PWMU.CO– Kongres Pemuda yang kemudian menjadi peristiwa bersejarah Sumpah Pemuda 28 Oktober 1928 pada hari terakhir menempati rumah orang Tionghoa yang dijadikan asrama mahasiswa di Jl Kramat Raya 106 Jakarta.
Di antara peserta Sumpah Pemuda itu ada pelajar Tionghoa anggota Jong Sumatran Bond (JSB). Mereka adalah Kwee Thiam Hong kelahiran Palembang yang saat itu berusia 15 tahun sekolah di MULO. John Liauw Tjoan Hok, Oei Kay Siang, dan Tjio Din Kwie. Mereka aktivis pandu JSB.
Rumah besar itu kini menjadi Museum Sumpah Pemuda. Menurut laman museumsumpahpemuda.kemendikbud.go.id, gedung itu milik Sie Kong Liang yang dibangun permulaan abad ke-20 sebagai rumah tinggal.
Kemudian pemiliknya pindah rumah. Sejak 1908 Gedung Kramat disewa pelajar kedokteran Stovia (School tot Opleiding van Inlandsche Artsen) dan pelajar sekolah hukum Rechtsschool sebagai tempat tinggal dan belajar. Gedung itu dinamakan Langen Siswo. Tapi kemudian lebih terkenal dengan sebutan Commensalen Huis.
Mahasiswa yang pernah tinggal di situ seperti Muhammad Yamin, Amir Sjarifoedin, Soerjadi (Surabaya), Soerjadi (Jakarta), Assaat, Abu Hanifah, Abas, Hidajat, Ferdinand Lumban Tobing, Soenarko, Koentjoro Poerbopranoto, Mohammad Amir, Roesmali, Mohammad Tamzil, Soemanang, Samboedjo Arif, Mokoginta, Hassan, dan Katjasungkana.
Tahun 1927 gedung itu menjadi markas berbagai organisasi pergerakan pemuda untuk melakukan kegiatan pergerakan sesuai dengan aktivitas organisasi yang diikuti mahasiswa.
Bung Karno dan tokoh-tokoh Algemeene Studie Club Bandung sering hadir di Gedung Kramat 106 untuk membicarakan format perjuangan dengan para mahasiswa penghuni asrama.
Di gedung ini pernah diselenggarakan Kongres Sekar Roekoen, Pemuda Indonesia, dan Perhimpoenan Peladjar-Peladjar Indonesia (PPPI).
PPPI adalah perhimpunan para pelajar Indonesia yang didirikan pada bulan September 1926 oleh para mahasiswa Rechtshoogeschool te Batavia dan Technische Hoogeschool te Bandoeng. Bung Karno ada di dalamnya sebagai mahasiswa THB.
Rumah ini menjadi sekretariat PPPI dan sekretariat redaksi majalah Indonesia Raja yang dikeluarkan PPPI. Lantaran menjadi markas gerakan pemuda maka sejak tahun 1927 dikenal dengan nama Indonesische Clubhuis atau Clubgebouw (gedung pertemuan).
Ketika akan mengadakan Kongres Pemuda kedua, rapat panitia pada tanggal 15 Agustus 1928 menetapkan tiga tempat untuk acara yang berlangsung 27-28 Oktober 1928. Rapat hari pertama di Gedung Katholieke Jongenlingen Bond. Rapat kedua di Gedung Oost Java Bioscoop. Hari terakhir memilih asrama mahasiswa Indonesische Clubhuis Kramat Raya untuk hari penutupan yang melahirkan tiga ikrar pemuda.
Pilihan itu diputuskan karena ketua panitia Soegondo Djojopuspito juga ketua PPPI, yang sudah akrab dengan aktivitas gerakan pemuda bersama teman-temannya.
Usai gelaran Kongres Sumpah Pemuda, para mahasiswa yang tinggal di asrama itu banyak yang lulus belajar. Sewa gedung itu tidak diperpanjang lagi pada tahun 1934.
Setelah kosong, gedung itu disewa oleh Pang Tjem Jam selama tiga tahun yaitu 1934 – 1937. Pang Tjem Jam menjadikan sebagai rumah tinggal.
Berturut kemudian rumah itu antara tahun 1937 – 1951 disewa Loh Jing Tjoe. Penyewa baru ini membuka toko bunga pada tahun 1937-1948. Usaha bunga tutup, rumah itu diubah menjadi Hotel Hersia hingga tahun 1951.
Tahun 1951 – 1970 disewa oleh Inspektorat Bea dan Cukai untuk perkantoran dan tempat karyawannya.
Sebagai tempat bersejarah, Pemda DKI Jakarta kemudian membeli rumah itu pada 3 April 1973, Gedung itu direnovasi lantas dijadikan museum dengan nama Museum Sumpah Pemuda pada 20 Mei 1973.
Sekarang masyarakat bisa mengetahui sejarah Sumpah Pemuda dengan melihat koleksi museum gedung Kramat Raya 106 ini. (*)
Editor Sugeng Purwanto