PWMU.CO – UAH: Bahaya Istidraj, Hidup Puluhan Tahun Tak Bernilai. Demikian Ustadz Adi Hidayat (UAH) membahasnya dalam Pengajian Orbit Virtual bertema “Istidraj: Pengertian dan Penjelmaan”, Kamis (23/9/2021) malam.
Kajian ini diikuti peserta dari seluruh daerah di pelosok nusantara, Aceh-Papua. Termasuk, Pimpinan Wilayah Muhammadiyah se-Indonesia, Pimpinan Wilayah Aisyiyah dari berbagai provinsi, Pimpinan Daerah Muhammadiyah, serta Pimpinan Cabang Istimewa Muhammadiyah di mancanegara.
Ustadz Adi Hidayat mulanya menerangkan definisi, pemaknaan kebahasaan atau etimologi dari istidraj.
Etimologi, Tafsir Pertama
Dari sumber bacaan yang dia akses, ulama membagi akar utama istidraj—berasal dari bahasa Arab—menjadi dua bagian: ad-durju (sesuatu yang terlipat-tergulung secara bertahap) dan daraja. “Memasukkan sesuatu secara pelan-pelan, bertahap, disebut ad-durju,” terang Ustadz Adi Hidayat.
Dia menambahkan, itulah mengapa laci dalam bahasa Arab disebut durjun. Karena, laci umumnya punya tahapan dan dibuka-tutup. “Begitu pula sepeda dalam bahasa Arab disebut daraja, karena roda sepeda itu menggulung, ada putaran secara bertahap,” imbuhnya.
Jadi, ad-durju adalah sesuatu yang digulung secara bertahap sehingga menghilangkan bentuk asalnya. “Jika kata ini ditambah dengan kata ista (proses mendapat sesuatu)—menjadi istadaraja—artinya proses atau upaya mendapatkan sesuatu yang dengan mendapati itu tergulung apa yang didapatkan sebelumnya secara pelan-pelan,” ungkapnya.
“Merasa seakan meningkat padahal menurun. Karena tidak ada peningkatan kualitas dari kedudukan yang melekat pada dirinya. Tidak ada peningkatan kebaikan dari harta-benda yang dia dapati.”
Ustadz Adi Hidayat
Etimologi, Tafsir Kedua
Tapi, dia mengatakan ulama tafsir biasanya mengacu pada tafsir kedua. Secara etimologi, kata daraja sebenarnya masih netral. Dalam bahasa Indonesia, diserap menjadi derajat (harkat, martabat, kedudukan). Dia mengingatkan, “Jangan salah, kalau dikembalikan ke bahasa Arab, bisa berbeda pemaknaannya!”
Jika kata dasar daraja ditambah kata ista menjadi istadaroja, lalu diubah jadi kata sifat istidraj, maka kata yang netral tadi, uniknya, secara bersamaan memiliki dua arti yang kontradiktif artinya di saat yang bersamaan. “Paradoks!” Komentarnya.
Pertama, istish-ad, berarti proses mengangkat sesuatu. “Naik lebih tinggi, naik lebih tinggi, … naik lebih tinggi,” terangnya.
Kedua, istinzal, berarti proses menurunkan sesuatu secara bertahap. “Turun, turun, … turun,” ungkapnya.
Kalau kedua makna di atas disatukan, seakan ada kesan keadaan atau proses yang dirasakan seolah mengangkat ke derajat yang lebih tinggi secara bertahap. “Naik pangkat lagi, lagi, dan lagi di kedudukan. Kalau harta, bertambah lagi, lagi, dan lagi,” ucap dia.
Tapi ternyata peningkatan itu, pada hakikatnya, dalam saat yang bersamaan, nilainya sedang menurunkan statusnya. Rasanya hampa dan tidak memiliki nilai kebaikan apapun di balik peningkatan-peningkatan yang didapat.
