kompetisi.
Sehingga, bisa dengan membuat satu konsep bersama untuk membangun suatu produk, tapi ada segmentasi pasarnya masing-masing. “Kita bisa membangun sebuah konsep bersama untuk mencapai rahmatan lil alamin,” ujarnya. (*)
Penulis Sayyidah Nuriyah Editor Mohammad Nurfatoni