PWMU.CO – Merawat Nilai-Nilai Unggul Muhammadiyah di Masa Pandemi, disampaikan oleh Ketua Umum Pimpinan Pusat Muhammadiyah Prof Haedar Nashir MSi dalam Musyawarah Pimpinan Wilayah III Muhammadiyah Jatim, Sabtu 18 September 2021.
Dalam acara tersebut selain disampaikan pidato Merawat Nilai-Nilai Unggul Muhammadiyah di Masa Pandemi, juga diluncurkan buku Nadjib Hamid Mengabdi tanpa Batas dan jersey HWFC untuk Liga 2 Indonesia.
Iftitah
Pandemi Covid-19 yang berjalan dua tahun ini bagi kita kaum beriman merupakan musibah yang mengandung fitnah (cobaan) dan masalah, sekaligus ibrah dan hikmah untuk menjadikan diri kita semakin kuat iman, sabar, dan kesungguhan dalam menjalani kehidupan. Allah berfirman:
مَا أَصَابَ مِنْ مُصِيبَةٍ إِلَّا بِإِذْنِ اللَّهِ ۗ وَمَنْ يُؤْمِنْ بِاللَّهِ يَهْدِ قَلْبَهُ ۚ وَاللَّهُ بِكُلِّ شَيْءٍ عَلِيمٌ
Artinya: “Tidak ada suatu musibah pun yang menimpa seseorang kecuali dengan ijin Allah; dan barangsiapa yang beriman kepada Allah niscaya Dia akan memberi petunjuk kepada hatinya. Dan Allah Maha Mengetahui segala sesuatu.” (at-Taghabun: 11).
Kita diuji kesabaran dan kesungguhan dalam menghadapi musibah ini sebagaimana firman Allah:
وَلَنَبْلُوَنَّكُمْ حَتَّىٰ نَعْلَمَ الْمُجَاهِدِينَ مِنْكُمْ وَالصَّابِرِينَ وَنَبْلُوَ أَخْبَارَكُمْ
Artinya “Dan sesungguhnya kami benar-benar akan menguji kamu agar kami mengetahui orang-orang yang berjihad dan yang bersabar di antara kamu, dan agar kami menyatakan (baik buruknya) hal ihwalmu” (Muhammad 31).
Novel La Peste karya filosof Albert Camus tentang kisah wabah pes di kota Oran Aljazair. Dalam kota yang terserang wabah dan dikarantania wilayah terjadi “Absurditas” dari banyak perilaku manusia. Menurut Camus, jangan menjadi unta dengan mengiyakan semuanya begitu saja yang terjadi. Tapi, jangan pula menjadi singa yang memberontak, melawan, dan ingin heroik. Jadilah bayi, terima segala yang terjadi, cintai apa yang terjadi. Camus ingin “bertindak membela yang dikenai kemalangan”.
Maka letakkan musibah global ini dalam pandangan kemanusiaan yang humanistik. Karya Steven Pinker (2018) tentang “Enlightment Now” disebutkan “a humanistic sensibility”, yang menumbuhkan sentimen empati seperti kemurahan hati, belas kasih, dan rasa saling memahami satu sama lain. Sifat-sifat empati tersebut menghidupkan watak alami manusia sebagai makhluk yang “merasa” (sentient) seperti senang dan sedih, suka dan duka, bahagia dan derita. Sifat-sifat manusiawi yang alamiah itu boleh jadi sering terdelusi oleh pola pikir sekular yang rasional-instrumental maupun pandangan keagamaan yang puritan dangkal.
Penderitaan akibat pandemi ini mestinya diletakkan dalam kredo kemanusiaan yang humanistik dan profetik tentang hakikat hidup dan mati dari makhluk Tuhan yang bernama manusia. Manusia yang Tuhan sendiri menghormati dan memuliakannya “fi ahsan at-taqwim“, sebaik-baik ciptaaan. Makhluk yang nilai satu jiwa baik hidup maupun mati sangat berharga di mata Tuhan (al-Maidah 32).
