PWMU.CO – Hari-Hati Mitos di Terowongan Panjang Kedukaan. Banyak mitos terungkap dalam kegiatan belajar “Terowongan Panjang Itu Bernama Kedukaan” bersama Komunitas Dekap Nuraga, Ahad (5/9/21) pagi.
Psikolog Klinis Tania Savana Sari SPsi MPsi Psikolog mengatakan, bisa jadi kita sedang berada di dalam terowongan yang tampak penuh kegelapan dan kesempitan. “Kita bingung, apa yang kita rasakan sebenarnya? Terowongan itu ujungnya ada nggak?” ucapnya.
Ketika Tania meminta peserta menyatakan apa yang sedang mereka rasakan di aplikasi jajak pendapat Sli.do, muncul beragam jawaban. Dari 44 peserta, di antaranya menjawab sedih, kacau, hancur, hampa, kesepian, dan menyesal. Jawaban terbanyak adalah hampa, kangen, dan merasa bersalah.
Tania membenarkan, orang yang berduka sangat mungkin merasakan berbagai emosi. “Seperti kaget, marah, tidak percaya, merasa bersalah, sampai sedih yang mendalam,” ungkapnya.
Kedukaan
Tania menjelaskan, grief (kedukaan) adalah respon emosi negatif yang secara alami dirasakan seseorang ketika mengalami loss (kehilangan). Meski tidak menyukai atau mengenal orang yang meninggal, seseorang bisa tetap berduka.
Dia mencontohkan pertanyaan umum yang menunjukkan duka bersifat universal. “Kenapa aku berduka, padahal aku kan nggak suka orang itu, nggak kenal, atau sudah tau dia sudah kritis?”
Konselor itu menegaskan, merasakan emosi negatif itu wajar dan sehat. Yang tidak sehat, emosi negatifnya tidak terkontrol. Dia pun menekankan, tidak ada cara yang salah atau benar dalam berduka. “Kamu nanti dukanya gini ya soalnya yang meninggal ini! Tidak ada template berdukanya begitu, tidak ada!”
Sifat Kedukaan
Berikut keenam sifat kedukaan yang Tania jelaskan. Pertama, universal. Tania meluruskan, tidak bisa melarang seseorang berduka. “Duka ini buat aku, kamu nggak usah berduka! Tidak bisa begitu, memang semua bisa mengalami duka,” terangnya
Kedua, personal. Kedukaan yang masing-masing orang rasakan berbeda, meski memiliki kesamaan dalam hal tertentu. “Aku merasa bersalah, oh ternyata dia juga, tapi kan kasusnya berbeda,” ungkapnya.
Ketiga, tidak mengikuti garis waktu atau jadwal. Karena mengalami kedukaan bagian dari proses, Tania mencontohkan, tidak bisa menjadwalkan seperti, “Minggu depan aku mau berduka atau minggu lalu kan aku sudah berduka, (sekarang) beres ya!”
Keempat, kompleks. Karena terlalu kompleks, seseorang kadang bingung apa yang sebenarnya sedang dia rasakan dan kapan dukanya akan selesai.
“Kan sudah tiga hari, kok masih menangis? Sudah seminggu, sebulan, kok masih sedih? Kan orangnya sudah nggak ada,” ujarnya mencontohkan pertanyaan umum orang yang belum paham duka itu kompleks.
Keenam, melalui prosesnya butuh waktu. Waktu yang dibutuhkan juga bersifat personal, berbeda untuk setiap orang.
Lima Mitos Kedukaan
Tania lantas menyajikan tabel berisi pernyataan yang sering didengar dalam merespon kedukaan. Para peserta diminta menandai itu termasuk mitos atau fakta.
Mengabaikan Perasaan
Pertama, rasa sakit akan hilang lebih cepat kalau kita mengabaikannya. Mengabaikan, kata Tania, berarti cuek terhadap rasa sakit dalam diri sendiri. Yang terjadi, rasa sakit akan menetap, diingat terus-menerus, dan terjadi tumpukan rasa sakit.
Maka, Tania menyarankan untuk mengakui perasaan yang muncul. “Divalidasi dulu, kalau diabaikan akan muncul lagi dalam bentuk berbeda atau kadarnya lebih parah,” terangnya.
Tetap Tampil Kuat
Kedua, penting untuk terlihat kuat pada saat kehilangan. Tania menekankan, ‘Kuat’ dalam konteks ini berarti tidak jujur pada diri sendiri.
