Kritikan Haedar Nashir oleh M Rizal Fadillah, Pemerhati Politik dan Kebangsaan
PWMU.CO– Pidato kebangsaan Prof Dr KH Haedar Nashir sangat menarik. Kritikan halus. Terutama saat menyoroti rencana MPR melakukan amandemen kelima yang berkaitan dengan Pokok-Pokok Haluan Negara (PPHN). Haedar mencium adanya kepentingan pragmatis yang melatar belakangi agenda amandemen tersebut.
Ketua Umum PP Muhammadiyah ini menyatakan, ketika kini tumbuh kembali gagasan amandemen UUD 1945, seyogyanya dipikirkan dengan hikmah kebijaksanaan yang berjiwa kenegarawanan autentik.
Dua hal penekanan dari narasi ini yaitu hikmah kebijaksanaan dan kenegarawanan autentik.
Hikmah kebijaksanaan berhubungan dengan kerakyatan. Artinya, orientasi pengambil keputusan politik harus pada kepentingan rakyat bukan kepentingan presiden, partai politik, atau wakil rakyat. Apapun agenda politiknya inilah yang harus menjadi basis. Tanpa orientasi pada kepentingan rakyat maka semuanya menjadi sewenang-wenang. Demokrasi yang dicuri atau dikhianati.
Kenegarawanan autentik merujuk pada sejarah di mana para pendiri negara dahulu menyusun aturan dasar itu berdasarkan pandangan yang jauh ke depan. Memberi panduan bernegara dari generasi ke generasi tidak berdasar kepentingan pendek untuk diri, kelompok, atau partainya. Sinergi dibangun atas dasar kompromi-kompromi. Demi berbangsa dan bernegara yang baik sesuai dengan filsafat dan autentisitas bangsa Indonesia sendiri. Musyawarah untuk mufakat.
”Belajarlah dari empat kali amandemen di awal reformasi yang mengandung sejumlah kebaikan dan kemajuan, tetapi menyisakan masalah lain yang membuat Indonesia kehilangan jati dirinya yang asli,” demikian Haedar Nashir memandang perjalanan politik pragmatis. Kehilangan keaslian jati diri. UUD 1945 dan implementasinya telah terkoyak-koyak, tak berwibawa, dan melenceng jauh.
”Apalagi jika wacana amandemen UUD 1945 berorientasi kepentingan pragmatis jangka pendek. Sebab, itu jelas bertentangan dengan spirit reformasi, Pancasila dan UUD 1945 yang telah dibangun 76 tahun lalu.”
Apa yang diagendakan hanya nafsu untuk memperbesar kekuasaan oligarki bukan demi rakyat, karenanya hal ini bertentangan dengan spirit reformasi yang menginginkan demokratisasi berkeadaban. Bertentangan dengan Pancasila dan UUD 1945 produk 76 tahun lalu. Artinya, Pancasila yang semestinya dimaknai luhur serta UUD 1945 yang asli.
Membangun kenegarawan yang autentik bukan seenaknya mengamandemen UUD 1945 tetapi mengembalikan pada semangat the founding fathers saat menyusun UUD 1945. MPR yang berdaulat sebagai lembaga negara tertinggi, GBHN yang diamanatkan untuk dijalankan oleh Mandataris MPR, keterwakilan golongan, presiden orang Indonesia asli, serta DPR yang kuat dan tidak terkooptasi oleh permainan presiden. Inilah autentisitas itu.
Ketua Umum PP Muhammadiyah Haedar Nashir tidak ekstrem atau radikal. Kritikan lembut yang tajam. Dia mengajak kembali ke UUD 1945 asli, akan tetapi adanya keharusan untuk kembali kepada jiwa kenegarawanan yang autentik adalah absolut.
Kiranya para pengambil keputusan politik diharapkan lebih arif dan bijaksana dalam berkhidmat pada kepentingan rakyat untuk dimensi yang panjang. Mengokohkan fondasi aturan dan panduan demi generasi yang akan datang. Negarawan selalu bekerja keras untuk kehidupan bangsa yang lebih baik. Bukan menggemukkan diri dan membagi-bagi kekuasaan kepada para pengekor dan penjilat.
Rakyat sebenarnya sudah ingin berteriak keras meski yang diteriaki itu orang-orang tuli dan buta. ”Stop amandemen UUD 1945 dan kembali ke UUD 1945 asli!” (*)
Bandung, 2 Agustus 2021
Editor Sugeng Purwanto