Menjawab Menag Yaqut, Ternyata Menteri Agama Pertama Tokoh Muhammadiyah HM Rasjidi. Kolom oleh M. Anwar Djaelani, penulis buku “Jejak Kisah Pengukir Sejarah”
PWMU.CO – Tersebab pernyataan Menteri Agama Yaqut Cholil Qoumas yang asal-asalan, masyarakat lalu membuka sejarah Kementerian Agama (Kemenag). Maka, muncul aneka pertanyaan, misalnya, jika performa Menteri Agama (Menag) Yaqut yang seperti tak paham sejarah dan etika maka seperti apa sosok Menag yang pertama?
Memang, kontroversi di tengah-tengah masyarakat menjadi tak terhindarkan kala Menteri Yaqut berbicara ahistoris dan cenderung melukai hati setidaknya sebagian kalangan.
Baca saja berita ini: “Yaqut: Kemenag Itu Hadiah untuk NU, Bukan Umat Islam Umum”. Di dalamnya, ada kutipan pernyataan tendensius dia: “Kemenag itu hadiah untuk NU, bukan umat Islam secara umum. Tapi spesifik untuk NU. Saya rasa wajar kalau sekarang NU memanfaatkan banyak peluang di Kemenag karena hadiahnya untuk NU,” ujar Yaqut.
Sebuah Respon
Atas pernyataan Yaqut di atas, berikut ulasan ringan. Pertama, jika benar Kemenag hadiah untuk NU maka mengapa Menag yang ditunjuk umtuk kali pertama adalah Rasyidi?
Rasjidi muda belajar dan dididik di sekolah Muhammadiyah. Belakangan menjadi aktivis Muhammadiyah termasuk menjadi bagian dari pimpinan pusat-nya. Rasyidi juga belajar di sekolah Al-Irsyad bahkan dididik langsung oleh sang pendiri yaitu Surkati.
Kedua, untuk pernyataan Yaqut “Saya rasa wajar kalau sekarang NU memanfaatkan banyak peluang di Kemenag karena hadiahnya untuk NU”, maka tafsir utuhnya memang ada pada dia.
Tapi, tak salah jika masyarakat membayangkan hal-hal yang tak sama seperti yang dimaksud Yaqut tentang “memanfaatkan banyak peluang di Kemenag”.
Sekilas Sejarah
Kita lihat Indonesia merdeka, 1945. Setelah sekitar dua bulan menjadi Menteri Negera, Rasjidi oleh Perdana Menteri Sjahrir ditunjuk menjadi Menteri Agama yang pertama. Pada 3 Januari 1946 melalui pidato di Radio Republik Indonesia (RRI) Yogyakarta, pemerintah mengumumkan adanya Kementerian Agama dengan Rasyidi sebagai Menteri Agama-nya.
Pengumuman pemerintah itu disampaikan langsung oleh Rasjidi. Pada kesempatan itu, Rasjidi menyampaikan sejak tanggal 3 Januari 1946 secara resmi RI memiliki Kementerian Agama. Untuk itu, kata Rasyidi, umat Islam harus bergembira dan mensyukuri nikmat pembentukan Kementerian Agama ini.
“Dengan adanya Kementerian Agama,” kata Rasyidi, “Maka urusan-urusan keislaman yang selama ini terbengkalai, kini dapat diurus sendiri. Pengadilan Agama, kas masjid, perjalanan haji, dan lain-lainnya bisa ditangani oleh orang Islam sendiri.”
Selanjutnya, sejak itu, tanggal 3 Januari diperingati sebagai hari lahir Kementerian Agama. Hari itu populer disebut Hari Amal Bakti (Lukman Hakiem, 2021: 12-14).
Dari Yogyakarta
Siapa Prof Dr HM Rasjidi? Dia adalah sebuah contoh. Sekalipun seseorang lahir di sebuah keluarga berlatar-belakang abangan, tapi jika mendapatkan pendidikan dan lingkungan yang baik maka bukan tak mungkin dia malah menjadi pejuang Islam yang tangguh.