Karenanya tidaklah elok bagi siapapun manakala di antara anak bangsa masih saja ada yang menegasikan musibah pandemi covid-19 ini. Boleh jadi beragam ilmu dan pandangan selalu hadir dalam memahami dan menghadapi suatu kejadian dan hal itu wajar di dunia keilmuan dan kehidupan. Namun manakala sebanyak mungkin orang dengan ilmu dan pengalaman empirik yang dijumpainya menerima dan menghadapi musibah ini maka sangatlah bijak dan manusiawai bila semua bersatu hadapi dan atasi musibah ini. Di samping ilmu terdapat hikmah, sebagai mutiara kebaikan. Allah berfirman:
يُؤْتِي الْحِكْمَةَ مَنْ يَشَاءُ ۚ وَمَنْ يُؤْتَ الْحِكْمَةَ فَقَدْ أُوتِيَ خَيْرًا كَثِيرًا ۗ وَمَا يَذَّكَّرُ إِلَّا أُولُو الْأَلْبَابِ
“Dia memberikan hikmah kepada siapa yang Dia kehendaki. Barangsiapa diberi hikmah, sesungguhnya dia telah diberi kebaikan yang banyak. Dan tidak ada yang dapat mengambil pelajaran kecuali orang-orang yang mempunyai akal sehat.” (al-Baqarah 269).
Muhammadiyah dalam menghadapi pandemi yang berat ini secara teologis memandang kehidupan sebagai sesuatu yang luhur, berharga, dan bermakna. Memanai kehidupan dengan segala aspek dan siklusnya niscaya didekati dengan pendekatan bayani, burhani, dan irfani secara interkoneksi yang mendalam, luas, dan seksama. Letakkanlah persoalan pandemi ini dalam dimensi iman, tauhid, dan habluminallah yang terhubung langsung dengan habluminannas, ilmu, ihsan, dan amal shaleh yang bermakna.
Hidup, sakit, dan mati bukanlah persoalan praktis laksana barang murah yang mudah dibuang atau sekali pakai (disposable) dengan cara pandang keagamaan dan nalar verbal yang instrumental. Hidup dan mati itu sangat berharga dan harus bermakna. Allah berfirman:
مَنْ قَتَلَ نَفْسًا بِغَيْرِ نَفْسٍ أَوْ فَسَادٍ فِي الْأَرْضِ فَكَأَنَّمَا قَتَلَ النَّاسَ جَمِيعًا وَمَنْ أَحْيَاهَا فَكَأَنَّمَا أَحْيَا النَّاسَ جَمِيعًا ۚ وَلَقَدْ جَاءَتْهُمْ رُسُلُنَا بِالْبَيِّنَاتِ ثُمَّ إِنَّ كَثِيرًا مِنْهُمْ بَعْدَ ذَٰلِكَ فِي الْأَرْضِ لَمُسْرِفُونَ
Artinya: “… Barangsiapa membunuh seseorang, bukan karena orang itu membunuh orang lain, atau bukan karena berbuat kerusakan di bumi, maka seakan-akan dia telah membunuh semua manusia. Barangsiapa memelihara kehidupan seorang manusia, maka seakan-akan dia telah memelihara kehidupan semua manusia.” (al-Maidah 32).
Nilai Unggul (Qimat Mutafawiqah)
Nilai (value, qiemat atau natijah) ialah hal-hal penting yang mengandung arti atau makna dan kemaslahatan utama dalam kehidupan.
Nilai Holistik dalam Pandanlan
Yakni kesatuan pandangan dalam melihat persoalan (Qimat Wahdat al-Ruwyat fi al-Nazri al-Asyai)
Memahami ajaran Islam dan kehidupan dengan pendekatan Bayani, Burhani, dan Irfani. Termasuk dalam menghadapi pandemi Covid-19. Bahwa tujuan Syariat Islam ialah tegaknya kemaslahatan hidup manusia dan alam lingkungannya, yang dirumuskan oleh para fuqaha sebagai ”Maqasidus Syariat” yakni hifdu-diin (mejaga agama), hifdu-aql (menjaga akal), hifdul-maal (menjaga harta), hifdu-nasl (menjaga keturunan), dan hiddu-nafs (menjaga jiwa). Dalam hal Hifdu-nafs atau menjaga jiwa pun tidak lepas dari iman dan Islam, bukan sesuatu yang berlawanan dengan prinsip keyakinan dan agama. Kita diingatkan Allah agar ”Quu anfusakum wa ahlikum naara” (at-Tahrim 6), ”Walaa tulquu biaidiyakum ilaa tahlukaati” artinya ”Dan janganlah kamu menjatuhkan dirimu ke dalam kebinasaan” (al-Baqarah 195).
