Nama Sukarno ternyata ditemukan di antara nama orang-orang Rusia. Nama itu dipakai saking kagumnya dengan sosok presiden RI itu menunjukkan identitas muslimnya.
PWMU.CO– Di Rusia ada satu keluarga pengagum Bung Karno. Nama Sukarno dijadikan nama turun temurun hingga empat generasi dalam keluarga dari Dagestan ini.
Itu terungkap ketika Duta Besar Indonesia untuk Federasi Rusia merangkap Republik Belarus Mohamad Wahid Supriyadi pada Maret 2019 lalu diperkenalkan kepada dua anak Rusia yang sama-sama bernama Sukarno.
Media Russia Beyond menulis, saat itu Dubes Wahid Supriyadi berkunjung ke Republik Dagestan, Rusia, untuk meresmikan pusat studi mengenai Indonesia. Dia didampingi oleh Ibrahim Abdulaev, Kepala Pusat Nusantara Universitas Humatarian and Paedogical Dagestan.
Nama dua anak itu Sukarno Kamilevich (Sukarno bin Kamil) dan Sukarno Magomedovich (Sukarno bin Muhammad).
Ayah mereka, Kamil Sukarnoevich dan Magomed Gashimovich (Muhammad bin Hasim) adalah saudara sepupu. Kedua anak itu berusia 12 dan 10 tahun.
Ibrahim menceritakan, penamaan ini adalah warisan kekaguman sang kakek buyut, Musa Gashimovich, terhadap keteladanan Sukarno yang diabadikan dengan menamai keturunannya dan masih terawat hingga kini.
Musa Gashimovich adalah Ketua Kelompok Tani (Kolkhoz) asal Dagestan. Dia tak berkenalan secara langsung dengan Sukarno. Dia mengenal presiden pertama RI itu saat sama-sama mengikuti sidang Komite Sentral Partai Komunis Uni Soviet di Kremlin, Moskow, pada Juni 1961.
Rapat itu dihadiri berbagai kalangan dan tokoh dari seluruh Negeri Beruang Merah dan beberapa pimpinan berbagai negara, termasuk Sukarno.
Ceritanya, tengah hari ketika sidang masih berlangsung, Sukarno tiba-tiba berdiri. Dia meminta izin meninggalkan ruangan kepada Sekjen Partai Komunis Nikita Khrushchev untuk melaksanakan shalat Duhur.
Khrushchev yang juga Presiden Uni Soviet mempersilakan Sukarno meninggalkan ruangan. Adegan itu membuat Musa Gashimovich terkejut. Dia seolah tak percaya peristiwa yang baru saja ia saksikan dengan mata kepalanya sendiri. Bagaimana bisa seseorang di rapat Partai Komunis dibolehkan beribadah. Padahal segala kegiatan beragama terlarang pada zaman Soviet.
Jika pun ada, dilakukan secara diam-diam dengan risiko yang tak ringan jika tertangkap basah. Dari situlah kekaguman Musa terhadap Sukarno tumbuh dan mengakar. Sebagai bangsa Dagestan yang muslim, dia kagum dengan keberanian Sukarno.
Setahun kemudian istri Musa melahirkan seorang putra. Dia langsung menamai anaknya itu Sukarno Musaevich (Sukarno bin Musa). Musa sempat menulis surat kepada Kedutaan Besar RI Moskow untuk meminta izin menggunakan nama sang presiden, tetapi tak pernah mendapat balasan.
Sukarno Musaevich kemudian punya anak laki-laki yang diberi nama Kamil Sukarnoevich. Kamil kemudian punya anak Sukarno Kamilevich.
Kisah Sukarno minta izin shalat yang disaksikan Musa di Kremlin diceritakan turun-temurun kepada keluarganya. Hingga kini nama Sukarno masih tersemat pada cicit, turunan keempat keluarga Musa. Padahal Sukarno belum pernah ke Dagestan saat lawatan ke Rusia.
Jasa Sukarno
Presiden Sukarno memang dikenal generasi tua muslim Uni Soviet terutama di kota-kota yang pernah dikunjungi Presiden Sukarno seperti Moskow, Saint Petersburg, Yekaterinburg, Sochi dan Samarkand yang kini merupakan wilayah Uzbekistan.
Dalam kunjungannya tahun 1956 di Leningrad, kini Sankt Peterburg, Sukarno meminta Nikita Khrushchev agar mengizinkan Masjid Biru yang saat itu difungsikan sebagai gudang senjata dikembalikan fungsinya sebagai masjid untuk umat Islam kota ini.
Khrushchev lantas mengizinkan masjid itu kembali dibuka sepuluh hari setelah kunjungan Sukarno. Imam Masjid Biru Cafer Nasibullahoglu mengakui jasa Sukarno itu.
Penemuan makam Imam Bukhari juga tak lepas dari permintaan Bung Karno. Masyarakat Samarkand sampai saat ini meyakini makam Imam Bukhari dibangun oleh Uni Soviet atas pengaruh Sukarno.
Penemuan makam Imam Bukhari itu diajukan Sukarno untuk memenuhi undangan Khruschev ke Soviet. Khruschev memenuhinya. Sukarno pun mengunjungi makam itu dengan perjalanan kereta api selama tiga hari dalam rangkaian kunjungan pertamanya ke Soviet. (*)
Editor Sugeng Purwanto