PWMU.CO – Haedar Nashir Mengenang Kebaikan-Kebaikan Prof Suyatno. Ketua Umum Pimpinan Pusat (PP) Muhammadiyah Prof Dr H Haedar Nashir MSi menyampaikan tausiah pada Pengajian Takziah Virtual “Mengenang Alm Prof Dr H Suyatno MPd”, Senin (11/10/21) malam.
Mengawali tausiahnya, Prof Haedar Nashir menyapa seluruh pimpinan amal usaha Muhammadiyah maupun pimpinan amal usaha lain, serta seluruh handai taulan almarhum Prof Dr Suyatno MPd yang hadir malam itu hadir secara virtual untuk takziah dan bermunajat untuk Allahu yarham.
Dari PP Muhammadiyah, kata dia, ada yang hadir langsung pada pemakaman jenazah Suyatno di Purbalingga, kampung halamannya. “Ada Pak Marpuji, dr Agus Taufiqurrahman, dan Pak Agung Danarto hadir mewakili PP Muhammadiyah,” paparnya.
Ikhtiar Maksimal
Dia menyatakan, PP Muhammadiyah dan keluarga sudah berusaha menangani dan mencari ikhtiar maksimal untuk kesembuhan Prof Suyatno sejak di RSI sampai di RSCM Jakarta. “Sampai hari kemarin, kami berkomunikasi dengan keluarga lewat Pak Sutriyo dan Ibu Suyatno,” terangnya.
Mereka juga terus berkoordinasi dengan dr Slamet. “Ikhtiar itu semaksimal mungkin kita lakukan, tapi Allah menafsirkan garis ajalnya yang kita tidak pernah tahu pasti,” ucap dia.
Akhirnya, lanjut Haedar Nashir, Senin sore Prof Suyatno dipanggil Allah SWT kembali ke haribaannnya. “Tentu kita semua kehilangan dan duka mendalam, lebih-lebih keluarga. Tapi kita hanya bisa menyampaikan, Innalillahi wa inna ilaihi raji‘un, semua dari Allah dan semua kembali ke pada-Nya,” ungkapnya.
Sakit dan tidak sakit atau juga sebab yang lain, kata Haedar Nashir, hanya wasilah pada kematian. Tapi titik akhir kematian dalam bentuk ajal, lanjutnya, hanya Allah yang tahu semua rahasia. “Kita hanya bisa menjelaskan secara rasional. Tapi kita tidak pernah tahu kepastian ajal tiba. Ada yang lewat sakit, ada yang tidak,” tegasnya.
Itulah menurut Haedar Nashir pentingnya kita mengimani kematian, sebagai bagian dari kita mengimani takdir Allah. “Kami percaya betapa pun kehilangan dan duka, Bu Yatno dan keluarga besar melepas Allahu yarham dengan ikhlas, sabar, dan tawakal kepada Allah,” tuturnya.
Prasangka Suyatno Kembali ke Rumah
Sebagai anggota PP Muhammadiyah yang merasa dekat dengan Suyatno dengan segala dinamikanya, Prof Haedar masih merasakan bagaimana saat Suyatno di rumah sakit. “Masih bisa berkomunikasi! Prof Suyatno masih ada di sebelah kita, bersama kita,” ucapnya.
“Prasangka lahiriah kami, beliau segera kembali ke rumah. Tapi ternyata Allah menetapkan garisnya, hari Senin adalah hari terakhir perjalanan beliau,” tambah Haedar.
Kemudian, dia mengajak peserta yang hadir di Zoom itu untuk melepas kepergian almarhum dengan mengambil ibrah (pelajaran) dari rahasia kematian setiap insan. Haedar pun memberi kesaksian dari hablum min annas-nya dengan Prof Suyatno.
