PKI rancang G30S dalam sepuluh kali rapat. Target pertama menculik delapan jenderal. Lalu menguasai negara.
PWMU.CO– Buku Kudeta 1 Oktober 1965 Sebuah Studi Konspirasi tulisan Victor Miroslav Fic di halaman 136 dan seterusnya menjelaskan, rencana PKI mengambil alih kekuasaan dengan target awal menghabisi jenderal Angkatan Darat direncanakan matang dalam sepuluh kali rapat antara 6-30 September 1965.
Awalnya Politbiro PKI secara aklamasi menyetujui Rencana Besar Gerakan 30 September (G30S) pada 28 Agustus 1965. Tanggung jawab diserahkan kepada tiga anggota Komite Tetap yaitu Aidit, Lukman, dan Njoto.
Sjam Kamaruzaman, Kepala Biro Khusus PKI sebagai pelaksana lapangan. Dia menemui anggota militer dari Komando Pembersihan menjelaskan rencana operasi. Dia juga mengevaluasi siapa komandan lapangan yang tepat untuk tugas itu.
Rapat gabungan pertama di rumah Wahjudi pada 6 September 1965 Jalan Sindanglaja, Jakarta, pukul 8 malam. Dihadiri anggota Biro Chusus dan para perwira militer. Rapat itu dihadiri oleh Sjam, Pono, Letkol Infanteri Untung, Kolonel Infanteri A. Latief, Mayor Udara Sujono, Mayor Infanteri Agus Sigit dan Kapten Artileri Wahjudi.
Rapat kedua, ketiga dan keempat pematangan lagi. Lalu rapat kelima 17 September di rumah Latief , Letkol Untung melaporkan kesatuan-kesatuan yang berpartisipasi dalam operasi. Pertama, satu kompi di bawah Untung. Kedua, satu batalyon di bawah Latief.
Ketiga, satu kompi di bawah Wahjudi. Keempat, sekitar 800 sampai 1.000 sukarelawan yang dilatih di Pondok Gede di bawah Sujono, Kelima, Batalyon 454 dari Divisi Diponegoro Jawa Tengah. Keenam, Batalyon 530 dari Divisi Brawijaya Jawa Timur.
Penempatan pasukan-pasukan itu akan diputuskan pada rapat berikutnya. Untung bersikeras bahwa harus diupayakan untuk mendapatkan sebuah kesatuan kavaleri yang terdiri dari sekitar 30 tank dan kendaraan lapis baja lain dari Divisi Siliwangi, yang disiapkan di Bandung, untuk mendukung serangan.
Rapat keenam di rumah Sjam Jl. Salemba Tengah menyepakati pembagian tanggung jawab yang terkait dengan operasi pre-emptive untuk menculik para jenderal. Pertama, aksi-aksi politik akan diarahkan oleh Sjam dan Pono. Kedua, Untung dan Latief akan memimpin aksi militer. Pasukan dipecah menjadi unit pemukul, teritorial, dan cadangan.
Sandi Pasukan
Rapat ketujuh, 22 September, di rumah Sjam menetapkan sandi-sandi dari Mahabharata diberikan pada masing-masing gugus tugas. Pasukan pemukul (Pasopati) dipimpin Letnan Infanteri Dul Arief, di bawah komando Latief.
Pasukan teritorial (Bhimasakti) dipimpin Kapten Infanteri Suradi, di bawah komando umum Latief. Pasukan cadangan (Gatotkaca) dipimpin Mayor Udara Gathut Sukrisno, meliputi para sukarelawan yang dilatih di Pondok Gede oleh Sujono.
Bhimasakti (pasukan territorial) akan mengamankan Istana Presiden, stasiun radio, pusat komunikasi, kantor pos, dan objek-objek vital lainnya di kota.
Pasukan Gatotkaca mengoordinasikan aktivitas-aktivitas di Pondok Gede, menyediakan sarana komunikasi dan secara umum bertindak sebagai pasukan cadangan.
Rapat kedelapan, Aidit menyarankan membentuk Dewan Revolusi sebagai pemerintahan baru setelah berhasil pembersihan para jenderal.
Rapat kesembilan di Rumah Sjam 26 September pukul 9 malam. Menetapkan Pangkalan Udara Halim dijadikan markas operasi. Pertimbangannya, ruang terbuka di sekitarnya memberikan areal yang sesuai bagi pasukan pemukul untuk berkumpul tanpa menarik perhatian publik.
Tempat itu mudah diakses dari luar melalui hubungan transportasi yang sangat bagus. Pangkalan Halim dekat dengan Pondok Gede, tempat pasukan sukarelawan dilatih oleh Sujono. Sukarelawan dengan mudah dipersenjatai dari gudang AURI di dekatnya. D-Day ditetapkan 29 September.
Rapat Terakhir
Rapat kesepuluh 29 September di rumah Sjam Jalan Salemba Tengah pukul 9 malam. Rapat mengulas semua persiapan yang sudah dilakukan. Rencana untuk mengerahkan pasukan dari Batalyon 454 dan 530, dan kesiapan pasukan cadangan di Pondok Gede.
Sjam mengusulkan, delapan jenderal dijadikan target gugus tugas Pasopati. Yaitu Jenderal Abdul Haris Nasution (Menko Hankam/KASAB), Letjen Achmad Yani, (Menteri/Panglima Angkatan Darat), Mayjen Suwondo Parman (Kepala Intelijen AD), Mayjen Suprapto, Mayjen MT Harjono, Brigjen DI Pandjaitan, Brigjen Sutojo Siswomihardjo, dan Brigjen Achmad Sukendro.
Nama para jenderal itu telah diberikan kepada Sjam oleh Aidit sekitar 20 September 1965. Instruksinya diambil dari rumahnya hidup-hidup, kemudian para jenderal dibawa ke Halim untuk dinterograsi tentang Dewan Jenderal. Rencana ini disetujui rapat.
Sjam juga mengusulkan pada Aidit agar M. Hatta, Chairul Saleh, dan Sukarni supaya ”diambil” tetapi Aidit menolak.
Rapat kemudian membahas aspek politis dari operasi itu. Setelah operasi terhadap para jenderal selesai, sebuah Dewan Revolusi akan dibentuk. Aidit menyiapkan daftar anggota dewan ini.
Dewan Revolusi akan membubarkan Kabinet Dwikora dan bertindak sebagai dewan tertinggi untuk mendesak presiden agar menunjuk sebuah pemerintahan koalisi baru yang didasarkan pada Nasakom yaitu Kabinet Gotong Royong.
Jika Presiden menolak menunjuk kabinet baru ini, ia akan dilengserkan juga dari kekuasaan.
Sjam menyampaikan rencana kekuatan pasukan yang akan dikerahkan. Terdiri pertama, 2.000 personal dari Batalyon 454 dan 530. Kedua, 1.000 anggota pasukan Pengawal Istana dari Batalyon Tjakrabirawa.
Ketiga, 1.000 sukarelawan yang dilatih Sujono di Pondok Gede. Keempat, sekitar 3.000 pasukan dari Brigade Infanteri I dari Garnisun Jakarta. Kendaraan lapis baja terdiri dari 30 tank dan kendaraan lain dari Divisi Siliwangi. (*)
Penulis/Editor Sugeng Purwanto