Patung Soekarno Bisa Jadi Bumerang oleh M Rizal Fadillah, Analis Politik dan Kebangsaan.
PWMU.CO– Instruksi Megawati kepada kadernya agar di setiap daerah dibuat patung Soekarno bukan hal yang bagus. Bahkan kontroversial dan bakal banyak penentangan.
Dinilai berlebihan dan keluar dari proporsi sebuah penghormatan. Kultus individu merupakan esensi dari keberhalaan. Berhala baru itu bernama Soekarno.
Alih-alih bangsa akan menghormati sesuatu yang berlebihan bahkan bisa sebaliknya yaitu menghinakan. Jika ada di mana-mana artinya barang obralan. Murahan. Sadarkah Megawati akan aspek psikologis seperti ini?
Jika dibuat di Kantor PDIP mungkin masih wajar. Tetapi jika membuat banyak di luar area internal kepartaian maka menjadi tidak wajar. Menghargai Soekarno sebagai proklamator bukan dengan membuat patung tetapi memaknai spirit perjuangannya yang hebat dan berkobar-kobar.
Kekeliruan pandangan dan instruksi dari Ketum PDIP Megawati Soekarnoputri untuk membuat patung Soekarno di mana-mana itu harus mempertimbangkan hal ini
Pertama, proklamator itu bukan hanya Soekarno sendirian tetapi dengan Moh Hatta. Jika alasan sebagaimana dikemukakan Mega untuk menghormati dan mengenal proklamator, maka patung itu semestinya adalah Soekarno bersama Moh Hatta. Tentu Mega atau kader akan berkeberatan karena yang dikehendaki adalah tampilan Soekarno seorang.
Kedua, sebagaimana singgungan Megawati soal umat Islam, meski dengan tendensius menyebut umat Islam garis keras, padahal masih banyak di kalangan umat yang memahami bahwa pembudayaan patung adalah di luar ajaran Islam.
Bisa mengganggu keimanan dan pencitraan religiusitas bangsa. Tak ada hubungan dengan garis keras atau garis lunak karena banyak dalil untuk itu.
Ketiga, Soekarno bukanlah tokoh sempurna, sehingga jika dikultuskan, maka bakal ada buka-bukaan atas cacat Soekarno. Soal perempuan, diktatorial, kedekatan dengan PKI, permusuhan dengan ulama, dan lainnya. Artinya itu menjadi bumerang.
Keempat, mengingatkan kedekatan Soekarno dengan komunis akan menimbulkan sikap antipati dan perlawanan dari umat Islam dan TNI. Ada luka dan kejengkelan sejarah yang dibangkitkan kembali melalui patung Soekarno yang ada di mana-mana tersebut.
Kelima, persoalan politik itu fluktuatif. Kini PDIP adalah pemenang lalu Megawati bisa berbuat leluasa untuk menyosialisasikan dan menampilkan figur Soekarno dalam bentuk patung. Jika PDIP kalah dan tidak berkuasa, dimungkinkan terjadinya penghancuran patung itu di mana-mana. Hal ini dapat membuat dada menjadi sesak.
Jadi instruksi Megawati mesti dievaluasi realisasinya karena dapat menjadi kontra-produktif. Penghormatan lebih efektif dilakukan melalui pemberian pelajaran sejarah pada generasi muda secara jujur dan tidak manipulatif.
Benar bahwa Soekarno adalah proklamator akan tetapi juga seorang diktator. (*)
Bandung, 29 Oktober 2021
Editor Sugeng Purwanto