Dia menceritakan, di PP Muhammadiyah, dia mengenal Suyatno sejak 2005, ketika Muktamar di Malang. “Sepanjang perjalanannya, suka-duka sebagaimana kita keluarga, ada dinamika persamaan dan perbedaan. Tapi itu semua saling memperkaya perjalanan di PP Muhammadiyah,” ungkapnya.
Suyatno Pribadi Baik
Haedar merangkum sosok almarhum berdasarkan kesaksian handai taulan dalam tiga hal. Pertama, Suyatno pribadi baik dan menyenangkan. “Sikap welas asih-nya kuat. Suka menolong siapa pun. Selalu mau membantu, lebih-lebih dalam kegiatan Persyarikatan,” ujarnya.
Haedar menambahkan, “Beliau sebenarnya berat beban, tapi beliau lakukan itu. Sosoknya ceria dan siapa pun disapa tanpa perbedaan.”
Bagi keluarga, menurutnya, ini wujud kesalihan Suyatno sekaligus amal jariyah beliau sebagai pribadi yang baik. “Itulah kekuatan pribadi beliau yang hampir semua kesaksian merujuk pada sifat seperti itu: pribadi yang baik!”
Dengan pribadi baik itulah, kata Haedar, Prof Suyatno bisa diterima di banyak kalangan sehingga radius pergaulannya kuat. “Kami memperoleh duka cita dari berbagai pihak,” terangnya.
“Itulah prof suyatno! Sampai detik ini terasa getaran pribadi beliau!” imbuhnya.
Pengkhidmatan Suyatno di Persyarikatan
Kedua, Haedar menyatakan ketika dirinya menjadi saksi penghidmatan Suyatno di Persyarikatan maupun di profesi beliau sebagai pendidik. “Penghidmatan beliau di Muhammadiyah luar biasa, tidak pernah kenal lelah,” terangnya.
Haedar menjadi saksi, bagaimana Suyatno selalu menunaikan tugas apapun yang beliau sandang di Persyarikatan sampai akhir hayatnya. “Ketika resign, semua sepengetahuan dan seizin PP Muhammadiyah,” ujarnya.
“Kami tahu persis, ketika dari daerah-daerah datang ke Jakarta untuk mengurus pendidikan—selain secara resmi kepada majelis—Pak Yatno sosok yang selalu ada saat teman-teman daerah hadir ke Jakarta. Seberat apapun, beliau mengawalnya,” ungkap Haedar.
Ketika Suyatno memperoleh mandat tiga kali memimpin Uhamka dan merintis UM Bandung, menurut Haedar itu beban berat bagi Suyatno. “Sesungguhnya berat perjalanan Jakarta-Bandung, tapi beban berat luar biasa beliau tunaikan tanpa mengeluh,” ujarnya.
Haedar Nashir jarang mendengar Suyatno mengeluh, baik tentang keadaan maupun orang. Dari sana, Haedar menegaskan, “Para pimpinan di Persyarikatan kita ini kan DNA-nya kerja tak kenal lelah. Semua kita lakukan sampai larut malam. Itu emosi yang hidup. Pak Yatno mempraktikkan itu dengan pengkhidmatan!”
Gigih, Visioner, dan Shalih
Ketiga, Haedar Nashir menyatakan Suyatno memiliki kegigihan, kesungguhan, visi ke depan, dan jaringan luas dalam mengembangkan amal usaha, khususnya di pendidikan tinggi. Sebagaimana pelopor pendidikan tinggi lain maupun di amal usaha lain, Suyatno gigih mendobrak.
“Beliau gigih merintis banyak hal seperti kesaksian Prof Gunawan. Perjalananya lahir batin luar biasa,” ungkapnya.
Cara berpikir Suyatno, menurut Haedar, selalu melangkah ke depan. Selain itu, Haedar menyatakan hasil jerih payah Suyatno bisa dilihat di sistem Persyarikatan. “Di Persyarikatan, jika ditemani orang yang bisa menjaga ketertiban itu kan luar biasa!” tuturnya.
