PWMU.CO – Dapat Julukan dari Kompas sebagai Muazin Bangsa, Ini Respon Haedar Nashir. Dia dapat julukan itu dari Wakil Pemimpin Umum Kompas Budiman Tanuredjo dalam kolom “Catatan Politik dan Hukum”, yang terbit Sabtu (4/9/2021).
Dalam tulisan berjudul Sebuah Peringatan dari “Muazin”, Budiman Tanuredjo mengaitkan julukan itu dengan pidato kebangsaan Ketua Umum Pimpinan Pusat Muhammadiyah Haedar Nashir #IndonesiaJalanTengah, IndonesiaMlikSemua yang disampaikan melalui TVMu dan CNN Indonesia, Senin 30 Agustus 2021.
Muazin, menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia V adalah orang yang menyerukan azan. Disebut juga juru azan. Dalam arti konotasinya, muazin berarti orang yang berteriak-teriakk untuk menyerukan kebenaran.
Budiman Tanuredjo mengaku, pemberian julukan muazin pada Haedar Nashir itu bukan ide orisinil dia. “Istilah ‘muazin’ saya ambil dari esai Alois A Nugroho dalam buku Muazin Bangsa dari Makkah Darat (2015) yang dilekatkan pada sosok Buya Ahmad Syafii Maarif. ‘Muazin’ dimaksudkan Alois untuk sosok yang terus berteriak-teriak menyerukan kepentingan bangsa,” tulisnya.
Indonesia Milik Semua
Menurut wartawan senior Kompas itu, Haedar Nashir bisa ditempatkan sebagai salah satu muazin bangsa. Seperti tergambar dalam pidato kebangsaan sepuluh halaman yang dia sampiakan itu.
Di situ Guru Besar Universitas Muhammadiyah Yogyakarta tersebut seperti memberi respon atas situasi kebangsaan saat ini, yang terjebak dalam polarisasi ekstrem.
Sejumlah isu penting diangkat dalam pidatonya. Antara lain suasana keterbelahan sesama anak bangsa, “radikalisme-ekstremisme” yag pro-kontra dalam pandangan dan penyikapan.
Juga perlakuan manja para koruptor, praktik demokrasi transaksional, melebarnya kesenjangan sosial, kehadiran media sosial yang memunculkan persoalan baru, kian menguatnya oligarki politik, utang luar negeri dan investasi asing, dan kehidupan kebangsaan yang semakin bebas dan liberal, serta secara khusus, pandemi Covid-19 dengan segala dampaknya.
Di tengah berbagai persoalan itu Haedar mengemukakan, Indonesia harus dikembalikan pada jati dirinya sebagai milik semua. Pemerintah wajib hadir dalam melindungi seluruh rakyat Indonesia dan mewujudkan keadilan soisal.
Menurut Haedar di negeri ini tidak boleh “siapa yang kuat yang menang” dan menguasai Indonesia dalam hukum Darwinian. Manakala itu terjadi, kata Haedar, maka Indonesia dapat terpapar “radikalisme-ekstrem” bentuk lain, yang tentu saja tidak sejalan dengan Pancasila.
Ingatkan soal Amandemen
Haedar Nashir yang memberi judul pidato dengan gaya hastag juga menyerukan “adzan” soal wacana amandemen konstitusi yang hendak dilakukan oleh MPR.
”Belajarlah dari empat kali amandemen di awal reformasi, yang mengandung sejumlah kebaikan, tetapi menyisakan masalah lain yang membuat Indonesia kehilangan sebagian jati dirinya yang asli,” kata Haedar Nashir.
Dia menekankan, jangan sampai di balik gagasan amandemen ini menguat kepentingan-kepentingan pragmatis jangka pendek yang dapat menambah berat kehidupan bangsa, menyalahi spirit reformasi 1998, serta lebih krusial lagi bertentangan dengan jiwa Pancasila dan UUD 1945 yang dirancangbangun dan ditetapkan para pendiri negeri 76 tahun silam.
Ketika bertumbuh gagasan dan kehendak yang berkaitan dengan hajat hidup bangsa dan negara, kata dia, maka berdirilah dalam posisi tengahan dan jauhi jalan ekstrem. Tempuhlah musyawarah untuk mufakat, serta hindari sikap mau menang sendiri.
Itulah sebagian “suara azan” yang disampaikan oleh Haedar Nashir sebagai “muazin” bangsa.
Haedar Nashir mengatakan semua warga dan elite bangsa dapat menjadi muazin untuk Indonesia.
Semua Bisa Jadi Mudzin
Dihubungi PWMU.CO atas pemberian “gelar” muazin bangsa itu, Haedar Nashir mengatakan, semua warga dan elite bangsa dapat menjadi muazin untuk Indonesia.
“Negeri ini ada banyak kemajuan, tetapi juga terdapat banyak masalah krusial yang memerlukan kebersamaan dalam memecahkannya. Kuncinya negara atau pemerintahanan harus dikelola dengan benar, good governance, objektif, berwawasan kemajuan, dan berpijak di atas konstitusi untuk mewujudkan cita-cita nasional,” ujarnya Sabtu (4/9/2021).
Menurutnya, warga dan komponen bangsa dituntut keterlibatannya secara proaktif dengan pikiran cerdas, kritis, dan konstruktif dalam spirit cinta bangsa dan kebersamaan.
Semua pihak perlu introspeksi agar Indonesia tetap dalam jatidirinya yang bersendikan Pancasila serta menjunjungtinggi nilai agama dan kebudayaan luhur bangsa.
“Jangan ada elite dan warga bangsa yang menjadi penonton di negeri ini. Jangan pula ada yang apologi menganggap negeri ini baik-baik saja tanpa masalah. Sama halnya pihak yang serba apologi Indonesia sudah berakhir dan senang kalau negerinya jatuh,” ujarnya.
Di sinilah, kata Haedar, pentingnya sikap futuwah atau kesatriaan dan jiwa kenegarawanan dari para elite dan warga bangsa. (*)
Penulis/Editor Mohammad Nurfatoni