Bahasa Perang Berita Sepakbola, kolom bahasa oleh Mohammad Nurfatoni, Pemimpin Redaksi PWMU.CO
PWMU.CO – Membaca bahasa berita olahraga, terutama sepakbola, tak ubahnya seperti membaca laporan peperangan. Kata-kata yang merupakan diksi perang bersenjata berhamburan memenuhi judul-judul berita bola.
“Juventus VS Roma: Panas! Bianconeri Taklukkan I Lupi 1-0” adalah salah satu contoh berita berbahasa perang yang disuguhkan sport.detik.com.
Untuk menjelaskan kata takluk, kata dasar taklukkan, Kamus Besar Bahasa Indonesia V memberi contoh: Pangeran Diponegoro tidak mau takluk kepada penjajah.
Selain takluk, diksi perang yang sering digunakan dalam judul berita bola, antara lain: hajar, bentrok, pukul, tekuk, gebuk, bungkam, gulung,, bombardir, gilas, bekap.
Portal bola.com misalnya menulis judul seperti ini, “Andritany Ardhiyasa seusai Perjija Dibekap Arema FC di BRI Liga 1: Oki Dwi Putra selalu Merugikan Tim Kami”. Padahal kata bekap bermakna sumbat seperti kalimat, “Dia dibekap mulutnya oleh penculik.”
Tidak hanya di bola, pada berita bulu tangkis, diksi perang pun dipilih oleh liputan6.com dalam berita Hasil Thomas Cup: Indonesia Juara Thomas Cup, Gilas China 3-0 di Final.
Mari kita bandingkan penggunaan kata-kata parang di atas dengan berita parang bersenjata sungguhan. Seperti berita TVOneNews berjudul: Bentrok Israel Vs Palestina, Militer Pukul Mundur Pengunjuk Rasa.
Dan kata bentrok bukankah juga dipakai untuk berita olahraga? Contohnya ditulis kompas.com: Kapten Persib Serukan Bangkit saat Bentrok dengan Borneo FC.
Berita Ramah
Di era peradaban modern seperti saat ini, penggunaan diksi perang dalam berita olahraga, yang cenderung kasar seperti itu, sudah tidak usum, kata orang Lamongan. Artinya, sudah basi.
Apalagi berita bola tidak hanya dibaca oleh orang dewasa—kalau hanya usia itu boleh membaca judul kasar. Anak-anak dan remaja juga banyak yang suka bola, dan karena itu mereka akan mencari dan membaca berita bola.
Bila berita yang tiap hari disuguhkan memakai bahasa perang, tentu akan memengaruhi alam bawah sadar mereka. Lama-lama jika ada momentum, maka ingatan tentang kata-kata kasar itu akan menjelma menjadi perilaku. Mungkin itulah mengapa, sering terjadi “perang” antarsuporter bola.
Diksi bentrok dalam berita bola—yang sesungguhnya diksi perang—bukankah juga akhirnya menjadi kenyataan pada suporter bola. Seperti rekaman berita kompasTV tahun 2017: Bentrok Antarsuporter Bola, 8 Orang Tewas.
Oleh karena itu, akan lebih kreatif dan mendidik jika para wartawan dan redaktur olahraga menggunakan bahasa yang ramah, terutama demi kepentingan anak atau remaja. (*)