PWMU.CO – Thanatophobia, Takut Mati yang Berlebihan. Pernahkah mendengar orang yang merasa takut atau khawatir secara berlebihan akan kematian? Atau jangan-jangan kita sendiri?
Jika seseorang memiliki fobia atau kehawatiran menghadapi kematian yang terus-menerus dan berlangsung lama—sehingga mengganggu kehidupan sehari-harinya—mungkin ia menderita thanatophobia.
Untuk mengetahui tentang thanatophobia tersebut, PWMUI.CO mewawancarai Prof Maksum Radji, seorang Guru Besar Farmasi yang sekaligus Pembina Pondok Babussalam Socah Bangkalan, Kamis (14/10/2021).
Menurut Prof Maksum, istilah thanatophobia berasal dari bahasa Yunani, yaitu thanatos artinya kematian dan phobos berarti ketakutan. Jadi, thanatophobiaadalah ketakutan akan kematian.
“Thanatophobia adalah ketakutan yang persisten dan irasional terhadap kematian. Ketakutan bisa pada kematian diri sendiri atau kematian orang yang dicintainya. Dalam kasus-kasus ekstrem, pikiran-pikiran tersebut sangat menakutkan bagi seorang yang mengidap thanatophobia,” jelasnya.
Gejala Thanatophobia
Prof Maksum menjelaskan, seseorang yang mengidap thanatophobia akan mengalami ketakutan yang berlebihan yang terkesan tidak masuk akal. Hal itu berlangsung terus-menerus, yang dipicu oleh objek atau situasi tertentu, setidaknya selama enam bulan.
Selain itu penderita thanatophobia, akan berusaha menghindari situasi di mana kematian atau penyebab kematian itu akan menemuinya, sehingga orang tersebut menghindarinya. Bahkan meninggalkan rumah atau membuat ruang khusus yang kedap menurut anggapannya, yang dapat menghalangi kematian yang sedang memburunya. Sehingga thanatophobia secara signifikan berdampak pada kehidupan pribadinya.
“Kepanikan atau ketakutan akan kematian berlebihan yang dialami seseorang yang mengidap thanatophobia seringkali dikaitkan dengan gejala gangguan fisik antara lainL berkeringat, sesak napas, jantung berdegup kencang, mual, dan sakit kepala,” jelas Prof Maksum.
Tak Ada Uji Klinis
Menurut dia, tidak ada cara uji khusus yang digunakan untuk mediagnosis thanatophobia secara klinis. Untuk mendiagnosis fobia ini, didasarkan pada gejala yang dialami seseorang akibat ketakutan akan kematian yang berlebihan, lamanya gejala yang dialaminya, tingkat keparahan akan kecemasan yang dideritanya, dan seberapa sering ketakutan akan kematian tersebut muncul.
“Diagnosis thanatophobia ini perlu dilakukan oleh profesional kesehatan mental yang terlatih. Para tenaga profesional akan menentukan apakah ketakutan itu merupakan bagian dari fobia spesifik, tingkat kecemasan atau gangguan kesehatan mental lainnya,” terangnya.
Dia menerangkan, thanatophobia yang sering ditemukan adalah yang terkait dengan gangguan kecemasan penyakit. Kecemasan kematian yang terkait dengan gangguan kecemasan akan penyakit yang berlebihan ini, disebut juga dengan hipokondriasis.
“Jadi, thanatophobia merupakan gangguan ketakutan seseorang akan kematian yang kuat terkait dengan ketakutan mereka terjangkit suatu penyakit menular yang mematikan, atau sebab lainnya,” jelas dia.
Jika seseorang merasa sangat mengkhawatirkan kematian, hal pertama yang harus dilakukan adalah mengingat bahwa semua orang akan menemui kematian.
Prof Maksum Radji
Kenapa Khawatir akan Kematian?
Prof Maksum menjelaskan, menurut hasil penelitian Menzies dkk—sebagaimana yang dilansir pada British Journal of Clinical Psychology, bulan November 2019—mereka menemukan kecemasan akan kematian memuncak pada orang-orang berumur sekitar 20 tahunan dan menurun setelahnya.
Orang dengan penyakit kronis lebih berisiko mengalami rasa takut yang ekstrem terhadap kematian. Di samping itu setiap orang akan mengalami ketakutan akan kematian pada suatu saat dalam hidup mereka.
Prof Maksum mengatakan, jika seseorang merasa sangat mengkhawatirkan kematian, hal pertama yang harus dilakukan adalah mengingat bahwa semua orang akan menemui kematian.
“Tetapi jika ketakutan ini terus-menerus dan memengaruhi kehidupan sehari-hari, maka seseorang perlu mencari bantuan medis,” ujarnya.
Siapa pun, sambungnya, dapat mengalami pikiran obsesif tentang kematian. Dan sayangnya mereka dapat memburuk ketika situasi pemicu muncul atau bahkan muncul secara tiba-tiba. Meskipun ada banyak cara yang dapat dilakukan, namun jika seseorang terus mengalami gangguan thanophobia maka yang terbaik adalah menghubungi profesional kesehatan mental untuk meminta bantuan.