Nilai Tauhid untuk Kehidupan: (Qimat al-Tawhidi fi Maslahati al-Hayat)
Tauhid memang azas pokok dalam Islam. Tetapi tauhid dalam ajaran Islam tidak terbatas pada aspek iman yang mengesakan Tuhan, bersamaan dengan itu terkait dengan urusan kemanusiaan dan kehidupan. Iman sering dikaitkan dengan amal shaleh. Dalam al-Ma’un, orang disebut mendustakan agama ketika tidak peduli pada kaum miskin dan yatim. Kerusakan di muka bumi akan terjadi bila tidak ada relasi Habluminallah dan Habluminannas (Ali Imran: 112). Nabi bersabda, ”La yu’minu ahadukum hatta yuhibba liakhikhi ma yuhibbu li-nafsihi” (HR Muslim). Asghar Ali Engineer menjadikan Tauhid sebagai sumber nilai ” The theology of liberation” (Teologi Pembebasan).
Muhammadiyah memandang relasi antara ”hablumminallah” dan ”habluminamnas” itu saling terhubung yang harus membuahkan segala kebaikan dalam kehidupan. Muqaddimah Anggaran Dasar Muhammadiyah pada pokok pikiran pertama menyatakan ”Hidup Manusia harus berdasar Tauhid (meng-esa-kan Allah): ber-Tuhan, beribadah, serta tunduk dan taat hanya kepada Allah”. Pada Pokok pikiran kedua disebutkan, ”Hidup manusia itu bermasyarakat.”. Sedangkan Pikiran Keempat menyatakan: ”Berjuang menegakkan dan menjunjung tinggi agama Islam untuk mewujudkan masyarakat Islam yang sebenar-benarnya adalah wajib sebagai ibadat kepada Allah SWT dan berbuat ihsan kepada sesama manusia.”.
Nilai Memuliakan Manusia (Qimat al-Takrimi al-Insani)
Dalam Pernyataan Pikiran Muhammadiyah Abad Kedua tentang Islam Berkemajuan: “Islam yang berkemajuan menyemaikan benih-benih kebenaran, kebaikan, kedamaian, keadilan, kemaslahatan, kemakmuran, dan keutamaan hidup secara dinamis bagi seluruh umat manusia. Islam yang menjunjung tinggi kemuliaan manusia baik laki-laki maupun perempuan tanpa dikriminasi. Islam yang mengelorakan misi antiperang, antiterorisme, antikekerasan, antipenindasan, antiketerbelakangan, dan anti terhadap segala bentuk pengrusakan di muka bumi seperti korupsi, penyalahgunaan kekuasaan, kejahatan kemanusiaan, eksploitasi alam, serta berbagai kemungkaran yang menghancurkan kehidupan. Islam yang secara positif melahirkan keutamaan yang memayungi kemajemukan suku bangsa, ras, golongan, dan kebudayaan umat manusia di muka bumi.” Al-Quran menyatakan:
وَلَقَدْ كَرَّمْنَا بَنِي آدَمَ وَحَمَلْنَاهُمْ فِي الْبَرِّ وَالْبَحْرِ وَرَزَقْنَاهُمْ مِنَ الطَّيِّبَاتِ وَفَضَّلْنَاهُمْ عَلَىٰ كَثِيرٍ مِمَّنْ خَلَقْنَا تَفْضِيلًا
Artinya: “Dan sungguh, Kami telah memuliakan anak cucu Adam, dan Kami angkut mereka di darat dan di laut, dan Kami beri mereka rezeki dari yang baik-baik dan Kami lebihkan mereka di atas banyak makhluk yang Kami ciptakan dengan kelebihan yang sempurna.” (al-Isra: 70).
Nilai Tengahan/Moderat (Qimat al-Mutawasithah)
Moderasi, atau wasatiyyah (merupakan sinonim bahasa Arab: tawassut, i’tidäl, tawäzun, iqtisäd), sangat selaras dengan konsep keadilan, yang berarti memilih posisi di tengah antara titik-titik ekstremitas. Moderasi sering digunakan secara bergantian dengan istilah “rata-rata,” “inti,” “standar,” “hati,” dan “ketidakberpihakan. ” Kebalikan dari wasatiyyah adalah tatarruf, yang menunjukkan “kecenderungan ke arah pinggiran” dan dikenal sebagai “ekstremisme” , “Radikalisme” dan” berlebihan”. Dalam penggunaan bahasa Arab, wasatiyyah juga berarti pilihan terbaik seperti dalam hadits:” Nabi [SAW] adalah yang terbaik (awsat) dari keturunan Quraisy”. Hadis: Khaira al- ‘umur awsathuha.