Di Kotagede Yogyakarta, pada 20 Mei 1915 lahir bayi yang lalu diberi nama Saridi. Dia tumbuh-kembang di sebuah keluarga yang mapan ekonominya. Hanya saja, keluarga itu abangan (sebuah istilah yang menunjuk kepada orang Islam yang kurang taat kepada syariah).
Saridi bersekolah di Kweekschool Muhammadiyah Yogyakarta. Suatu ketika, Saridi terserang typhus yang memaksanya untuk beristirahat 20 hari. Saat di rumah, dia tetap melanjutkan hobi membacanya.
Satu dari sejumlah bacaan-koran dan majalah-yang dilanggani ayahnya memuat berita kepindahan Ahmad Surkati dari Jakarta ke Lawang, Jawa Timur. Di Lawang, Surkati (dikenal sebagai ulama yang berpaham modern dan pendiri Al-Irsyad) membuka sekolah Al-Irsyad. Atas info ini, Saridi tertarik belajar di sana.
Berguru ke Surkati
Singkat cerita, Saridi yang ketika itu berusia 14 tahun bisa bersekolah di Al-Irsyad Lawang. Dia cerdas, sehingga proses kependidikannya lancar. Saat di kelas IV dia sudah membaca dan paham buku-buku referensi yang bisa dibilang berat semisal Alfiah karya Ibnu Malik. Kitab itu berisi 1000 syair tentang gramatika bahasa Arab. Khusus buku ini, Saridi mampu menghafalnya.
Saridi disukai Ahmad Surkati, sang guru. Ada hal menarik, saat sang guru yang kelahiran Sudan itu memanggil nama si murid. Bunyi yang keluar dari “lisan Arab” Surkati saat memanggil Saridi adalah Rasyidi.
Atas “insiden” itu, Saridi tak merasakannya sebagai sebuah masalah. Malah, dia merasa nyaman dengan panggilan itu karena punya makna yaitu “yang bijaksana”. Di kemudian hari, saat Saridi berhaji pada tahun 1937, dilengkapi dan “diresmikanlah” namanya menjadi Mohammad Rasjidi.
Sang Aktivis
Selepas bersekolah di Al-Irsyad Lawang, Rasyidi belajar ke Mesir. Bisa dibilang, Rasyidi termasuk bagian dari gelombang pertama–sekitar 1000 orang-warga Indonesia yang belajar di Mesir. Dia memulai di Darul Ulum (di bawah administrasi Al-Azhar). Sempat pula Rasyidi dididik Sayyid Quthb. Setamat dari Darul Ulum, Rasyidi ke Universitas Kairo mengambil jurusan Filsafat dan Agama. Dari kampus ini Rasyidi mendapat gelar Lc (License).
Pada 1938 Rasjidi pulang ke Indonesia dan langsung aktif di berbagai kegiatan. Dia menjadi guru, aktivis sosial-keagamaan, aktivis politik, dan banyak aktivitas lainnya.
Kegiatan diplomasi juga menjadi lahan pengabdian dia. Memang, hubungannya yang luas dengan tokoh-tokoh di dunia Arab dan keterampilannya dalam banyak bahasa seperti Arab, Inggris, Perancis, dan Belanda menyebabkan Rasjidi kerap mendapatkan tugas kenegaraan sebagai seorang diplomat.
Cermatilah, dalam perjuangan kemerdekaan, Rasjidi ikut berperan mengupayakan dukungan dari negara-negara Islam terhadap kemerdekaan Indonesia. Perjuangan diplomasi RI di Timur Tengah yang dilakukan oleh Rasyidi dan kawan-kawan menghasilkan pengakuan kedaulatan dari negara-negara anggota Liga Arab terhadap Republik Indonesia sebelum negara-negara lain memberi pengakuan.
