PWMU.CO – Pekerjaan Rumah Penguasa Taliban. Dekan FISIP UIN Jakarta Ali Munhanif PhD mengatakannya dalam webinar bertema The Phenomenon of Taliban and the Future of Peace and Reconciliation in Afganistan, Jumat (3/9/21) siang.
Webinar via Zoom tersebut digelar Centre for Dialogue and Cooperation Among Civilizations. Pusat Dialog dan Kerja Sama antar Peradaban itu dipimpin Prof M Din Syamsuddin MA PhD.
Dalam webinar itu, hadir beberapa pembicara lain seperti Jusuf Kalla (JK), Duta Besar Pakistan di Indonesia HE Muhammad Hassan, dan Direktur Jenderal untuk Asia Pasifik dan Afrika Kementrian Luar Negeri Republik Indonesia HE Abdul Kadir Jailani.
Ketika Taliban Berkuasa, Membahayakan
Ali menilai, proses menginstitusionalisasikan gagasan negara Islam Afghanistan tidak sesuai pola baru dalam tatanan pemerintahan dunia.
“Taliban perlu memperhatikan bagaimana jika mereka tidak berubah, tentunya, pengakuan internasional terhadap penderitaan Afghanistan sangat sulit dicapai,” terangnya.
Pembelajaran politik ini, kata dia, bisa dibandingkan dengan kejadian 20 tahun silam ketika mereka berkuasa dan membahayakan. Hal ini mempercepat kaum radikal dari negara lain menduduki al-Qaeda di Afghanistan.
“Mereka tidak mengakui politik yang radikal itu bagian dari produknya,” ujarnya.
Ali mengasumsikan, jika Taliban berkuasa mungkin tidak bersatu dengan gagasan al-Qaeda yang mudah bertransformasi ke pemerintahan modern atau bentuk negara yang lebih luas.
Yang juga perlu diperhatikan adalah perubahan budaya. Meluasnya Taliban akan mengubah sikap sesuai pemerintahan atau kenegaraan di taraf internasional. “Ini penting karena budaya menjadi tulang punggung perilaku politik di kalangan elite dan pergerakan para Taliban,” kata Ali.
Masalah Jangka Pendek
Yang menjadi masalah alias pekerjaan rumah Afghanistan saat ini, kata Ali, adalah aspek-aspek jangka pendek, yang secara umum menjadi panduan bagaimana memprediksi apa yang akan terjadi di Afghanistan.
Yaitu pentingnya menghormati perempuan sepenuhnya. Seperti tidak ada diskriminasi dan penerapan hukum negara yang merugikan, membunuh, bahkan membungkam perempuan.
“Sangat penting menjadikan aspek perempuan ini sebagai norma internasional yang menjadi landasan negara modern berdiri!” tegasnya.
Yang termasuk aspek jangka pendek juga, tambahnya, pemerintahan inklusif harus dijalankan pemerintah saat ini.
Pemerintahan Inklusif
Keterlibatan mereka yang diwakili dalam association of civil society, ormas, dan mungkin juga partai politik menjadikan rakyat punya pengalaman berpartisipasi. Lalu menyuarakan aspirasi mereka, “What kind of modern state that we are establishing?”
Pemerintah inklusif, lanjutnya, tentu menyinggung masalah power sharing (pembagian kekuasaan) lintas etnis maupun mazhab yang menggambarkan inklusivitas tadi. Yang jadi masalah menurut Ali, bagaimana menginstitusionalisasi atau meletakkan gagasan politik tentang inklusivitas itu ke suatu desain konstitusi nasional.
Dengan jujur dia menyatakan, menetapkan konstitusi nasional di era ini seperti membangun kapal di tengah lautan. Padahal, hal itulah yang sebenarnya—dalam jangka panjang—mendorong mereka untuk menumbuhkan pemikiran dan aktor organisasi yang mereka punya dalam proses debat gagasan mengenai negara Afghanistan.
Masalah Jangka Panjang
Ali Munhanif juga mengajak memperhatikan aspek perubahan jangka panjangnya. Salah satu yang diharapkan, kata dia, bagaimana menginstitusionalisasi gagasan-gagasan negara modern dalam perspektif kultural mereka. Yakni pelaksanaan syariah, desain konstitusional, dan legitimasi pemerintah.
Mengingat, ada perang saudara, kudeta, komunisme, dan konflik antarkeluarga. “Kita harus paham betul bahwa ini adalah suatu segmen masyarakat Afganistan yang mengalami perbenturan-perbenturan kekerasan hampir sepanjang sejarah negara itu,” lanjutnya.
Di samping itu, etnis Pashtun, Hazara, Tajik, dan Uzbek menurutnya tidak punya cukup waktu untuk melahirkan para pemikir modern dari negarawan Afghanistan. Padahal, dibutuhkan sosok yang mampu merumuskan gagasan negara Afghanistan modern.
Karena miskinnya mereka—para pemikir penting yang menjadi korban dari pertempuran itu—menjadikan benturan. Maka dia berharap, untuk jangka panjang, Afghanistan akan muncul sebagai negara yang diidam-idamkan.
“Untuk memastikan jangka panjang nanti, baik rakyat melalui partisipasi. Terus terang, saya masih bertanya betul, pernahkah rakyat Afghanistan punya konsep partisipasi politik misalnya,” ungkapnya.
Indonesia Tidak segera Terlibat?
Dalam suatu berita di TV, Ali Munhanif melihat Menteri Luar Negeri Indonesia Retno Marsudi menjawab satu pertanyaan wartawan mengapa kita tidak segera melibatkan diri dalam transisi politik di Afghanistan.
