Kontroversi Yusril Ihza Mahendra oleh M Rizal Fadillah, Pemerhati Politik dan Kebangsaan
PWMU.CO– Yusril Ihza Mahendra dikenal sebagai pakar hukum tata negara. Pernah menjabat Menteri Hukum dan HAM dan Mensesneg di era Presiden SBY . Kini masih Ketua Umum DPP Partai Bulan Bintang.
Yusril ramai disorot sewaktu menjadi pengacara pasangan Jokowi-Ma’ruf Amin saat Pilpres 2019. Kini ia disorot kembali karena menjadi kuasa hukum Moeldoko dalam uji materi AD/ART Partai Demokrat ke Mahkamah Agung. Terjadi kontroversi Yusril dalam makna pro dan kontra.
Kontroversi itu berkisar pada tiga hal.
Pertama, dalam status sebagai Ketua Umum PBB, Yusril Ihza Mahendra masuk ke persoalan sengketa partai lain. Yaitu Partai Demokrat yang berkaitan dengan usaha pendongkelan Ketua Umum Partai Demokrat yang sah. Usaha pendongkelan ini telah mencoreng wajah demokrasi.
Kedua, yang dibela atau klien Yusril adalah “orang Istana” Kepala Staf Presiden Moeldoko yang semua rakyat Indonesia tahu telah melakukan upaya kudeta kasar terhadap kepemimpinan Partai Demokrat melalui Kongres Luar Biasa Deli Serdang. Pendaftaran susunan pengurus hasil KLB Partai Demokrat ternyata ditolak oleh Kemenhukham.
Ketiga, yang diuji materi bukan peraturan perundang-undangan tetapi AD/ART Partai. Ruang pengujian yang semestinya ada pada lingkup internal partai sendiri. Mahkamah Agung tidak berwenang mengintervensi aturan yang dibuat oleh partai politik. Jika bisa, konflik internal akan selalu dibawa ke Mahkamah Agung bukan Mahkamah Partai. Kalau begitu kacau balau hukum namanya.
Yusril Ihza Mahendra mungkin menganggap ini sebagai langkah terobosan. Tetapi semua terobosan mesti berdasar hukum bukan mengacak-acak hukum atau berbasis non hukum termasuk tekanan dan lobi politik. Moeldoko adalah bagian dari penguasa politik yang diduga akan terus melakukan segala cara untuk sukses misi.
Yusril Ihza Mahendra bisa saja berdalih bahwa hal ini adalah pembelajaran demokrasi atau sekadar menjalankan profesi, tetapi pembelaan pada Moeldoko dalam kasus kudeta partai adalah perilaku politik dan hukum yang tidak simpatik. Dipastikan rentan kritik.
Masyarakat dapat menilai hal ini justru bentuk dari kekacauan profesi dan penunggangan hukum oleh kekuasaan politik. Tidak tertutup kemungkinan juga uang.
Tak ada yang bisa memaksa Yusril Ihza Mahendra untuk mundur. Motif kuatnya adalah privacy-nya. Warga masyarakat hanya bisa menilai atau mengkritisi bahwa kini di negeri ini telah terjadi kemerosotan moral dalam sikap politik. Tidak mampu untuk menjaga marwah dan kemuliaan diri.
Pilihan langkah selalu berisiko dan Yusril telah memilih langkah. Kritik atasnya harus diterima dengan lapang hati.
Selamat berkontroversi dan saling menyalip di bahu jalan demokrasi. (*)
Bandung, 27 September 2021
Editor Sugeng Purwanto