PWMU.CO – Belajar dari Kegagalan, Model Bisnis Evermos Efisien. Co-founder platform social commerce Evermos M Ghufron Mustaqim menceritakannya dalam Ruang Toko Jaringan Saudagar Muhammadiyah (JSM) ke-22, Jumat (1/10/21).
Untuk Reseller, Bukan Konsumen
Ghufron menyatakan, aplikasi Evermos menyajikan katalog online yang membantu para reseller berjualan tanpa harus punya stok atau membeli produk. “Mereka bisa berjualan dengan modal handphone,” ucapnya.
Kemudian, para reseller bisa share ke WhatsApp atau Facebook masing-masing untuk mendapat calon konsumennya. “Reseller akan mendapat komisi dari setiap transaksi yang dihasilkan,” tambahnya.
Kini, Evermos memilih sekitar 500 brand dan menjual sekitar 12 ribu produk. Ghufron meluruskan, Evermos untuk mengorganisasi reseller. “Ini bukan aplikasi untuk konsumen seperti market place pada umumnya, ini aplikasi untuk membantu reseller jualan,” ujarnya.
Sejalan dengan itu, Ghufron menekankan, Evermos membantu UMKM atau brand lokal punya marketing (sales channel) yang masif. Ibaratnya, kata dia, mereka punya salesman di seluruh Indonesia tanpa harus mereka rekrut, kelola sendiri, dan gaji.
“Dibantu dengan 100 ribu reseller aktif yang kita miliki!” ungkapnya.
Belajar dari Gagal
Menjawab pertanyaan Syauqi apakah dirinya pernah gagal, Ghufron menilai kegagalan itu hal yang normal. Dia berkisah ketika sebelumnya pernah gagal membangun fashion e-commerce. Waktu itu, kata dia, start-up model itu memang susah digeber untuk tumbuh.
Ada tiga penyebab kegagalannya. Pertama, perlu punya inventori. “Barang yang kita jual adalah barang yang kita miliki,” ujarnya.
Menurut Ghufron, kegagalannya saat itu karena model bisnisnya kurang efisien. “Kalau kita mau nggeber omset sekian miliar, kita harus punya barang sekian miliar,” ungkapnya.
Kedua, model B2C atau bussiness to consumer (langsung ke konsumen). “Harus banyak burn uang marketing untuk menggaet pasar,” terangnya.
Karena model bisnisnya kurang efisien, lanjit Ghufron, investor kurang tertarik untuk investasi. Usai dibubarkan, Evermos belajar dari sana untuk membuat bisnis model yang lebih efisien. “Bagian dari sunnatullah, kita mengambil pengalaman masa lampau untuk memperbaiki apa yang kita lakukan sekarang,” ujar Ghufron.
Model Bisnis Evermos
Ada dua pelajaran yang bisa Ghufron ambil. Pertama, tidak mengambil inventori. “Inventori yang dijual di Evermos itu inventori milik brand owner,” tuturnya.
Kedua, tidak menghabiskan banyak uang untuk marketing. Karena mereka punya reseller yang memasarkan produk ke calon konsumen mereka. “Bisa lebih hemat,” komentarnya.
Syauqi menjabarkan alur komponen dalam berbisnis, yaitu produksi, distribusi, inventori, dan marketing. Dia pun mencoba memahami model bisnis ekonomi gotong-royong yang Evermos gunakan. “Produksi urusan yang punya brand, inventori urusan yang punya brand, marketing urusan reseller,” ujarnya.
“Top 20 persen dari reseller yang aktif, setiap bulan mendapat komisi bersih di atas Rp 2,5 juta!”
M Ghufron Mustaqim
Lalu Syauqi menanyakan, siapa yang mengurus distribusi barang. Ghufron menjawab, “Untuk pengiriman barang dari gudang brand ke konsumen itu yang membayar konsumen itu sendiri.”
Evermos bekerja sama dengan berbagai jasa pengiriman (kurir). Karena punya volume tertentu, kata Ghufron, pihaknya bisa negosiasi harga ongkos kirim sehingga bisa semakin murah.
“Kita juga ada program kalau pembelian di atas sekian ratus ribu bisa dapat gratis ongkir, misal, untuk mengurangi kerepotan orang berbelanja,” tambahnya.
Syauqi menyimpulkan, model bisnis Evermos sangat efisien dan menguntungkan reseller. Sebab, reseller tidak perlu membayar uang pangkal, hanya perlu menjalankan peran marketer.
Komisi Reseller Istikamah
Ghufron menerangkan, di platform Evermos, ada reseller sudah istikamah dan masih coba-coba. “Top 20 persen dari reseller yang aktif, setiap bulan mendapat komisi bersih di atas Rp 2,5 juta!” ungkap pria asal pelosok Sleman itu.
Tetangga dan saudaranya yang mayoritas bertani, malam harinya bisa aktif berjualan dan mendapat penghasilan tambahan dari Evermos. Kemudian alumnus Madrasah Mu’allimin Muhammadiyah Yogyakarta itu mengisahkan reseller sukses bernama Pak Dian.
Petani di Lampung itu menggarap dua hektare lahan milik bosnya. Dia bekerja di ladang dari pagi jam 08.00 hingga sore jam 17.00. Dia mulai bergabung di Evermos ketika anaknya mulai belajar di rumah selama pandemi sehingga butuh handphone (HP)
Karena dia mendapatkan HP-nya dengan berutang, Pak Dian bilang ke HP-nya, “Karena aku utang untuk beli kamu, maka kamu harus membayar utangmu sendiri!”
Berkat istikamah belajar dan berjualan di Evermos, Pak Dian mampu meraup keuntungan bersih puluhan juta rupiah. “Alhamdulillah, sampai sekarang, sekitar setahun sejak bergabung, sudah berhasil menjual hampir 100 kasur. Nilai omzetnya sekian ratus juta rupiah,” terangnya.
Jadi Pak Dian tidak hanya berhasil melunasi HP-nya, tapi juga bisa menabung. Ia pun mengajak Jaringan Saudagar Muhammadiyah yang memiliki brand untuk memasukkan brand-nya ke Evermos melalui mekanisme kurasi. Kurasi adalah proses penting untuk menjaga kualitas brand. Tentunya, perlu mengunduh aplikasi Evermos dulu di Play Store.
Sebagai wujud pemberdayaan umat, Evermos menginisiasi ‘Desa Evermos’. Evermos ingin hadir di desa-desa untuk menjaring reseller dan juga produk unggulan lokal agar bisa masuk ke evermos lalu didampingi. (*)
Penulis Sayyidah Nuriyah Editor Mohammad Nurfatoni