PWMU.CO – UAH: Istidraj Bisa Menjelma dalam Jabatan. Ustadz Adi Hidayat memaparkan itu dalam Pengajian Orbit Virtual bertema “Istidraj: Pengertian dan Penjelmaan”, Kamis (23/9/2021) malam.
Kajian ini diikuti peserta dari dalam—seluruh pelosok Nusantara—maupun luar negeri. Di antaranya, Pimpinan Wilayah Muhammadiyah se-Indonesia, Pimpinan Wilayah Aisyiyah dari berbagai provinsi, Pimpinan Daerah Muhammadiyah, serta Pimpinan Cabang Istimewa Muhammadiyah.
Ustadz Adi Hidayat menerangkan hal-hal yang membuat istidraj dinilai negatif, bahkan mendapat ancaman Allah SWT.
Sengaja Berdusta Terus-menerus
UAH—sapaan akrabnya—menggarisbawahi pembuka al-A’raaf: 182, walladhina kadhdhabuu bi-aayaatinaa. “Ini yang berbahaya! Proses istidraj diawali proses ini,” ujarnya.
Kalau seseorang mengerjakan dua perbuatan yang diperingatkan itu, lanjut Ustadz Adi Hidayat, maka dia berpotensi terperosok ke lubang istidraj.
Pertama, sengaja mendustakan. Dia menekankan, yang dimaksud dalam ayat itu bukan sekadar kadhaba (dusta), tapi kadhdhaba. Yaitu terbiasa mendustakan, menganggap ringan, ada unsur kesengajaan, dan menolak dengan lantang.
Kesengajaan ini, kata dia, berlangsung terus-menerus dan bertahap. “Hari ini berdusta, besok dusta lagi, sehingga dusta itu menjadi profesi, kebiasaan/rutinitas dalam kehidupannya,” terangnya.
Pelakunya disebut mukaddhib. Dalam salah satu ayat-Nya, Allah menyatakan, “Wailul lil mukadhdhibin (celakalah orang-orang yang dalam hidupnya sering berdusta).”
Tambah Dekat Dengan Allah?
Di sana ada huruf ‘ba’ yang berfungsi menguatkan sesuatu, menunjukkan keseriusan untuk meyakinkan. “Kata Allah, ‘Hei Saya terangkan, ya! Jika ada orang-orang yang mereka sengaja mengingkari dengan pengingkaran yang sungguh-sungguh …’,” jelas Ustadz Adi Hidayat.
Dia menegaskan, pengingkaran terlihat dari ekspresi wajah, perilaku, penuturan, bahkan isi hati. “Nggak ada nilainya ini, nggak ada manfaatnya ayat-ayat ini. Saya sudah punya kedudukan,” contohnya.
Kata ‘aayaat’ sering diartikan tanda kebesaran. Dalam ayat tersebut, kata ini menunjukkan tanda yang seharusnya lebih mendekatkan seseorang dengan Allah SWT. Begitu juga di dalam al-Quran, ada pemakaian kata ‘ayat’, misal QS al-Baqarah ada 286 ayat.
“Kenapa disebut ayat? Karena setiap kali kita berinteraksi dengan al-Quran, akan bertambah kedekatan kita dengan Allah SWT,” jelasnya.
Semua aktivitas yang mampu mendekatkan kita pada Allah SWT disebut ayat. Bukan hanya membaca al-Quran. Kedudukan, harta, dan ilmu seharusnya bisa menjadi ayat (mendekatkan kepada Allah SWT).
Selewengkan Jabatan
Ustadz Adi Hidayat lantas membahas Thaha: 44.
فَقُوۡلَا لَهٗ قَوۡلًا لَّيِّنًا لَّعَلَّهٗ يَتَذَكَّرُ اَوۡ يَخۡشٰى
Dia mengartikan, coba diingatkan dengan kata-kata yang lembut, boleh jadi dengan kelembutan itu, dia menjadi ingat kembali dan merasa takut dengan Allah.
Ternyata, kata dia, ayat itu menceritakan ketika Musa AS dan Harun AS diutus Allah SWT kepada Firaun untuk memberi petunjuk/bimbingan tentang jabatan yang Firaun emban. Sebab, Firaun menyelewengkan fungsi jabatannya.