“Menteri itu secara implisit mengatakan, ‘Kita kan tidak punya national interest kecuali menyelamatkan warga negara Indonesia. Itulah yang saat ini paling penting’,” ujarnya.
Ali membenarkan secara langsung Indonesia tidak punya national interest. Tapi sejauh pengamatannya, kerja sama antar-civil society Indonesia-Afghanistan sudah mulai tumbuh.
Ali mencontohkan, UIN Jakarta sudah punya proyek pada tahun 2013-2015 untuk review ulang kurikulum Fakultas Syariah di universitas-universitas Afganistan. Harapannya, mereka bisa mereplikasi keberhasilan UIN dalam mendorong implementasi hukum Islam tanpa tersandera dalam hukum Islam yang bias abad pertengahan (terlalu tradisional).
Indonesia Wajib Bantu Lepaskan Kolonialisme
Selain itu, juga mendorong terjadinya transformasi ulama dari ulama yang sangat plural. Perjuangan masyarakat plural untuk tampil dalam proses pembentukan negara Afghanistan sangat menonjol. Sehingga, dia menduga ada perubahan ulama di Afganistan.
“Menurut saya, peran pendidikan dan kerja sama dengan negara lain mendorong perubahan terbaik di sana,” ujar Ali. Seperti yang disebutkan Pak JK, lanjutnya, Indonesia melalui UIN Jakarta telah menjalin kerja sama sejak lama dengan ulama Afghanistan pada sekitar tahun 2015-2018.
Mereka pun sempat mengunjungi Nadhatul Ulama (NU). Setelah kembali ke Afganistan, mereka membuat organisasi ulama semacam NU-nya Afganistan. Inilah bagaimana ulama modern di Afganistan mereplikasi perilaku masyarakat dan menanamkannya.
Menurut Ali, pemerintah Indonesia harus memberi perhatian. “Perubahan perilaku, persepsi, dan gagasan ulama lebih modern itu kita dorong untuk sustain!” ajaknya.
Ketika konflik-konflik saat ini mengemuka, menurutnya itu menjadi kewajiban kita sebagai negara yang punya misi konstitusional tentang pentingnya membantu negara lain untuk lepas dari penjajahan dan kolonialisme.
Masalah Legitimasi Kekuasaan
Tantangan selanjutnya, selama ini perang saudara berlarut. Bahkan intervensi negara asing menjadi pola. Inggris, Rusia, US, Pakistan, dan India, juga banyak negara lain mencoba terlibat dalam masalah di Afghanistan. Masalahnya, karena perang terjadi terus-menerus, mereka tidak punya konsep legitimasi kekuasaan.
“Sangat penting menyelesaikan masalah legitimasi ini semata-mata karena di situlah keinginan untuk mendorong seorang pemimpin harus diakui dalam pengertian yang relatif terlembaga berdasarkan batas-batas tertentu yang tidak bisa diberikan hanya karena dia merupakan elite tradisional,” jelasnya.
Jadi Ali menekankan harus ada partisipasi publik. “Khususnya ketika kenyataan menguasai cukup lama al-Qaeda itu menularkan gagasan yang sangat radikal, militan, dan ekstrem. Bahkan puritan dalam melihat kepemimpinan di Afghanistan,” ungkapnya.
Taliban, Politik Puritan
Al-Qaeda selama 10 tahun bekerja sama dengan Taliban dan mendesiminasikan otoritas ulama atau pemilik penafsiran syariah sebagai orang yang legitimasi dalam pemerintahan. Ali menilai ini sangat merugikan.
Di situlah sebenarnya sekarang Taliban menampakkan sebagai kelompok yang mulai memberi ruang terhadap komunikasi politik. Dari video di YouTube, Ali menilai Taliban memiliki keterampilan berbahasa Inggris yang bagus, punya ide legitimatis, dan siap membuka diri untuk membangun dialog dan pemerintah inklusif.
“Masalahnya, seberapa jauh mereka bisa berjalan dengan pembagian-pembagian otoritas sehingga legitimasi kepemimpinan nasional itu bisa diterima dalam konsep negara modern?” tanya dia.
“Ada otoritas ulama, otoritas pembangun negara, yang masing-masing punya divisi labour yang tidak lagi religius, tradisional, ekstrimis, tapi lebih modern,” ujarnya. Jadi, ada pemerintahan tapi juga ada otoritas ulama yang diakui dalam proses pengambilan kebijakan publik.
Ali menyatakan, ekspresi atau karakter yang puritan—antara Salafi dan Wahabi—menjadikan kultur politik Taliban tidak gampang untuk bisa menerima legitimasi politik sekuler. “Puritanisme ini yang sebenarnya sangat berbahaya. Dan semuanya lalu dikembalikan ke agama,” ungkapnya.
Maksudnya, cara berpikir yang seolah-olah agama menyelesaikan semua persoalan di dunia ini. “Itulah saya kira ancaman yang paling mengerikan kalau sampai tumbuh politik puritan yang muncul dalam perilaku dan budaya politik Taliban di Afghanistan saat ini,” komentarnya.
Dia lantas berharap, mudah-mudahan hal itu tidak terjadi. “Kita bisa menduga, Afghanistan adalah gambaran pemerintahan kontinuitas, stabilitas, dan berkelanjutan di masa mendatang,” tutupnya. (*)
Pekerjaan Rumah Politik Puritan Taliban: Penulis Sayyidah Nuriyah Editor Mohammad Nurfatoni