PWMU.CO – Tanda-Tanda Orang Terkena Istidraj. Adi Hidayat Lc MA menyatakan itu dalam Pengajian Orbit Virtual bertema “Istidraj: Pengertian dan Penjelmaan”, Kamis (23/9/2021).
Ustadz Adi Hidayat (UAH) menekankan, ketika ada umat Nabi Muhammad SAW yang menampakkan tanda-tanda istidraj dalam kehidupannya, mesti bersamaan dengan itu—sebagai wujud cinta dan rahman Allah SWT—ada yang mengingatkan kembali pada nilai-nilai kebaikan.
Sehingga nanti pertanggungjawabannya di hadapan Allah SWT menyeluruh. Tidak bisa alasan tidak ada yang mengingatkan. “Ada si Fulan, tuh! Kenapa ketika dia ingatkan, kamu tolak, rendahkan?” ujarnya.
Harta Benda, Penjelmaan Istidraj
Ustadz Adi Hidayat menyatakan, istidraj juga bisa melekat pada rezeki. Contohnya, “Tidak peduli apakah ada yang meninggal, yang penting harta saya bertambah!”
Ini seperti pada masa Nabi Musa AS. Ada penguasa zalim Firaun, pengusaha kotor Qorun, intelektual Ba’lam, dan jenderal Haman. Kaum itu, kata dia, bagian kehidupan yang menginspirasi kita untuk belajar, sehingga jangan sampai terjadi pada kita.
“Ketika mereka semua bersinergi, itulah yang membahayakan, maka diutuslah Musa dan Harun,” jelas pendiri Quantum Akhyar Institute itu.
Terkait harta, UAH mengingatkan kita perlu waspada jika harta bertambah dengan cara tidak benar. “Hati-hati jika tidak mengindahkan norma agama maupun standar kebaikan!” tuturnya.
“Kita semua menolak korupsi, pencurian, penyogokan, penipuan, apalagi pemanfaatan harta demi kepentingan duniawi. Hati kita—cukup menjadi manusia—pasti akan menolak!” terang lulusan Internasional Islamic Call College Triopoli Libya itu.
UAH menyatakan, manusia dalam al-Quran disebut al-ins—bersanding dengan al-jin—yang bermakna sifat kelembutan dan kebenaran. Karena itu, manusia—dalam hati paling dalamnya—punya sifat menolak keburukan, seperti dusta, pencurian, dan korupsi. “Fitrahnya condong pada kebenaran!” tegasnya.
“Nggak ada salahnya Anda shalat Subuh pakai Ferrari atau Lamborghini, silakan sebagai wujud rasa syukur. Harta kalau digunakan pada yang benar itulah ayat!”
Ustadz Adi Hidayat
Istidraj Hukuman Allah
Adapun dampak penyimpangan terhadap harta diterangkan dalam al-An’am: 49.
وَالَّذِيْنَ كَذَّبُوْا بِاٰيٰتِنَا يَمَسُّهُمُ الْعَذَابُ بِمَا كَانُوْا يَفْسُقُوْنَ
Maksudnya, “Dan orang-orang yang sengaja mengingkari kebenaran, tidak mengindahkan nilai-nilai kebaikan, mereka diancam Allah SWT akan dihukum kelak.”
UAH menjelaskan, hukumannya serupa dengan istidraj: tanpa disadari Allah akan menghukum. Hukuman yang terberat, lanjut UAH, ketika seseorang tidak menyadari penambahan yang dia rasakan ternyata menambah keburukan. “Padahal, semakin bertambah buruk, semakin tinggi azabnya!” ujarnya.
“Tidak ada penderitaan paling besar, kecuali kita tidak merasa bersalah. Karena kalau merasa bersalah, ada peluang bertaubat. Kalau nggak merasa, tidak mudah mendapati pintu kembali,” tambahnya.
UAH pun mengingatkan, tujuan mencari harta supaya bisa zakat dan infak. Bagi laki-laki, infak pertamanya untuk keluarga. “Ketika ada harta, berikan kepada keluarga supaya mendapat tempat yang baik, mudah untuk ibadah, anak-anak sekolah yang benar,” ujarnya.
“Nggak ada salahnya Anda shalat Subuh pakai Ferrari atau Lamborghini, silakan sebagai wujud rasa syukur. Harta kalau digunakan pada yang benar itulah ayat!” lanjutnya.