Padahal harapannya, jabatan mendekatkan dia kepada Allah SWT. “Ketika jabatan itu dekat dengan Allah, maka keluarlah kebijakan-kebijakan yang baik, yang mengandung maslahat dalam kehidupan. Karena mustahil orang yang dekat dengan Allah itu berbuat buruk,” ungkapnya.
Ternyata, lanjutnya, konsep awal jabatan itu ayat. “Jabatan itu titipan Allah untuk membangun kedekatan, itu amanah yang dipilih oleh Allah!” tegasnya.
Firaun adalah gelar yang melekat pada jabatan raja Mesir, bukan nama yang sebenarnya. Menurut kaidah ilmu tafsir, jika ada satu keterangan ayat dalam al-Quran tidak disebutkan langsung siapa orangnya dan kapan kejadiannya, menunjukkan akan terjadi di masa mendatang.
Penjelmaan di Jabatan
Dia menyimpulkan, demikian juga dengan orang-orang yang berpotensi menyeleweng dari jabatannya. Jabatan inilah penjelmaan istidraj. Ini membuat seseorang tidak peduli dengan semua norma yang ada. Dalam sejarah, inilah yang Namrud, Samud, dan Firaun lakukan.
“Saya nggak peduli jabatan membawa kebaikan, kah? Kebijakan-kebijakan yang baik, kah? Yang penting saya punya kedudukan,” contohnya.
قُلِ اللهم مٰلِكَ الْمُلْكِ تُؤْتِى الْمُلْكَ مَنْ تَشَاۤءُ وَتَنْزِعُ الْمُلْكَ مِمَّنْ تَشَاۤءُۖ وَتُعِزُّ مَنْ تَشَاۤءُ وَتُذِلُّ مَنْ تَشَاۤءُ ۗ بِيَدِكَ الْخَيْرُ ۗ اِنَّكَ عَلٰى كُلِّ شَيْءٍ قَدِيْرٌ
Kemudian, Ustadz Adi Hidayat menegaskan maksud dari penggalan Ali-Imran itu, “Katakanlah hanya Allah pemilik segala kedudukan/jabatan dan sebagainya. Allah akan titipkan pada siapa yang Dia kehendaki.”
Adakalanya, orang baik diberi jabatan untuk menebar semua aura kebaikan. Kadang juga tampak kurang baik supaya diperbaiki atau ada keburukan yang lebih besar lagi yang belum tampak.
“Dipilih orang yang kurang baik ini untuk tampak semua yang tidak baik itu, sehingga diperbaiki secara merata di kemudian hari,” tuturnya.
Perlu Musa-Harun Baru!
Dia pun berpesan, “Hati-hati kalau kita dititipi kedudukan di level apapun, baik di perusahaan, pemerintahan, atau kehidupan sosial; tapi dari itu semua kita bergeser dari nilai-nilai kebaikan!”
Apalagi, kalau dengan itu, kita lebih memilih yang penting mempertahankan jabatan, menunjukkan kehebatan, dan menantang segala hal. “Hati-hati kalau kita menikmati semua itu, selalu ingin lebih tinggi, tapi tidak ada nilai-nilai kebaikan di dalamnya maka itu tanda-tanda istidraj,” ucapnya.
Caranya saja, imbuhnya, sudah salah. Misal, datang ke dukun atau budaya saling menyingkirkan demi jabatan.
“Kalau ada pegawai di kantor yang tiba-tiba mengingatkan kita pada nilai kebaikan, bisa jadi itu kasih sayang Allah. Kenapa mesti kita? Kenapa harus ada dia di kantor kita?” tuturnya.
Maka, dia mengimbau, perlu ada Musa dan Harun yang baru. Juga ada agen kebaikan yang meneruskan risalah Nabi Muhammad SAW.
Kenapa Musa disebut lebih dulu? Dia menerangkan, dalam al-A’raaf ayat 159 tentang istidraj, Musa disebut lebih dulu. “Dan di antara umatnya Musa itu ada agen kebaikan,” ungkapnya. (*)
Penulis Sayyidah Nuriyah Editor Mohammad Nurfatoni