Dia menegaskan, beberapa orang sebenarnya tidak takut akan kematian itu sendiri, tapi mereka takut akan keadaan yang menjadi penyebab kematian, seperti takut akan rasa sakit, kelumpuhan atau penyakit yang mematikan lainnya.
Coronaphobia
Prof Maksum berkata, wajar jika sebagian penduduk di dunia ini mengalami ketakutan terhadap pandemi Covid-19 yang sudah berlangsung hampir dua tahun ini. Pandemi Covid-19 ini telah menimbulkan menimbulkan fobia atau ketakutan baru, yang dikenal dengan coronaphobia.
Coronaphobia merupakan jenis fobia baru karena ketakutan yang berlebihan terhadap paparan virus SARS-CoV-2 penyebab Covid-19. Istilah coronaphobia ini pertama kali dipublikasikan pada Asian Journal of Psychiatry pada bulan Desember 2020 yang lalu.
Para peneliti mendefinisikan coronaphobia sebagai ketakutan tertular virus penyebab Covid-19, yang menyebabkan kekhawatiran berlebihan. Respon yang berlebihan ini menimbulkan dampak fisiologis dan psikologis berupa gejala stres berat, sehingga menimbulkan perilaku ketakutan tertular yang berlebihan dan takut akan kematian yang disebabkan oleh wabah Covid-19.
“Seseorang yang terkena coronaphobia merasa dapat terhindar dari kemungkinan tertular virus SARS-CoV-2 jika ia tidak bertemu orang. Sehingga mereka takut keluar rumah, sering update berita di medsos tentang perkembangan baru kasus Covid-19, dan mereka juga cenderung menunjukkan perilaku sering mencuci tangan atau menggunakan hand sanitizer berulangkali, bahkan dapat jatuh sakit akibat stres yang berlebihan,” urainya.
Dia menjelaskan faktor utama coronaphobia. Di samping kekhawatiran yang terus-menerus yang dapat menyebabkan gejala seperti jantung berdebar, tremor, kesulitan bernapas, pusing, perubahan nafsu makan, dan pola tidur, ketakutan akan virus Corona mempengaruhi pikiran seseorang.
Bahwa ia akan mati jika tertular virus Covid-19, akan kehilangan pekerjaan karena wabah, beranggapan kuat bahwa keluarganya dalam bahaya, sehingga selalu merasa sedih, takut, khawatir, dan marah secara berlebihan yang berdampak pada kondisi emosionalnya.
Bagi sebagian orang, kematian sangat menakutkan. Mereka membayangkan kematian sebagai peristiwa yang amat tragis dan mengerikan.
Peran Agama
Prof Maksum mengingatkan dalam menghadapi thanatophobia ini selain pertolongan para profesional kesehatan mental, peran agama sangat penting bagi seseorang yang selalu khawatir secara berlebihan akan kematian.
Bagi sebagian orang, kematian sangat menakutkan. Mereka membayangkan kematian sebagai peristiwa yang amat tragis dan mengerikan. Umumnya mereka ingin menikmati hidup ini lebih lama, merasa belum siap berpisah dengan orang-orang yang dicintainya, dan karena ia takut pada dosa-dosa yang selama ini ia lakukan, sehingga takut menghadapi kematian.
“Dalam Islam, perasaan takut akan kematian pasti ada di setiap diri manusia, karena merupakan bagian dari penciptaan-Nya,” ujarnya sambil mengutip Surat al-Baqarah ayat 155, yang artinya:
“Dan sungguh akan Kami berikan cobaan kepadamu dengan sedikit ketakutan, kelaparan, kekurangan harta, jiwa, dan buah-buahan. Dan sampaikanlah berita gembira kepada orang-orang yang sabar.”
Maksum menegaskan, rasa takut akan kematian bisa berupa nikmat juga bisa berupa hal yang menjadikan seseorang menjadi terpuruk. “Sejatinya rasa takut mati adalah peringatan agar manusia selalu mengingat Allah dan menjadi pemacu untuk lebih baik dan menjadi energi positif untuk menjauhkan diri dari kemaksiatan,” jelas dia.
Dia menambahkan, “Seorang yang cerdas adalah orang yang selalu mengingat akan kematian. Islam mengajarkan agar umatnya memperbanyak mengingat pemutus kelezatan yaitu kematian, karena mengingat kematian adalah suatu kebaikan.”
Jadi, tutur dia, manusia takut mati sebetulnya karena ia tidak pernah ingat akan kematian dan tidak mempersiapkan diri dengan baik dalam menyambut kedatangannya.
“Semoga Allah senantiasa melimpahkan rahmat bagi kita semua. Amin,” doanya. (*)
Penulis Isrotul Sukma Editor Mohammad Nurfatoni