PWMU.CO – Paham radikalisasi ideologi kini telah menjangkit dan berkembang di kalangan aktivis Muhammadiyah. Maka dari itu, menurut Sholihul Huda MFil selaku penulis buku ‘Benturan Ideologi di Muhammadiyah’, perlu upaya untuk mencegah semakin berkembangnya paham radikalisasi ideologi di Muhamadiyah.
Dosen FAI UMSurabaya ini mengungkapkan, beberapa langkah pencegahan yang bisal dilakukan, di antaranya dengan cara penyebar luasan gagasan moderasi Islam oleh para mubligh Muhammadiyah, mengembangkan dakwah media untuk mengimbangi informasi dan gagasan ideologi Islam radikal, dan mencetak mubligh-mubligh damai.
”Untuk itu diperlukan sinergi semua pihak di Muhammadiyah agar paham radikalisasi ideologi ini tidak lagi menjangkit aktivis Muhammadiyah,” kata Sholik dalam beda buku ‘Benturan Ideologi di Muhammadiyah’, di Aula Sennat UMM, Sabtu (10/12).
Sholik lantas mengungkapkan, terdapat 4 ciri utama dari gejala ‘mengerasnya’ paradigama atau cara pandang para aktivis Muhammadiyah dalam merespon persoalan-persoalan sosial keagamaan yang kini tengah berkembang di masyarakat. Pertama, adanya erosi atau penggerusan ideologi. Yaitu, memudarnya militansi dan semangat ber-Muhammadiyah para aktivis Muhammadiyah. ”Mereka (aktivis) kini cenderung lebih bersemangat dalam mengikuti kegiatan organsasi lain. Terutama kelompok Islam Transnasional,” terangnya.
Kedua adalah cara-cara dakwah yang digunakan Muhammadiyah mulai begeser. Yakni, dari cara dakwah Muhammadiyah yang menekankan proses penyadaran dan elegan strategis, kini berubah dengan cara dakwah yang bersifat pengerahan massa. ”Cara ini biasa dilakukan oleh kelompok Islam Transasional,” ujar Sholik.
Ketiga adalah adanya kencenderungan homogenisasi (penyeragaman) pemahaman. ”Artinya, dalam ruang perbedaan pemahaman sering muncul tuduhan dan label liberal, kafir, sesat dan lainnya,” Padahal, Sholik melanjutkan, ” karakter Muhammadiyah adalah gerakan Tajdid (pembaharuan) yang barang tentu membutuhkan keragaman ide yang segar untuk mengembangkan Muhammadiyah,” paparnya.
Sedangkan yang terakhir, keempat adalah adanya gejala “Arabisme Sosial”. Sholik menjelaskan, muncul gejala sikap atau prilaku dalam keseharian yang ke arab-araban. ”Percakapan lokal Indonesia seperti “Dulur” berganti ‘Akhi’, dari ‘kamu’ diganti ‘Antum’, dan sebagainya serta dari tradisi pakian juga homogen dengan model dan warna tertentu,” .
Kandidat Doktor UIN Supel juga menyinggung soal faktor dari terjadinya radikalisasi ideologi. Menurut Sholik, itu disebabkan karena adanya globalisasi. ”Arus tersebut telah membuka kran infomasi dari dunia flobal. Apa saja termasuk ideologi transnasional juga muda diakses. Sehingga tanpa sadar juga mempengaruhi warga Muhammadiyah,” ungkapnya.
Tidak hanya itu saja, faktor lainnya adalah kurangnya mubaligh-mubaligh Muhammadiyah di lapangan. Sehingga sering mengundang mubligh-mubaligh dari kelompok Islam transnasional untuk mengisi pengajian. ”Akibatnya, proses transformasi ideologi radikal muda masuk ke warga Muhammadiyah,” tambah Sholik.(niki cahyani/aan)