Bangsa Keledai karena PKI oleh M Rizal Fadillah, Pemerhati Politik dan Kebangsaan
PWMU.CO– Keledai atau donkey, himar, digambarkan sebagai hewan yang bodoh tapi keras kepala. Kebodohan keledai diungkap oleh penulis Yunani Homer dan Aesop.
Untuk bergerak dengan beban berat, keledai dipasangi wortel depan mulutnya. Dibohongi oleh majikannya. Pepatah untuk kebodohannya ialah a donkey fall in the same hole twice. Hanya keledai yang jatuh dalam lubang yang sama sampai dua kali.
Bangsa Indonesia telah mengalami pengalaman pemberontakan dan penghianatan PKI dua kali. Yaitu September 1948 di Madiun dan September 1965 di Jakarta.
Keduanya berdarah dan biadab. Korban adalah santri ulama dan tentara. PKI senantiasa mencari celah atas kelengahan pemimpin bangsa. Istana yang dapat dipengaruhi dan ditunggangi.
Kini geliat terasa kembali meski PKI telah dibubarkan dan dilarang. Mereka sendiri menyatakan bergerak tanpa bentuk. Artinya, penggalangan melalui penyusupan di organisasi kemasyarakatan, organisasi politik, birokrasi, istana, maupun TNI-Polri. Para taipan yang menjadi bagian dari oligarki patut untuk diwaspadai.
Akankah bangsa ini mengalami kembali bencana politik untuk yang ketiga kalinya akibat gerak dan aksi kaum komunis yang abai diwaspadai? Mungkin saja jika antisipasi elemen bangsa ini lemah.
Agar tidak menjadi bangsa keledai yang bukan saja dua kali tetapi berulang kali terperosok dalam lubang yang sama, maka perlu upaya antara lain
Pertama, pemahaman sejarah yang harus terus diperkuat terutama untuk generasi muda yang sama sekali tidak mengalami peristiwa kejahatan dan penghianatan PKI.
Tayangan film Penumpasan Pengkhianatan G30S/PKI itu penting dan konstruktif. Tidak terpengaruh oleh pandangan kaum reaksioner seperti Ilham Aidit, putra DN Aidit, Effendi Simbolon (kader PDIP) atau Hilmar Farid (Direktur Kebudayaan Kemendikbudristek) yang menyerang tayangan dan menyatakan Hari Kesaktian Pancasila tidak relevan. Ada juga Iman Brotoseno (Direktur Utama TVRI) yang membela Gerwani.
Kedua, pertahankan dan jalankan Ketetapan MPRS No XXV/MPRS/1966 yang melarang PKI dan penyebaran paham Marxisme/Leninisme dan Komunisme. Ketetapan ini menegaskan bahwa tidak ada hak hidup untuk PKI dan Komunisme.
Kemudian tegakkan UU No 27 tahun 1999 yang memberi sanksi 12 tahun, 15 tahun, dan 20 tahun bagi penyebar paham Marxisme/Leninisme dan komunisme. Perbesaran ancaman jika mengakibatkan kerusuhan dan dalam rangka mengganti ideologi negara. Kerja sama dengan organisasi dan partai berhaluan komunis juga dilarang.
Ketiga, mengingat PKI dan komunisme bergerak dan disebarkan diam-diam, maka antisipasi masyarakat, khususnya umat Islam harus dilakukan dengan lebih gesit dan strategis. Front-front anti komunis harus dibangun kembali, laskar dan brigade keumatan turut membantu aparat untuk mengamankan target-target klasik PKI dan gerakan komunisme seperti ulama, tokoh masyarakat, dan tempat-tempat ibadah. Mewaspadai adu domba dan pengembangan mistisisme, paham sesat, serta kemaksiatan lainnya.
Jangan biarkan PKI dan komunisme memanfaatkan keakraban pemerintah dengan negara RRC menggencarkan tuduhan kepada umat beragama sebagai radikal, intoleran, dan anti-kebhinekaan, serta menunggangi program moderasi beragama demi penipisan keyakinan keagamaan.
Bangsa Indonesia sudah terperosok dua kali dan tidak boleh untuk ketiga kalinya. Kita ini bukan bangsa keledai. Sejarah itu penting. George Santayana filosof Spanyol-Amerika menyatakan, ”Mereka yang tidak mengambil hikmah sejarah, ditakdirkan untuk mengulanginya,”
Nabi Muhammad saw pernah bersabda, seorang mukmin tidak masuk ke dalam lubang yang sama dua kali. (HR Bukhori).
Bandung, 1 Oktober 2021
Editor Sugeng Purwanto