Pernyataan Pikiran Muhammadiyah Abad Kedua: “Dengan gerakan pencerahan Muhammadiyah terus bergerak dalam mengemban misi dakwah dan tajdid untuk menghadirkan Islam sebagai ajaran yang mengembangkan sikap tengahan (wasathiyyah), membangun perdamaian, menghargai kemajemukan, menghormati harkat martabat kemanusiaan laki-laki maupun perempuan, mencerdaskan kehidupan bangsa, menjunjungtinggi akhlak mulia, dan memajukan kehidupan umat manusia. Komitmen Muhammadiyah
tersebut menunjukkan karakter gerakan Islam yang dinamis dan progresif dalam menjawab tantangan zaman, tanpa harus kehilangan identitas dan rujukan Islam yang autentik.”.
Dalam menghadapi pandemi Covid-1 9 Muhamamdiyah mengembangkan pendekatan wasathiyah dengan mengambil langkah berdasarkan pertimbangan ”rasional-ilmiah” dan ”spiritual-ruhaniah”. Buya Hamka dalam ”Taswuf Modern” menuliskan pesan sikap ”tawazun” atau ”tawasuth” dalam mengatasi masalah. Muslim tidak boleh memiliki sifat ”aljubnu”, yakni takut berlebihan dalam menghadapi keadaan. Sebaliknya dilarang bersikap ”tahawwur”, yaitu nekad tanpa perhitungan. Adapun sikap yang dianjurkan ialah ”syaja’ah”, yakni berani dengan seksama. Itulah ajaran ”Wasathiyyah Islam”, Islam Jalan Tengah.
Nilai Kebersamaan (Qimat al-Amali al-Jamai)
Pandemi ini masalah bersama. Tindakan kita akan berpengaruh terhadap keadaan dan sesama di sekitar kita. Kita tidak bisa egois dan merasa bebas dari pandemi ini. Kondisi darurat dan musibah ini sungguh memerlukan sikap peduli dan kebersamaan seluruh warga bangsa dalam semangat kasih sayang dan saling menolong. Nabi mengajarkan kaum beriman sebagai berikut: ”Barang siapa yang melapangkan salah satu kesusahan di dunia dari seorang mukmin, maka Allah akan melapangkan darinya salah satu kesusahan di hari kiamat. Barangsiapa yang memudahkan atas kesulitan orang lain, maka Allah akan memudahkan atasnya di dunia dan akhirat. Barangsiapa yang menutupi (aib) seorang muslim, maka Allah akan menutupi (aib) nya di dunia dan akhirat. Allah senantiasa menolong hamba-Nya selagi hamba tersebut senantiasa menolong saudaranya.” (HR Muslim dari Abu Hurairah). Jika tidak mau membantu sesama jangan bertindak semaunya. Jika tidak busa memberi solusi atas masalah yang dihadapi, jangan menjadi bagian dari masalah dan merendahkan atau abai dengan masalah.
Nilai Kemajuan (Qimat al-Taqadumi)
Islam dalam pandangan Muhammadiyah ialah agama yang Berkemajuan, sehingga lahir persepektif atau risalah Islam berkemajuan. Pernyataan Pikiran Muhammadiyah Abad Kedua: ”Muhammadiyah memandang bahwa Islam merupakan agama yang mengandung nilai-nilai kemajuan untuk mewujudkan kehidupan umat manusia yang tercerahkan. Kemajuan dalam pandangan Islam adalah kebaikan yang serba utama, yang melahirkan keunggulan hidup lahiriah dan ruhaniah. Adapun dakwah dan tajdid bagi Muhammadiyah merupakan jalan perubahan untuk mewujudkan Islam sebagai agama bagi kemajuan hidup umat manusia sepanjang zaman. Dalam perspektif Muhammadiyah, Islam merupakan agama yang berkemajuan (din al-hadlarah), yang kehadirannya membawa rahmat bagi semesta kehidupan.” (*)
Merawat Nilai-Nilai Unggul Muhammadiyah di Masa Pandemi: Editor Mohammad Nurfatoni