Kalau penggunaan harta itu bergeser dari yang benar namanya fusuk. Pelakunya disebut fasik. Sedangkan makhluk pertama yang disebut fasik itu iblis. Yaitu jin yang seharusnya taat, bergeser pada ketidaktaatan.
Tuli-bisu, Abaikan Ayat
UAH lantas menukil al-An’am: 39.
وَٱلَّذِينَ كَذَّبُوا۟ بِـَٔايَٰتِنَا صُمٌّ وَبُكْمٌ فِى ٱلظُّلُمَٰتِ ۗ مَن يَشَإِ ٱللَّهُ يُضْلِلْهُ وَمَن يَشَأْ يَجْعَلْهُ عَلَىٰ صِرَٰطٍ مُّسْتَقِيمٍ
Dari ayat itu, dia menerangkan, di antara tanda orang yang terkena istidraj di antara tandanya, mereka mengabaikan ayat Allah. Mereka tuli, tidak bisa mendengar nasihat-nasihat kebaikan. “Sudah nggak peka kepada kebenaran, kalau pun ada nilai-nilai kebenaran, tidak bisa diperjuangkan dengan jabatannya,” ujarnya.
Selain itu, mereka bisu. “Ada yang diam terhadap kebenaran,” ungkap pria kelahiran Pandeglang, 11 September 1984 itu.
Berdasarkan ayat di atas, mereka berada dalam kegelapan. “Allah mengibaratkan orang yang punya kehidupan mewah tapi tidak memberi manfaat, seakan-akan dia tinggal dalam suasana gelap,” terangnya.
Ini sejalan dengan surat al-A’raaf: 40. UAH menerangkan, orang-orang yang mendustakan ayat-Nya sehingga berlangsung istidraj dalam kehidupan mereka mendapat ancaman Allah. Ancaman-Nya, kalau tidak sempat bertaubat selama hidupnya, maka menjadi teman neraka dalam kehidupan abadinya kelak di akhirat.
Istidraj di Mata dan Lisan
UAH juga mengajak untuk mulai melihat dalam diri kita. “Mata bagian dari titipan. Jangan sampai ada istidraj di mata!” tuturnya.
Kita tidak sadar tiap hari melihat yang salah, tambah dia, tapi tidak ada kesan untuk terhindar dari kesalahan itu. “Maka, geser pada nilai kebaikan. Ke depan, latihan melihat yang baik-baik saja!” ajaknya.
Begitu juga dengan lisan. Waspada istidraj kalau selalu diam, padahal ada hal benar yang bisa kita ungkapkan. Juga sengaja berkata kotor dan menjauh dari kebenaran.
“Awas kalau menikmati itu sehingga tidak ada kosa-kata baik lagi. Boleh jadi, ada istidraj di lisan! Sehingga nanti lisannya akan dihukum. Semua akan mendapat pertanggungjawaban di mata Allah SWT,” ujar Ustadz Adi Hidayat.
Dia menambahkan, “Mohon izin keluarga Orbit, jangan sampai berangkat gelap-pulang gelap, mengejar dunia, lupa akan kembali pada kegelapan di alam kubur. Kalau nggak siapkan cahaya dari sekarang, hati-hati!”
Selalu Ada Dua Sisi
Nantinya, kata dia, selalu ada dua sisi fenomena sampai menjelang kiamat. Ini tercermin dalam al-A’raaf ayat 181-182. Pertama, agen kebaikan (dai, ustadz, ulama, dan ahli ilmu) untuk saling mengingatkan.
Kedua, ada yang memang harus diingatkan supaya amanah melekat pada mereka dengan rasa cinta. “Ada objek dakwah (yaitu) sebagian orang yang terjerumus pada istidraj,” terangnya.
UAH mengimbau, “Jangan biarkan saudara kita terjerat istidraj. Sepanjang ada kesempatan kita hingga ajal menjelang, terus suarakan!”
“Tampilkan kebaikan-kebaikan supaya dengan kasih sayang itu—dengan bahasa yang lembut dan doa mencerahkan—ketika hatinya sudah semakin mengeras, boleh jadi membuka secercah harapan. Supaya dia kembali pada jalan kebaikan,” harapnya. (*)
Penulis Sayyidah Nuriyah Editor Mohammad Nurfatoni