PWMU.CO – Optimisme Vs Pesimisme pada Taliban. Dua wujud persepsi ini mengemuka di tengah sesi diskusi webinar bertema The Phenomenon of Taliban and the Future of Peace and Reconciliation in Afghanistan, Jumat (3/9/21) siang.
Webinar lewat Zoom itu digelar Centre for Dialogue and Cooperation Among Civilizations. Pusat Dialog dan Kerja Sama antar Peradaban dipimpin Prof Dr M Din Syamsuddin MA PhD.
Sebelumnya, Dekan FISIP UIN Jakarta Prof Ali Munhanif PhD memaparkan berbagai aspek tantangan jangka panjang maupun pendek yang Afganistan hadapi saat ini. Selengkapnya: https://pwmu.co/207672/09/04/pekerjaan-rumah-penguasa-taliban/
Taliban dan Optimisme
Wakil Sekretaris Dewan Pertimbangan MUI Pusat Muhammad Zaitun Rasmin mengawali dengan cerita pengalamannya saat bertemu pimpinan Taliban. Waktu itu para Pimpinan Taliban datang ke Indonesia menemui Wakil Presiden Jusuf Kalla dan MUI.
“Sepatutnya, kita semua menyambut bangsa mana pun yang kemudian berhasil independen mengurus negeri sendiri!”
Dalam pembicaraan mereka, Zaitun menangkap optimisme. Menurutnya, sejak awal Taliban menyampaikan pesan mereka sebetulnya sangat menginginkan perubahan. “Mereka menerima demokrasi, mereka siap mewujudkan demokrasi di sana,” ungkapnya.
Maka Zaitun menegaskan, perlu mengkaji ulang atau menghilangkan stigma negatif terhadap Taliban. “Sepatutnya, kita semua menyambut bangsa mana pun yang kemudian berhasil independen mengurus negeri sendiri!” ajak Ketua Umum Wahdah Islamiyah itu.
Selain itu, dia mengimbau agar Indonesia—termasuk negara pemrakarsa perdamaian—memberi dukungan, menyambut dengan baik. “Tidak melanjutkan dengan stigma-stigma negatif!” tuturnya.
Sebab, sudah jelas 20 tahun mereka dijajah oleh Amerika Serikat. Sebelumnya juga diinvasi Uni Soviet. Apalagi, tambah Zaitun, sekarang mereka sudah memberi pernyataan-pernyataan yang bersahabat.
Mantan Wakil Sekjen MUI dan anggota delegasi MUI untuk perdamaian Afganistan itu sepakat dengan pendapat Ali Munhanif bahwa Indonesia harus lebih proaktif dalam membantu stabilitas di Afganistan.
Termasuk untuk pembangunan di sana, dia mengusulkan, Indonesia cepat mengajukan pengelolaan Bandara Kabul. “Turki masih ragu-ragu,” ujarnya.
Stigma Taliban Wahabi-Salafi
Tapi Zaitun juga meluruskan pandangan Ali Munhanif. “Tolong Pak Ali, jangan terlalu stigma negatif, apalagi masalah Wahabi-Salafi!” tuturnya.
Zaitu menyatakan Taliban sudah menolak label Wahabi-Salafi itu. “Mereka adalah Sunni, bukan Wahabi, bukan Salafi,” ungkap dia.
Dalam kultur beragama, lanjutnya, Taliban dekat dengan Indonesia. Hanya saja, mereka bermazhab Hanafi.
Alangkah baiknya, kalau bisa Prof Din Syamsuddin sebagai tokoh nasional untuk melakukan dialog dengan para pimpinan Taliban agar masyarakat nasional lebih terbuka melihat Taliban sebagai entitas yang juga ingin berubah dan bergaul dengan masyarakat.
Pesimisme
Ali Munhanif kemudian menanggapi lagi. Kata dia, penting melihat seberapa jauh mereka punya semacam nationalist thinkers yang bisa menjadi pegangan. “Menaruh trust kita betul-betul punya masa depan tentang negara ini,” ujarnya.
Mengingat, kepercayaan itu sudah tercabik-cabik perang saudara puluhan tahun, tuduhan terorisme, dan intervensi asing. Juga adanya strong man yang sering bertindak sebagai bandit, daripada sebagai state builders. “Seolah-olah memang muncul sebagai pesimisme atau politic stigma,” ujarnya.
Tapi dalam konteks secara keseluruhan, membangun negara atau konstitusi baru yang saat ini Afghanistan hadapi, saat ini Afghanistan masuk dalam lorong sempit. Pilihannya tidak banyak. Harus mempercepat keputusan karena menyangkut kedaulatan negara. Begitu keputusan diambil, legacynya bisa ratusan tahun.
Dia menekankan, elite politik harus mempertimbangkan efek jangka panjang dari keputusan yang diambil. “Sebagaimana Indonesia dulu pada 5-17 Agustus, mau proklamasi atau tidak? Sekali proklamasi itu hasilnya sampai sekarang, ” terangnya.
Kalau hanya mempertimbangkan aspek jangka pendek seperti masukan mazhab, mendirikan Emirat, menurut Ali Munhanif ini seperti membangunkan macan tidur. “Saat ini tidak bergerak, tapi begitu konstitusi diubah, orang akan bergerak, kekerasan akan muncul lagi, dan seterusnya!” jelas dia.
Ali juga mengingatkan harus hati-hati tapi tetap bijak. Yaitu dengan memperhitungkan pilihan-pilihan sulit. “Harapannya, muncul pembentukan negara, konstitusi, pembagian kekuasaan, dan peran syariat Islam yang berkelanjutan,” ujarnya.
Supaya, lanjut Ali, Afganistan tidak terjebak ke dalam sektarian state. “Karena begitu dia menjadi sektarian, oh my God efeknya bisa ada perang saudara lagi yang tidak mudah diselesaikan!” ungkapnya.
Beda Persepsi
Di tengah diskusi, Ketua Dewan Pimpinan Wilayah (DPW) LDII Jawa Tengah Prof Dr H Singgih Tri Sulistiyono M Hum menangkap perbedaan persepsi dalam forum ini terhadap kejadian di Afghanistan.
“Di satu sisi masih ada yang memiliki kekhawatiran perkembangan di Afghanistan akan mengarah ke fundamentalisme, radikalisme, dan eksklusivisme,” ujar Prof Singgih.
Tapi, lanjutnya, ada pula pihak optimis. “Ada keinginan para pimpinan Taliban untuk menjadikan dirinya sebagai negara yang lebih inklusif,” ungkap dia.
Menurut Prof Singgih, perlu ada penelitian, untuk memahami secara faktual, yang sesungguhnya terjadi dan apa yang akan dilakukan di Afghanistan. “Saya kira penelitian yang betul-betul reliable perlu dilakukan!” tuturnya.
Dengan begitu, dia berharap, Indonesia bisa memberikan sikap yang tepat dan sumbangan pemikiran untuk membantu masyarakat Afghanistan dan Taliban menjadi warga dunia yang baik. (*)
Penulis Sayyidah Nuriyah Editor Mohammad Nurfatoni