Kontroversi Nama Jalan Mustafa Kemal Ataturk, kolom oleh Prima Mari Kristanto, warga Muhammadiyah Lamongan
PWMU.CO – Apa arti sebuah nama, kata-kata yang dipopulerkan seniman sekuler Inggris William Shakespeare. Kata-kata yang sekilas tampak indah untuk mewujudkan kesetaraan antarmanusia tanpa membeda-bedakan suku, agama, ras bahkan golongan tertentu.
Islam menganggap nama sebagai doa yang mengiringi seorang anak manusia dalam meniti jalan hidup mereka. Suku, bangsa, agama, dan golongan tertentu menjadikan nama sebagai penanda identitas sekaligus pemersatu.
Pemilik nama Muhammad misalnya hampir bisa dipastikan Muslim, Johanes Nasrani, Wayan bersuku Bali, Nasution Batak, Baswedan Arab, Joko Widodo Jawa, Liem Tionghoa dan sebagainya.
Beberapa kelompok masyarakat Jawa masih beranggapan pentingnya mengganti nama seorang anak yang sakit-sakitan, kabotan jeneng (keberatan beban nama), kata orang Jawa.
Dalam Islam juga terdapat kebiasaan mengganti nama atau sekadar mengganti panggilan demi mengangkat kesan-kesan yang lebih baik pada seseorang.
Seperti Mohammad Darwis yang setelah dewasa berganti nama menjadi Ahmad Dahlan, Kusno Sosrodiharjo menjadi Sukarno, Muhammad Attar menjadi Muhammad Hatta, Abdurrahman Adh-Dakhil menjadi Abdurahman Wahid, bahkan disingkat lagi menjadi Gus Dur saja, Muhammad Sirajuddin Syamsuddin menjadi Din Syamsuddin dan lain-lain.
Sebuah nama yang awalnya bertujuan sebagai doa dan harapan, juga identitas tidak jarang jika kemudian meninggalkan kesan buruk karena sikap dan perilaku pemilik nama.
Nama Ahmad, Abdullah, dan Musa adalah contoh nama-nama yang indah, tetapi bisa menimbulkan kesan lain bahkan buruk ketika nama-nama tersebut menjadi Ahmad Aidit gembong PKI 1965, Abdullah bin Saba tokoh munafik Madinah, Musa yang diucapkan dengan lafal Muso gembong PKI 1948. Demikian juga nama Adolf, menjadi ngeri jika menjadi Adolf Hittler.
Mustafa Kamal juga nama yang baik dan indah, tokoh nasional bahkan pahlawan nasional ada yang menggunakan nama tersebut sebagian atau keseluruhan. Nama Musthafa atau Musthofa menjadi heroik pada nama KH Zainal Musthofa pahlawan nasional asal Singaparna Tasikmalaya.
Nama Musthafa Kamal juga dipakai seorang anggota DPR RI dari partai Islam yang cukup vokal. Tetapi ada juga seorang kepala daerah yang “diduga” terlibat korupsi dan gratifikasi bernama Musthafa Kamal.
Mustafa Kamal Ataturk
Mustafa Kamal Ataturk terlanjur meninggalkan “trauma” di kalangan umat Islam dunia. Rencana menjadikan namanya sebagai nama salah satu ruas jalan di Jakarta sangat melukai rasa kemanusiaan secara universal, bukan hanya umat Islam.
Jejak Ataturk yang meruntuhkan kekhalifahan Utsmani setara dengan Stalin yang meruntuhkan Kekaisaran Rusia. Sejarah mencatat dua tokoh monarki terakhir tersebut dihinakan oleh pengkudeta kekuasaannya.
Suksesi kepemimpinan dan sistem politik merupakan hal biasa, tetapi menghinakan pemimpin dan sistem sebelumnya sebagai perilaku yang nista. Sistem-sistem yang didirikan dua tokoh “kemerdekaan” pada masanya terbukti meninggalkan trauma mendalam bagi rakyatnya.
Rakyat Rusia puluhan tahun didera sistem komunis ide yang digagas Stalin, rakyat Turki puluhan tahun ditindas sistem sekuler yang dibawa Mustafa Kamal Ataturk.
Menjadikan nama Mustafa Kamal Ataturk sebagai nama jalan di Indonesia berdalih tata krama diplomasi sebagai alasan mengada-ada dan dipaksakan. Adanya nama Sukarno di Turki tidak serta merta harus ditukar dengan nama tokoh dari Turki. Nama tokoh Indonesia dipakai sebagai nama jalan atau tempat di luar negeri bukan hanya Sukarno.
Hattaraad, Kartiniraad, Syahrirraad di Belanda, Masjid Soeharto di Bosnia Herzegovina, Jembatan Habibie di Timor Leste tidak ada paksaan barter nama tokoh negara lain menjadi nama jalan atau tempat di Indonesia.
Akan tetapi Indonesia tidak terlalu pelit menjadikan nama orang asing di Indonesia, misalnya Setia Budi nama lain Douwes Dekker orang Belanda yang menginspirasi politik etis, juga tokoh investor asal Timur Tengah dijadikan nama salah satu ruas tol yang dibarter dengan nama Presiden Joko Widodo di negri investor tersebut.
Haruskah Barter Nama
Dalam nama, kata dan kalimat terkandung “rasa” sebagai bagian dari bahasa, budaya, adab, dan akhlak. Nama Sukarno yang dikagumi masyarakat mayoritas Muslim Asia Afrika melalui Konferensi Asia Afrika dan Soeharto sebagai Ketua Gerakan Non Blok yang dikagumi Muslim Bosnia Herzegovina tidak layak dibarter dengan nama tokoh yang melukai perasaan umat Islam Indonesia bahkan dunia.
Juga nama Habibie yang dijadikan nama jembatan di Timor Leste haruskah dibarter dengan nama Xanana Gusmao atau Ramos Horta misalnya? Tatakrama diplomatik haruskah dipaksakan?
Jika harus barter penggunaan nama Soeharto di Bosnia Herzegovina, selayaknya nama Alija Izetbegovic pejuang kemerdekaan dan Presiden Bosnia Herzegovina yang ditemui Soeharto juga dijadikan nama jalan di Indonesia.
Istilah ‘tak kenal maka tak sayang’ perlu seimbang dengan ‘tak kenal maka tak benci’ terhadap sepak terjang tokoh tertentu, agar tidak asal-asalan menyematkan nama pada suatu jalan atau tempat.
Banyak nama-nama tokoh nasional dan internasional yang layak untuk menjadi nama jalan atau tempat di Indonesia. Nama-nama yang jelas memberi kontribusi positif untuk bangsa Indonesia, bukan untuk memicu kontroversi.
Nama-nama ikan juga bisa dijadikan nama jalan agar masyarakat Indonesia sehat dan gemar makan ikan seperti nama-nama ikan di jalan-jalan kawasan Perak Surabaya. (*)
Editor Mohammad Nurfatoni