PWMU.CO – Apakah Istidraj Hanya Berlaku bagi Orang Islam? Ustadz Adi Hidayat Lc MA menjawabnya pada sesi diskusi Pengajian Orbit Virtual, Kamis (23/9/2021) malam.
Meski sudah di atas pukul 21.00 WIB, para peserta masih banyak yang bertahan di ruang Zoom pengajian bertema “Istidraj: Pengertian dan Penjelmaan” itu. Bahkan, lima di antaranya antusias bertanya secara langsung.
Salah satunya, peserta asal Jerman Siti Julaiha. Dia mengajukan dua pertanyaan sekaligus. Pertama, kalau kita tidak pernah sakit, apakah perlu waspada terkena istidraj? Dengan catatan, dia sudah mengikuti petunjuk Rasul agar sehat.
Kedua, “Apakah (istidraj) itu hanya untuk orang Muslim? Bagaimana dengan orang kafir?”
Di hadapan lebih dari 500 jamaah Orbiter yang hadir lewat Zoom maupun YouTube, UAH—sapaan populernya—menegaskan belum tentu selalu sehat yang Allah berikan itu wujud istidraj.
Kesehatan
Dai kelahiran Pandeglang itu menerangkan, kesehatan senantiasa melahirkan dua hal. Pertama, diisi dengan ketaatan kepada Allah SWT. Misal, rajin ibadah, bertadabbur, dan kalau bisa shalat ke masjid.
Kedua, menghindari maksiat. Sakit itu bukan berarti bertanda maksiat. “Nabi Ayyub, Ibrahim, dan Muhammad sakit; apakah itu bermaksiat?” tanya UAH retorik di kajian yang digelar Yayasan Orbit Lintas Karya tersebut.
Merujuk pada QS al-Anbiya’: 83-84, Nabi Ayyub mengatakan sakitnya telah mengganggu ibadahnya, sehingga dia memohon minta kesembuhan.
“Ya Allah, saat sehat aku bisa nyaman beribadah. Kau berikan aku sakit, aku syukuri ya Allah. Aku istighfar bisa mendekat kepada-Mu, bertambah lagi ibadahnya,” ujarnya.
Kesembuhan Tingkatkan Ibadah
Ustadz Adi Hidayat mengisahkan, Nabi Ayyub memohon kesembuhan ketika kesembuhan mendorongnya untuk meningkatkan ibadah. Demikian juga ketika di antara para sufi ada yang menangis.
Ketika ditanya kenapa, sufi itu menjawab tidak sedang sakit. Hanya saja, “Saya takut, karena nggak sakit, dosa saya nggak diampuni.” tutur lulusan Internasional Islamic Call College Triopoli Libya itu.
UAH menekankan, itu menunjukkan tingkat keimanan yang tinggi. Tidak bisa kita lihat dan simpulkan pemaknaannya sebagai istidraj. Maksudnya, itu wujud muhasabah, “Jangan-jangan saya kurang istighfar. Karena saat sakit rajin istighfar, mendekat ke Allah.”
Pada dasarnya, lanjut UAH, kalau dengan sehat mengarahkan pada ketaatan dan menjauhi maksiat, itu hal yang positif.
Istidraj pada Muslim Saja?
Apakah istidraj hanya berlaku untuk orang Islam? Ustadz Adi Hidayat menegaskan tidak. Muslim dan kafir sama-sama berlaku istidraj. Bahkan, para ahli tafsir ketika ayat tentang istidraj turun berkomentar, “Ini untuk orang-orang kafir Mekkah!”
Dia menerangkan, sebetulnya, orang-orang beriman tidak boleh istidraj. “Karena istidraj itu tidak beriman. Kan aneh, mengaku beriman tapi mengingkari ayat-ayat yang menguatkan keimanannya?” ujarnya sambil tertawa.
“Dia menghargai imannya nggak? Dia beriman tapi melecehkan keimanannya sendiri!” Komentarnya.
Dia menilai ada sesuatu yang kontradiktif. Sama seperti kasus penistaan yang menghujat Nabi Muhammad SAW. “Aneh, menghujat Rasulullah SAW, tapi melekatkan nama Muhammad dalam dirinya. Itu ada yang konslet! Ada yang tidak tepat,” ungkap pendiri Quantum Akhyar Institute itu.
UAH memperingatkan, agar peserta kajian yang telah beriman jangan sampai menjalani kehidupan seperti orang-orang kafir saat ini.
Istidraj pada Kafir
Bagi yang belum beriman, tambahnya, istidraj sudah menjadi bagian konsep kehidupan. “Bertambah harta, tapi tidak ada nilai ibadah di dalamnya, karena tidak ada unsur iman,” ujarnya.
Memang dia akui, bisa kita dapati yang belum beriman berbuat kebaikan, seperti membantu dan berderma. Tapi ketika itu tidak dikerjakan dengan iman, maka hanya menjadi kegiatan dunia.
Berlandaskan al-Furqan: 23, UAH menjelaskan, kalau ada orang belum beriman, kemudian dia berbuat baik di dunia ini, maka Allah akan membalas karena kebaikan pekerjaannya bukan karena imannya. Allah adil. Apa balasannya? Dunia. Karena imanlah yang menjadikan pekerjaan bernilai akhirat.
UAH meluruskan, kalau ada orang baik diapresiasi macam-macam, disayang, dipercaya, itu standar kehidupan dunia. Biasa saja. Tidak bisa dunia di bawa ke akhirat, kecuali dengan nilai-nilai akhirat. Sedangkan ketika pulang ke akhirat, yang pertama dinilai keimanannya.
“Anda kalau ke Singapura, tidak bisa bawa hukum Indonesia. Ke Amerika, tidak bisa menyelonong masuk. Mengikuti hukum sana, kan? Sekarang anda mau ke akhirat bawa hukum dunia, anda memaksa. Anda siapa?” tuturnya.
Karena itu, dia menyimpulkan, bagi orang-orang yang belum beriman, istidraj sudah menjadi kebiasaan. “Kegiatan yang terbangun lewat pola hidup mereka,” ungkapnya.
Kalau ada yang baik, maka itu tidak bisa disebut dengan shalih. Hanya kebaikan umum universal. Ketika diisi iman, baru menjadi shalih. (*)
Penulis Sayyidah Nuriyah Editor Mohammad Nurfatoni