PWMU.CO– Hari besar Islam berbeda dengan hari yang dibesarkan umat Islam. Hari besar Islam hanya ada tiga. Yaitu Idul Fitri, Idul Adha, dan Tasyriq. Hari besar ini terkait dengan pelaksanaan hukum syariah yaitu haram berpuasa.
Hal itu dijelaskan Ketua Korps Mubaligh Muhammadiyah Kota Surabaya Dr Imam Syaukani MA dalam Pengajian Ahad Pagi PCM Lakarsantri. Acara bertempat di MI Muhammadiyah 28 Jl. Raya Bangkingan Surabaya, Ahad (17/10/2021).
”Pada tiga hari besar Islam itu umat Islam dilarang berpuasa. Haram hukumnya. Pelaksanaannya juga tidak boleh digeser ke hari yang lain,” jelasnya.
Berhaji, sambung dia, pelaksanaannya harus di bulan Dzulhijjah, tempatnya ya di Arafah. Tidak bisa digeser bulan lain dan tempat lain.
Kemudian ada hari yang dibesarkan oleh umat Islam karena mengandung nilai sejarah. Contoh Isra Mikraj, 1 Muharram, Nuzulul Quran, Maulid Nabi Muhammad saw.
”Hari yang dibesarkan oleh umat Islam ini tidak berkaitan dengan pelaksanaan hukum syariah. Berpuasa jatuh pada hari itu juga tidak apa-apa,” katanya. ”Tidak memperingati hari besar itu juga tidak masalah. Karena hari itu diperingati sebagai kebiasaan untuk momen berdakwah,” tutur Imam Syaukani.
Karena itu, sambung dia, pemerintah menggeser libur hari Maulid Nabi Muhammad saw pada 12 Rabiul Awwal yang mestinya jatuh Selasa, 19 Oktober ke hari Rabu, 20 Oktober tidak masalah. Sebab pada hari Maulid Nabi tidak berkaitan dengan pelaksanaan hukum syariat. ”Tujuan pemerintah menghindari hari kejepit nasional,” ujarnya.
Menurut Imam Syaukani, orang-orang Muhammadiyah harus cerdas menyikapi penggeseran libur Maulid Nabi itu dengan paham dalilnya. Itu masalah prinsip atau tidak. Tidak disikapi dengan emosional.
Tapi dia juga berseloroh, ”Kira-kira pemerintah berani tidak menggeser libur 25 Desember menjadi 26 Desember meskipun di kalangan umat Kristen ada yang berpendapat Yesus sebenarnya tidak lahir pada tanggal itu.”
Dia mengingatkan, kaum muslim dalam mengaji harus paham dalil lalu dipraktikkan. Itulah semangat ber-Muhammadiyah yaitu orang-orang yang mengikuti sunnah Nabi Muhammad.
Dalilnya, kata dia, adalah hadits yang menyatakan, apabila telah diajarkan masalah tentang agama segera laksanakan. ”Perintah Nabi itu bukan didiskusikan tapi dipraktikkan,” tandasnya.
Uswatun Hasanah
Kemudian Imam Syaukani menjelaskan, uswatun hasanah yang harus diikuti oleh kaum muslim. Pertama ayat yang sangat populer yaitu surat al Ahzab : 21.
لَّقَدْ كَانَ لَكُمْ فِى رَسُولِ ٱللَّهِ أُسْوَةٌ حَسَنَةٌ
Sungguh dalam diri Rasulullah ada teladan yang baik bagimu.
Kedua, surat Mumtahanah ayat 4.
قَدْ كَانَتْ لَكُمْ أُسْوَةٌ حَسَنَةٌ فِىٓ إِبْرَٰهِيمَ وَٱلَّذِينَ مَعَهُۥٓ
Sungguh ada teladan yang baik bagimu pada Ibrahim dan orang-orang yang bersamanya.
Dalam al-Quran, ujar dia, ada dua sosok yang menjadi teladan yaitu Nabi Muhammad dan Nabi Ibrahim yang selalu disebut bersamaan oleh kaum muslim ketika shalat.
”Ketika membaca Allahumma shalli ‘ala muhammad wa ‘ala ali muhammad kama shallaita ‘ala ibrahim wa ‘ala ali ibrahim wa baarik ‘ala muhammad wa ‘ala ali muhammad kama baarakta ‘ala ibrahim wa ‘ala ali Ibrahim, ada nama Nabi Muhammad dan Nabi Ibrahim,” paparnya.
Dalam al-Quran ada surat Ibrahim juga ada nama surat Muhammad. Kaum muslimin khitan, berhaji, sa’i, jumrah, menurut Imam Syaukani juga, meniru teladan dari Nabi Ibrahim dan istrinya.
”Nama Nabi Ibrahim disebut dalam al-Quran sebanyak 121 kali. Mengapa nama Nabi Ibrahim disebut berulang-ulang pasti ada maksudnya. Sedangkan nama Nabi Muhammad disebut empat kali dalam al-Quran.
Imam Syaukani menyatakan, nama Nabi Ibrahim dan Nabi Muhammad disebut dalam al-Quran supaya ditiru para pengikutnya terutama orang-orang Muhammadiyah. Perilaku nabi itu berdasarkan wahyu bukan nafsu.
”Sekarang banyak orang kritis lantas mengatakan sing ditiru apane? Maka ada kaidah ushul fikih
اَلْعَادَةُ مُحَكَّمَةٌ al adatu muhakkamatu. Adat bisa menjadi hukum selama tidak bertentangan dengan syariah,” katanya.
Contoh Nabi Muhammad mencium hajar aswad. Abu Bakar yang melihat itu maka dia ittiba’ (mengikuti) tanpa bertanya. ”Umar bin Khaththab juga mengikuti mencium hajar aswad tapi sambil berkata ’Hai batu hitam, seandainya Rasulullah tidak menciummu, aku tak sudi menciummu,” ulasnya. (*)
Penulis/Editor Sugeng Purwanto