Betulkah Semua Agama Benar? Oleh M. Anwar Djaelani, penulis buku Berdekat-dekat kepada Yang Maha Dekat
PWMU.CO – Silakan simak berita berikut ini: Letjen Dudung: Semua Agama Itu Benar di Mata Tuhan. Pernyataan tersebut, banyak yang mengkritisi. Sebagian lalu ingat dengan istilah pluralisme, yang pada 2005 difatwa haram oleh Majelis Ulama Indonesia (MUI).
Pada berita di atas, disebutkan bahwa Panglima Komando Strategi Angkatan Darat (Pangkostrad) Letjen Dudung Abdurachman berbicara di depan anggota personel Yon Zipur 9 Kostrad dan ibu Persit dalam kunjungan kerja di Kota Bandung pada 13 September 2021. Saat itu Dudung menyampaikan: “Hindari fanatik yang berlebihan terhadap suatu agama. Karena semua agama itu benar di mata Tuhan.”
Atas pernyataan Dudung Abdurachman itu, tak sedikit yang mempertanyakan: Benarkah?
Fatwa MUI: Haram
Pada 2005 MUI menetapkan “Fatwa tentang Pluralisme, Liberalisme, dan Sekularisme Agama”. Disebutkan, pluralisme agama adalah suatu paham yang mengajarkan bahwa semua agama adalah sama dan karenanya kebenaran setiap agama adalah relatif. Oleh sebab itu, setiap pemeluk agama tidak boleh mengklaim bahwa hanya agamanya saja yang benar sedangkan agama yang lain salah. Pluralisme agama juga mengajarkan bahwa semua pemeluk agama akan masuk dan hidup berdampingan di surga.
Selanjutnya, di fatwa MUI itu, disebutkan bahwa pluralisme sebagaimana dimaksud di atas adalah paham yang bertentangan dengan ajaran agama Islam. Oleh karena itu, umat Islam haram mengikuti paham pluralisme agama.
Jelas, dalam pandangan MUI yang mendasarkan fatwanya kepada sejumlah ayat al-Quran dan hadits, pluralisme (yang mengajarkan bahwa semua agama adalah sama) itu haram. Paham itu, jangan diikuti!
Beda dengan Pluralitas
Ada baiknya, kita cermati perbedaan pluralitas dan pluralisme. Keduanya berasal dari akar kata yang sama, plural, yang artinya majemuk atau beragam. Namun, pluralitas sangat berbeda dengan pluralisme.
Pluralitas berarti kemajemukan. Pluralitas (semisal suku, bangsa, bahasa, warna kulit, dan lain-lainnya) memang kehendak Allah. “Hai manusia, sesungguhnya Kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan dan menjadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling mengenal“ (al-Hujuraat 13). “Dan di antara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah menciptakan langit dan bumi dan berlain-lainan bahasamu dan warna kulitmu. Sesungguhnya pada yang demikan itu benar-benar terdapat tanda-tanda bagi orang-orang yang mengetahui“ (ar-Ruum22).
Ketika Nabi Muhammad SAW memimpin di Madinah, negeri itu jelas tak homogen. Di Madinah ada beragam kelompok suku bangsa dan agama. Di masa itu, umat Islam biasa berinteraksi dengan orang-orang Yahudi. Mereka hidup berdampingan dengan damai.
Ada riwayat, Nabi Muhammad SAW datang menjenguk seorang Yahudi yang sedang sakit. Pernah pula Nabi SAW yang semula duduk, lalu segera berdiri (tanda menghormati) ketika jenazah seorang Yahudi lewat di depannya. Kecuali itu, banyak contoh lainnya. Itulah makna pluralitas. Intinya, dalam berinteraksi sosial, umat Islam akan bersikap inklusif.
Adapun pluralisme, maknanya berbeda sangat jauh dengan pluralitas. Pluralisme adalah gagasan yang berujung kepada ajakan untuk mengompromikan aqidah. Modusnya adalah memberi pembenaran kepada ajaran agama lain.
Pluralisme berpandangan bahwa semua agama sama tujuannya dan yang berbeda hanya cara atau jalan menuju Tuhan. Lebih lanjut, bagi yang berpegang kepada pluralisme, agama-agama lain itu adalah jalan yang sama-sama sah untuk mencapai kebenaran yang sama.
Dari perspektif Islam, pluralisme merusak aqidah. Kemudian, meski sudah jelas posisinya, mereka yang sepaham dengan ide pluralisme justru tak segan-segan menilai orang-orang yang meyakini bahwa hanya ada satu jalan keselamatan—yaitu agama mereka sendiri—sebagai suatu sikap yang fanatik.
Menunduklah!
Dalam berinteraksi sosial, Islam sangat memahami pluralitas manusia. Untuk itu, umatnya bisa hidup rukun dengan semua kalangan. Hanya saja, Islam sama sekali menolak ajakan berkompromi dalam aqidah dan ibadah. Simaklah al-Kafirun 1-6 berikut ini.
“Katakanlah: ‘Hai orang-orang kafir, aku tidak akan menyembah apa yang kamu sembah. Dan kamu bukan penyembah Tuhan yang aku sembah. Dan aku tidak pernah menjadi penyembah apa yang kamu sembah, dan kamu tidak pernah (pula) menjadi penyembah Tuhan yang aku sembah. Untukmu agamamu, dan untukkulah agamaku’.”
Mari, jaga ucapan kita. Jaga pendengaran kita untuk tidak mudah terpengaruh dengan pendapat dari siapapun, yang dengan mudah menafsiri ajaran agama tanpa ilmu. Perhatikanlah ayat ini: “Dan jika kamu menuruti kebanyakan orang-orang yang di muka bumi ini, niscaya mereka akan menyesatkanmu dari jalan Allah. Mereka tidak lain hanyalah mengikuti persangkaan belaka, dan mereka tidak lain hanyalah berdusta (terhadap Allah)” (al-An’aam 116).
Jaga akidah kita. Dekap erat agama kita, jangan lepas. Selalu ingatlah ayat ini: “Barangsiapa mencari agama selain agama Islam, maka sekali-kali tidaklah akan diterima (agama itu) darinya, dan dia di akhirat termasuk orang-orang yang rugi” (Ali ‘Imaan 85).
Sungguh, toleransi dalam hidup bermasyarakat dapat kita bangun tanpa harus mengorbankan keyakinan kita masing-masing. Toleransi sama sekali tak memerlukan pluralisme. Kita bisa toleran tanpa harus meyakini bahwa “Semua agama itu benar”, satu hal yang MUI telah mengharamkannya. (*)
Editor Mohammad Nurfatoni
Artikel Betulkah Semua Agama Benar? ini adalah versi online Buletin Jumat Hanif Edisi 48 Tahun XXV, 17 September 2021/10 Safar 1443.
Hanif versi cetak sejak 17 April 2020 tidak terbit karena pandemi Covid-19 masih membahayakan mobilitas fisik.