PWMU.CO – Nasib manusia dibahas dalam Kajian dan Silaturrahim yang digelar SMA Muhammadiyah 1 Taman Sidoarjo (Smamita) secara daring, Sabtu (28/8/2021). Sebanyak 25 siswa kelas X IPA 3, guru dan wali murid antusias mengikuti acara ini.
Kegiatan ini program dari Ismuba Smamita yang diadakan satu bulan sekali untuk kelas X dan XI. Kajian dan Silaturrahim kali ini bertema Peluang Sukses Pemuda di Era Digitalisasi. Kegiatan Kajian dan Silaturrahim ini bertujuan agar siswa kelas X IPA 3 mampu menjadi generasi yang kuat, adaptif dan sukses terutama di era digitalisasi seperti saat seperti ini.
Acara dipandu oleh siswa kelas X IPA 3 sebagai master of ceremony yaitu M. Fernandy Sabila dan Amanda Patricia N.
Pembacaan ayat al-Quran oleh Najwa Az-Zahra Arifin dan Aulistya Bunga Rahma. Sambutan diisi disampaikan Wakasek Bidang Ismuba Miftahol Jannah MPd. Sebelum Kajian dimulai ada kultum yang disampaikan Azhar Nashwaan, siswa kelas XI IPA 4/kelas tahfidh.
Kemudian materi Kajian diisi oleh Ustadz Fahmi Aden Wardhana SThI. Dalam kajiannya Ustadz Fahmi menjelaskan tentang isi surat Ar-Ra’d ayat 11.
ِ نَّ اللهَ لَا يُغَيِّرُ مَا بِقَوْمٍ حَتَّى يُغَيِّرُوا مَا بِأَنْفُسِهِمْ إِ
Artinya, sesungguhnya Allah tidak mengubah keadaan sesuatu kaum sehingga mereka mengubah diri mereka sendiri.
”Kita harus benar-benar memahami filosofinya yaitu bahwa semua yang terjadi di dunia ini semua atas izin Allah. Semut yang bergerombol itu atas izin Allah. Kita melakukan aktivitas sehari-hari juga atas izin Allah. Apalagi nasib kita pasti atas izin Allah,” kata Ustadz Fahmi.
Namun demikian, sambung dia, Allah sudah menciptakan sunahtullah (hukum) untuk menjamin kemahaadilan. Maksudnya di sini adalah apapun yang kita lakukan itu akan kembali kepada diri kita. Maka nasib kita ada polanya, bisa kita rancang meski hasilnya ada di tangan Allah.
Ia melanjutkan, proses pembentukan nasib ada lima. Yakni, nasib seseorang ditentukan oleh karakter. Karakter seseorang ditentukan oleh kebiasaan. Kebiasaan seseorang ditentukan oleh tindakan. Tindakan seseorang ditentukan oleh pikiran. Pikiran seseorang ditentukan oleh perasaan.
”Pertanyaannya dimulai dari nasib kita setelah lulus sekolah menjadi apa? Kita renungkan terlebih dahulu, apakah karakter saya, kebiasaan saya, tindakan saya, pikiran saya, dan perasaan saya sudah sesuaikah dengan nasib yang akan kita bentuk nanti? Jika belum maka harus memulai merancang nasib kita dari sekarang,” tuturnya.
Dia bercerita, ada sebuah kisah di tahun 1952 di kampus Yale University. Kampus tersebut mensurvei mahasiswanya dengan pertanyaan, apakah Anda mempunyai impian? Hasilnya diperoleh 30% menjawab, ya. Sedangkan 70% menjawab, tidak.
Kemudian 30% yang menjawab ya mendapat pertanyaan kembali, ”Apakah Anda menulis mimpi itu dengan jelas, terukur, dapat dicapai dengan usaha sendiri, realistis dan dalam kurun waktu tertentu?” Ternyata 97% menjawab, tidak. Hanya 3% yang menjawab, ya.
Setelah 20 tahun kemudian, tahun 1972, tim survei itu mempublikasikan hasil penelitian mereka. Ternyata 30% peserta survei yang menjawab bahwa mereka punya impian mempunyai penghasilan lebih besar dari rata-rata 70% yang menjawab tidak mempunyai impian. Dan 3% mahasiswa yang menuliskan impian itu dengan jelas mempunyai penghasilan 5-6 kali lipat lebih besar dibanding 97% rekannya yang lain.
”Maka dari itu adik-adik semua jika kita ingin menggapai cita-cita yang sudah kita rancang kita harus membuat rancangan yang jelas, terukur, dapat dicapai dengan usaha sendiri, realistis dan dalam kurun waktu tertentu,” tambahnya. (*)
Penulis Wahyu Murti Editor Sugeng Purwanto