Di samping itu, keilmuannya bermanfaat sebagai pendidik. “Dengan pendidikannya, beliau konsisten menjadi pendidik. Insyaallah beliau membawa amal jariyah yang baik,” ujarnya.
Haedar melihat sosok Suyatno sebagai orang yang shalih dengan keluarganya. Dia mengisahkan, “Saat (ada acara) di Purwokerto, beliau menyempatkan diri menengok bunda tercinta lalu kembali lagi ke acara. Itu wujud anak shalih!”
Hidup-Mati Itu Bernilai!
Ibrah yang bisa kita petik, tutur Haedar Nashir, kita yang masih diberi Allah usia, terus merajut perjalanan hidup pribadi, di keluarga, sampai di Persyarikatan. Haedar berpesan, “Belajar dari para pendahulu! Manfaatkan peluang yang kita miliki sebaik-baiknya agar kita bisa beramal jariyah lebih.”
Haedar menyatakan, setiap orang selalu ada kekurangan, siapa pun dia. Kelebihan selalu bersama kekurangan. Tapi Allah mengajarkan untuk memberi maaf pada hak-hak yang bersifat azali.
“Insyaallah kami atas nama PP Muhammadiyah memaafkan apa yang menjadi kekurangan dan kekeliruan Pak Yatno. Insyaallah tidak ada lagi rintangan beliau menghadap Allah SWT,” ucapnya.
“Kita sadar, harta termahal ketika diberi Allah kesempatan menjalani kehidupan itu sendiri,” ujarnya.
Haedar berpesan, alangkah baiknya menghargai orang ketika hidup dengan kelebihan dan kekurangannya. “Kita menjauhkan diri dari sikap merasa diri paling benar, suci, hebat sendiri,” terangnya.
Di pandemi ini, Haedar mengimbau untuk menghargai hidup dan mati sebagai anugerah sekaligus amanah yang harus kita jaga. “Hidup dan mati bukan sesuatu yang instrumental! Pada akhirnya kematian akan tiba,” tegasnya.
Di era revolusi iptek ini, lanjutnya, hidup-mati akan menjadi persoalan teknis. Misal, dengan beragam pengembangan teori, muncul cara-cara meremajakan kulit manusia dengan silikon.
Meski demikian, Haedar menegaskan kematian tidak dapat dicegah. “Kematian menjadi sesuatu yang bernilai. Melepaskannya pun sebagai sesuatu yang punya nilai,” ucapnya.
Ketika pikiran kuat, kata Haedar, melihat persoalan-persoalan itu hanya instrumental semata. “Dengan irfani kita yang kita hidupkan selama ini, kita mencoba menghargai hidup dan mati sebagai sesuatu yang bermakna buat kita, semesta, dan sesama,” terangnya.
Terakhir, Haedar mengajak menjadi pribadi yang optimis menjalani kehidupan karena hidup dan mati itu bermakna dan kita terus berusaha agar punya bekal. “Sebenarnya di Muhammadiyah ini kita sedang mengumpulkan bekal dan berijarah dengan Allah,” ungkapnya.
Seraya dengan itu, tambahnya, kita tetap rendah hati sebagai manusia. “Bahkan rendah diri di hadapan Allah! Jangan-jangan amal kita belum banyak, kepandaian kita juga tidak seberapa dibanding ilmu Allah yang mahaluas, jabatan kita juga tidak seberapa dibanding semua hal yang bermakna di kehidupan ini,” tuturnya.
Haedar berharap, mudah-mudahan kita dapat meneruskan perjuangan Almarhum Suyatno. Dia bermunajat, “Prof Suyatno husnul khatimah, diampuni segala dosa, diterima amal ibadahnya, dan kita doakan beliau di sisi Allah jannatun naim.” (*)
Haedar Nashir Mengenang Kebaikan-Kebaikan Prof Suyatno: Penulis Sayyidah Nuriyah Editor Mohammad Nurfatoni