Di sela-sela kegiatannya yang padat, Rasjidi masih bisa menambah ilmu. Pada 23 Maret 1956, dia maju ujian doktor dalam sebuah Ujian Terbuka di Universitas Sorbonne, Paris. Hasilnya? Dia lulus dengan disertasi berjudul l’Evolution de l’Islam en Indonesie ou Consideration Critique du Livre Centini (Evolusi Islam di Indonesia atau Tinjauan Kritik terhadap Kitab Centini). Catatan lain, dia orang Indonesia pertama lulusan Sorbonne dan meraih gelar doktor secara Cum Laude.
Ilmu dan pengalaman Rasjidi menjadikan dia terus-menerus mendapat banyak amanat. Sekadar menyebut contoh, berikut ini antara lain:
- Sekretaris, kemudian Ketua delegasi diplomatik RI ke negara- negara Arab (1947-1949).
- Dubes RI di Mesir dan Arab (1950-1951).
- Dubes RI di Pakistan (1956-1958).
- Associate Professor pada Institut Studi Islam, Universitas McGill Kanada (1959).
- Direktur Islamic Center, Washington, AS.
- Guru Besar Fakultas Hukum Universitas Indonesia. 7).Direktur Kantor Rabithah Alam Islami, Jakarta.
- Anggota PP Muhammadiyah.
- Anggota Pengurus Dewan Da’wah Islamiyah Indonesia Pusat.
Intelektual Kritis
Rasyidi dikenal tegas dan berani karena berbekal iman dan ilmu. Sikapnya yang tegas dalam membela Islam antara lain tampak ketika Rasjidi “meluruskan” Nurcholish Madjid (NM) soal konsep sekularisasi. Kata NM, “Sekularisasi adalah keharusan bagi setiap umat beragama, khususnya umat Islam”.
Atas hal di atas, Rasyidi pun menulis buku: ”Koreksi terhadap Drs Nurcholish Madjid tentang Sekularisasi”. Buku itu terbit 1972.
Rasjidi juga mengritisi pemikiran Harun Nasution yang menulis buku berjudul ”Islam Ditinjau dari Berbagai Aspeknya”. Rasyidi yang berpendapat bahwa buku itu harus dikoreksi, lalu menerbitkan buku secara khusus yaitu ”Koreksi terhadap Dr Harun Nasution tentang Islam ditinjau dari Berbagai Aspeknya”. Buku tersebut terbit pada 1977.
Pengalaman mendebat tokoh tak hanya dilakukan Rasjidi di Indonesia. Jauh sebelumnya, pada 1958, dia pernah mendebat Joseph Schacht (orientalis kaliber dunia) di Universitas McGill Kanada.
Suasana tegang sempat menyelimuti ruang diskusi. Sebab, di satu sisi sanggahan Rasyidi cukup kuat. Sementara di sisi lain, Prof Joseph Schacht adalah tokoh yang disegani karena memiliki otoritas. Di tengah situasi itu, Prof Toshohiko lalu dengan tegas berkata bahwa yang benar adalah pendapat Rasjidi.
Penulis Jempolan
Sebagai intelektual, Rasyidi itu komplit. Beliau pandai berbicara bahkan berdebat. Dia juga terampil menulis. Ada banyak karya tulis berupa buku, baik karya asli maupun terjemahan. Kesemuanya, buku-buku yang bermutu.
Karya-karya asli Rasjidi antara lain:
- Islam Menentang Komunisme.
- Islam dan Indonesia di Zaman Modern.
- Islam dan Kebatinan.
- Islam dan Sosialisme.
- Mengapa Aku Tetap Memeluk Agama Islam.
- Agama dan Etik.
- Empat Kuliah Agama Islam pada Perguruan Tinggi. 6).Strategi Kebudayaan dan Pembaharuan Pendidikan Nasional.
- Hendak Dibawa ke Mana Umat Ini?