“Merasa seakan meningkat padahal menurun. Karena tidak ada peningkatan kualitas dari kedudukan yang melekat pada dirinya. Tidak ada peningkatan kebaikan dari harta-benda yang dia dapati,” jelas Ustadz Adi Hidayat.
Istidraj dalam Al-Quran
Lalu berbekal dua kitab tafsir di hadapannya, dia menerangkan bagaimana ulama mendefinisikan istidraj dalam pendekatan syariat, berdasarkan al-Quran dan hadits Nabi Muhammad SAW.
Katanya, cara tafsir kedua itulah yang selaras dengan tafsir pada al-A’raf: 182. Ayat itulah satu-satunya ayat al-Quran yang menggambarkan konsep istidraj.
وَالَّذِيْنَ كَذَّبُوْا بِاٰيٰتِنَا سَنَسْتَدْرِجُهُمْ مِّنْ حَيْثُ لَا يَعْلَمُوْنَ
Artinya, adapun orang-orang yang mengingkari (sengaja menolak) terhadap ayat-ayat Kami yang kami tunjukkan kepada mereka, maka Kami akan berlakukan istidraj dalam kehidupan mereka dari sisi yang tidak mereka duga/ketahui.
Terminologi Syariat
Ustadz Adi Hidayat menerangkan, berdasarkan Tafsir Al-Jalalain, istidraj bermakna negatif. Yaitu hilangnya satu nikmat yang melekat pada penambahan harta benda, kedudukan, atau pengetahuan yang terlihat sebagai nikmat.
“Maka Kami sesungguhnya akan mengambil sisi kebaikan/manfaat dari nikmat yang mereka rasakan itu sedikit demi sedikit,” ujarnya membacakan kitab tafsir itu.
Jadi itu terjadi kalau penambahan nikmat tidak memberi dampak positif atau tidak memberi nilai-nilai kebaikan, bahkan menggeser dari nilai-nilai kebaikan tadi.
“Ketika mendapat istidraj, pada akhirnya segala pintu kenyamanan tidak membawa manfaat dalam kehidupan.”
Ustadz Adi Hidayat
Pintu-Pintu Rezeki
Dalam terminologi syariat pemaknaan tafsir lainnya, karya Imam Ibnu Katsir halaman 381, dibukakannya kepada golongan-golongan tertentu pintu-pintu rezeki.
Dia menekankan, pintu rezeki bukan hanya berkonotasi materi semata, bisa berwujud macam-macam. “Segala yang bisa kita manfaatkan dalam kehidupan, yang mendorong fungsi nilai manfaat kita, setiap pemberian dari Allah yang kita dapat berdasarkan ikhtiar kita itu disebut rezeki,” terangnya.
Ustadz Adi Hidayat mencontohkan kedudukan, anak keturunan, pengetahuan, dan gelar. Tapi apakah semua penambahan itu bernilai positif dalam pandangan Allah yang menjadi bekal kita saat meninggal? “Hati-hati, harus dicek dulu! Lihat dalam diri kita,” imbaunya.
Jangan-jangan, imbuhnya, hidup puluhan tahun selama ini dalam pandangan Allah itu belum punya nilai. Yang lebih berbahaya, kata dia, Allah menyatakan dibukakan untuk kalangan tertentu itu ragam pintu rezeki.
“Pengen ini-itu gampang, tapi sampai mereka semua terlena (sibuk) dengan semua itu dan merasa dengan itu semua mudah mendapat peran/status sosial tertentu!” tegasnya.
Padahal, dengan status sosial—bagian dari titipan—itulah mereka punya tugas. Ketika mendapat istidraj, pada akhirnya segala pintu kenyamanan tidak membawa manfaat dalam kehidupan mereka.
“Abai dalam segala niat-niat kehidupan yang mulia, tapi lebih menikmati proses pengangkatan tanpa melekat kebaikan,” ujarnya. (*)
Penulis Sayyidah Nuriyah Editor Mohammad Nurfatoni