Mitosnya, orang-orang yang sering menangis itu tampak lemah dan tidak berdaya. “Menangis tapi tetap menjalani hidup dan support keluarga kita, itu lemahkah?” tanya dia retorik.
Maka dia mengajak untuk mengakui dan mengungkapkan ada kalanya kita sedang tidak baik-baik saja. Kata Tania, boleh saja seseorang mengatakan, “Aku sedang sedih, aku minta waktu.”
Tidak Berlarut-larut
Ketiga, berduka harus selesai dalam satu tahun karena tidak boleh berlarut-larut. Tania mencontohkan bentuk dukungan yang sebenarnya tidak mendukung, “Kamu dukanya 3 hari aja ya, cuti kamu cuma tiga hari! Kalau lewat tiga hari nanti pekerjaan nggak beres, sudah jangan nangis lagi!”
Tania menerangkan, ada orang yang dukanya sampai belasan tahun, tapi kehidupannya tetap bisa berjalan. “Dia menjalani hidup bukan berarti dukanya langsung hilang begitu saja ketika tidak dialami prosesnya,” jelas Tania.
Melupakan Kehilangan
Keempat, melanjutkan hidup (moving on, moving forward) artinya melupakan kehilangan. Dengan melupakan, biasanya hanya ditimbun, tidak langsung sembuh. Jika suatu saat ada peristiwa yang memicu itu muncul lagi, orang itu bisa kaget. “Kok aku merasakan ini lagi?” contohnya.
Melanjutkan hidup itu, lanjutnya, bisa saja kerap meningat orang yang sudah meninggal, tapi memaknainya berbeda.
Kalau tidak menangis saat kehilangan artinya tidak sedih. “Ini mitos, karena sedih bisa berwujud murung atau bahkan tidak bisa mengeluarkan air mata sama sekali.”
Tania Savana Sari
Tidak Menangis dan Jangan Menangis
Kelima, kalau tidak menangis saat kehilangan artinya tidak sedih. Dia menegaskan ini mitos, karena sedih bisa berwujud murung atau bahkan tidak bisa mengeluarkan air mata sama sekali. “Ada rasa begitu pedih di dalamnya dan itu belum bisa diungkapkan,” terangnya. Suatu saat, tambahnya, dia akan mengungkap dengan bahasanya sendiri.
Sebaliknya, karena menangis itu kodrat, ada yang mengungkapkan kedukaan dengan menangis. Tania menegaskan tidak apa-apa kalau tiba-tiba ada yang menangis lagi.
Sayangnya, kata dia, ada yang berkomentar, “Sudah jangan sedih, kamu sudah dewasa, jangan nangis!” Biasanya juga diikuti komentar, “Harus kuat ya, karena kamu punya anak, coba bayangkan kalau anak kamu lihat kamu menangis?”
Karena menangis itu wajar, maka Tania menyarankan, “Menangislah, tidak apa-apa!”
Komunitas Dekap Nuraga
Sebelumnya, Urfa Qurrota Ainy menerangkan, komunitas yang baru berusia sekitar dua pekan ini bertujuan menciptakan ruang yang nyaman untuk berbagi cerita. Terutama cerita kehilangan. “Saya sendiri mengalami ketika kehilangan ayah saya, tidak mudah menemukan ruang untuk bercerita tanpa dihakimi,” ujar founder Dekap Nuraga itu.
Karena komunitas itu berisi orang-orang yang sudah mengalami kehilangan, harapannya, bisa lebih berempati dalam merespon. Selain itu, Urfa merasa orang-orang semakin individualis. “Ketika ada yang berduka, semua ikut berduka, tetapi tentu pada akhirnya sendiri,” ucap dia.
Maka melalui komunitas itu, dia berharap bisa membawa pesan kesadaran perlunya empati pada orang yang berduka. Urfa lalu menerangkan, asal nama komunitasnya.”Nuraga berarti berbagi rasa atau simpati, sedangkan dekap artinya rangkulan. Harapannya memberikan rangkulan seorang teman untuk berbagi cerita dan saling bersimpati,” jelas Urfa.
Tania pun berkomentar, “Komunitas baru yang bagus banget. Mengajak merangkul teman-teman yang mengalami kedukaan.” (*)
Hari-Hati Mitos di Terowongan Panjang Kedukaan: Penulis Sayyidah Nuriyah Editor Mohammad Nurfatoni
Discussion about this post