Sementara, karya terjemahan dari Rasjidi, seperti:
- Filsafat Agama.
- Bibel, Qurán, dan Sains Modern.
- Humanisme dalam Islam.
- Janji-janji Islam.
- Persoalan-persoalan Filsafat.
Jejak-Jejak Lain
Kapasitas Rasjidi sungguh luar biasa. Dalam catatan Nuim Hidayat, Rasjidi yang menguasai sejumlah bahasa asing itu juga seorang hafidz (hafal al-Quran).
Sebagai tokoh dan pejuang umat, Rasjidi pada tahun 1967 ikut mendirikan Dewan Da’wah Islamiyah Indonesia (DDII) bersama Mohammad Natsir dan sejumlah tokoh Masyumi lainnya. Kala itu, beliau ditunjuk menjadi Wakil Ketua DDII.
Rasyidi pernah menjadi Penasihat Pimpinan Pusat Muhammadiyah. Pernah pula, menjadi anggota Dewan Pertimbangan Majelis Ulama Indonesia (MUI) Pusat. Pun, Rasjidi pernah mendapat amanah sebagai Imam Besar Masjid Agung Sunda Kelapa Menteng Jakarta.
Sekitar tahun 1980-an Rasjidi diminta oleh Kerajaan Saudi Arabia menjadi Kepala Kantor Perwakilan Rabithah Alam Islami di Indonesia. Itu, berlangsung dari tahun 1981 sampai 1988.
Apresiasi Tepat
Tentang Rasjidi, Menteri Agama Munawir Sjadzali MA (dalam dua periode 1983-1988 dan 1988-1993), mengatakan: Pertama, Rasjidi adalah Menteri Agama RI yang pertama. Kedua, Rasjidi adalah seorang pejuang kemerdekaan. Ketiga, Rasyidi adalah seorang ilmuwan Islam dan cendekiawan Muslim yang tangguh dan berwatak.
Perihal Rasjidi, mantan Rektor Unisba dan mantan Ketua MUI KH E.Z. Muttaqien, menyebut bahwa Rasjidi adalah seorang ilmuwan yang pendiam. Meski begitu, kalau berbicara selalu berisi mutiara.
Sebagai akademisi, lisan Rasyidi-seperti ungkapan E.Z. Muttaqien di atas-, selalu berisi “mutiara”. Maka, adalah wajar jika pada 1968 Rasyidi dikukuhkan sebagai Guru Besar Hukum Islam dan Lembaga-lembaga Islam Universitas Indonesia (UI). Pidato pengukuhannya berjudul “Islam dan Indonesia di Zaman Modern” (Sumber: ibtimes.id)
Sila Timbang!
Prof Rasyidi wafat pada 30 Januari 2001. Dengan catatan prestasi (baca: amal shaleh) yang seperti itu, maka tak salah jika kita menjadikan Rasyidi sebagai salah satu teladan. Teladan dalam banyak hal, terutama terkait dengan keteguhan iman dan ketinggian ilmunya.
Teladan lain dari ulama, ilmuwan, diplomat, dan penulis itu adalah tentang bagaimana seharusnya memandang posisi Kementerian Agama. Dulu pada 3 Januari 1946, sebagai Menteri Agama yang pertama, Rasyidi menyampaikan pidato perdana: Bahwa, “Berdirinya Kementerian Agama adalah untuk memelihara dan menjamin kepentingan agama serta pemeluk-pemeluknya.”
Alhasil, sila menilai pernyataan Menteri Agama Yaqut Cholil Qoumas yang menghebohkan itu. Sudah proporsional dan adilkah? (*)
Editor Mohammad Nurfatoni
Artikel ini adalah versi online Buletin Jumat Hanif Edisi 2 Tahun XXVI, 29 Oktober 2021/22 Rabiul Awal 1443.
Hanif versi cetak sejak 17 April 2020 tidak terbit karena pandemi Covid-19 masih membahayakan mobilitas fisik.