Hilangnya Patung Jenderal Penumpas PKI oleh M Rizal Fadillah, Pemerhati Politik dan Kebangsaan.
PWMU.CO– Hilangnya patung jenderal penumpas G30S/PKI di diorama Museum Dharma Bhakti Kostrad menjadi berita sensitif di bulan September ini. Patung itu adalah Jenderal AH Nasution, Letjen Soeharto, Kolonel Sarwo Edhi Wibowo.
Berita itu berhembus dari mantan Panglima TNI Jenderal Purn Gatot Nurmantyo. Pangkostrad Letjen Dudung Abdurrahman menerangkan, hilangnya patung diorama penumpasan G30S/PKI itu karena diminta kembali oleh mantan Pangkostrad terdahulu Letjen Purn Azmyn Yusri Nasution dengan alasan keyakinan bahwa membuat patung itu haram.
Benar sebagian ulama dan umat Islam meyakini dalil itu. Paham yang keras dalam mengharamkan patung dikenal dengan Wahabisme. Salah satu upaya ulama Saudi, Muhammad bin Abdul Wahhab, dalam menegakkan tauhid adalah dengan menghilangkan dan menghindari patung.
Sikap pemerintah juga sering mendekatkan Wahabisme dengan radikalisme bahkan terorisme. Suatu hal yang semestinya dijernihkan. Buzzer yang anti Arab tentu menganggap Wahabisme adalah musuh negara. Jika ada penghancuran patung pasti buzzer akan berteriak keras mengecam dan menyebut sebagai tindakan radikal.
Kini muncul alasan bahwa hilangnya patung diorama Museum Dharma Bhakti Makostrad disebabkan keyakinan ini. Nah ada Netizen ketika mendengar penjelasan Pangkostrad soal keyakinan AY Nasution itu berkomentar bahwa TNI telah terpapar Wahabisme. Adapula yang menyatakan apakah TNI tersusupi komunisme atau Wahabisme.
Pandangan nyinyir ini harus dijawab dengan penjelasan tegas dan pembuktian nyata bahwa Kostrad tidak terpapar atau tersusupi, dengan
Pertama, yang memberi penjelasan langsung adalah Letjen Purn AY Nasution, mantan Pangkostrad, tentang kebenaran pernyataan Pangkostrad Letjen Dudung Abdurrahman. Bukan Pangkostrad sendiri karena masyarakat dapat menganggap hal itu sebagai alasan yang dicari-cari.
Kedua, harus terklarifikasi bahwa patung diorama sejarah tiga personal Letjen Soeharto, Kolonel Sarwo Edhi, dan Jenderal AH Nasution yang ada di museum itu adalah milik pribadi yang ”dititipkan” di museum atau sumbangan pribadi untuk koleksi museum. Tentu harus dijelaskan atas biaya siapa pembuatan patung diorama tersebut.
Ketiga, jika diorama koleksi museum tersebut, terlepas milik pribadi atau sumbangan, itu penting dalam konteks kesejarahan Kostrad mestinya ada rencana pembuatan kembali koleksi patung diorama serupa di museum tersebut. Kecuali jika keyakinan Pangkostrad dan seluruh jajaran sama, bahwa patung itu dosa.
Keempat, jika toleransi itu adalah keyakinan bersama bahwa patung itu dosa, maka Kostrad harus mencanangkan penghilangan patung-patung yang ada di berbagai tempat termasuk patung Bung Karno dan Jenderal Soedirman. Hal ini bakal menarik dan mengguncangkan. Mungkin akan ada yang beranggapan bahwa ini merupakan satu kesatuan dari paket penghancuran baliho.
Sebenarnya belum cukup penjelasan dan pembuktian Pangkostrad yang dinilai terlalu enteng untuk suatu persoalan besar yang menjadi bahan kecurigaan yaitu skandal menghilangkan jejak sejarah penting heroisme Kostrad dalam membasmi PKI dan Komunisme.
Ataukah perlu segera dibentuk Tim Pencari Fakta ?
Kita tunggu langkah berikut yang lebih nyata dari Pak Dudung dalam mewaspadai dan menumpas gerakan komunis. Semoga tidak benar kecurigaan bahwa TNI itu telah tersusupi komunisme. Pangkostrad adalah pejuang bukan pecundang atau petualang apalagi menjadi preman tukang kemplang.
Rakyat pasti mendukung penjagaan wibawa Kostrad. Ada kekhawatiran Komando Cadangan Strategis Angkatan Darat (Kostrad) di bawah kepemimpinan Letjen Dudung Abdurrahman akan terseret ke kubangan politik. (*)
Bandung, 29 September 2021
Editor Sugeng Purwanto