“Pemerintah wajib mencegah, mengawasi, dan menindak pihak-pihak yang membuat peraturan (termasuk ikatan/kontrak kerja) dan/atau melakukan ajakan, pemaksaan, dan tekanan kepada pegawai atau karyawan muslim untuk melakukan perbuatan yang bertentangan dengan ajaran agama seperti aturan dan pemaksaan penggunaan atribut keagamaan non-muslim kepada umat Islam,” bunyi rekomendasi yang terakhir.
Dalam fatwa tersebut MUI juga menyebutkan 4 pertimbangan tentang keluarnya putusan fatwa bernomor 56 Tahun 2016 itu. Pertama, bahwa di masyarakat terjadi fenomena di mana saat peringatan hari besar agama non-Islam, sebagian umat Islam atas nama toleransi dan persahabatan, menggunakan atribut dan/atau simbol keagamaan nonmuslim yang berdampak pada siar keagamaan mereka.
“Bahwa untuk memeriahkan kegiatan keagamaan non-Islam, ada sebagian pemilik usaha seperti hotel, super market, departemen store, restoran dan lain sebagainya, bahkan kantor pemerintahan mengharuskan karyawannya, termasuk yang muslim untuk menggunakan atribut keagamaan dari non-muslim,” bunyi pertimbangan kedua.
“Bahwa terhadap masalah tersebut, muncul pertanyaan mengenai hukum menggunakan atribut keagamaan non-muslim,” bunyi pertimbangan ketiga. Serta, pertimbangan yang keempat, bahwa oleh karena itu dipandang perlu menetapkan fatwa tentang hukum menggunakan atribut keagamaan non-muslim guna dijadikan pedoman.
“Fatwa ini berlaku pada tanggal ditetapkan, dengan ketentuan jika di kemudian hari ternyata dibutuhkan perbaikan, akan diperbaiki dan disempurnakan sebagaimana mestinya,” bunyi fatwa dalam sub Penutup bagian pertama. Fatwa ini juga mencantumkan dalam penutupannya: “Agar setiap muslim dan pihak-pihak yang memerlukan dapat mengetahuinya, menghimbau semua pihak untuk menyebarluaskan fatwa ini.” (kholid)