Jas Merah Bung Karno oleh Daniel Mohammad Rosyid, Guru Besar ITS dan Ketua Pendidikan Tinggi Dakwah Islam Jawa Timur.
PWMU.CO– Setelah peristiwa G30S/PKI, setahun kemudian sang proklamator mengatakan Jas Merah: jangan sekali-kali melupakan sejarah.
Maknanya, jika kita tidak bisa belajar dari sejarah, maka sejarah akan mengajar kita dengan keras. Bagi sebagian manusia, mungkin pelajaran sejarah dianggap tidak penting. Matematika dan Fisika, mungkin dinilai lebih penting, tapi sejarah adalah pelajaran terpenting bagi manusia sebagai spesies terorganisasi.
Manusia bukan sekadar makhluk yang sedikit lebih cerdas dari simpanse atau makhluk biokimia rumit yang rapuh menghadapi virus. Yang membedakannya dari spesies lain adalah kemampuannya berpikir kompleks melalui simbol-simbol sehingga bisa belajar dari masa lalu.
Semesta simbol yang penting adalah bahasa sebagai repertoir instrumen berpikir yang paling sederhana. Berbeda dengan Matematika dan Statistika yang crispy, bahasa memberi instrumen untuk mengatasi fuzziness.
Sejarah diungkapkan terutama yang terpenting dengan bahasa dalam bentuk narasi tertulis yang menjadi collective memory. Sejarah bisa diungkapkan juga dalam dongeng secara bertutur dalam cerita rakyat dan folklore.
Kedua bentuk perekaman masa lalu beserta pemaknaannya oleh penulis dan penutur sejarah itu penting dan saling melengkapi.
Sayang sekali manusia kadang tidak belajar lagi karena merasa serba jumawa: berkuasa, berharta dan merasa umurnya masih panjang. Muhammad Rasulullah saw suatu ketika mengatakan, yang paling cerdas di antara manusia adalah yang paling ingat akan kematian. Cukuplah kematian menjadi nasihat bagi manusia.
Kematian politik Bung Karno setelah berjaya hampir satu dekade setelah Dekret Presiden 5 Juli 1959 itu, baiklah dicermati. Bagi Romo Franz Magnis Suseno, preemptive move Bung Karno itu terbukti menjadi blunder politik paling monumentalnya.
Walaupun oleh sebagian umat Islam dekret itu berarti pengakuan Piagam Jakarta dalam kerangka hukum nasional, namun segera setelah itu Bung Karno mulai memenjarakan tokoh-tokoh Islam di Masyumi di luar Partai NU seperti Natsir dan Hamka.
Bung Karno memanfaatkan dukungan PKI yang makin kuat dan kedekatannya dengan Moskow dan kemudian Peking. Dengan slogan Nasakom, Bung Karno secara lambat tapi pasti menjadi diktator. Orang-orang PKI seperti Aidit menjadi pendukung politik paling setia.
Merefleksikan satu episode dalam sejarah kelam bangsa ini, kiranya tokoh-tokoh nasionalis, NU dan komunis saat ini mewaspadai peringatan Jas Merah Bung Karno itu.
Sebagai gagasan, Nasakom ternyata hanya ilusi Bung Karno. Terbukti kemudian Bung Karno jatuh dan yang menang adalah kapitalisme Barat. Lebih dua dekade kemudian, saat keruntuhan tembok Berlin, Fukuyama mengatakan keruntuhan USSR sebagai The End of History. Memasuki milenium kedua, saat Fareed Zakarya menduga kemunduran AS dan meramalkan sebuah Post American World, kita justru menyaksikan kebangkitan China.
Saat dunia dihantam pandemi Covid-19, China dan Eropa mulai dihantam krisis energi dan utang, di Afghanistan justru muncul pemerintahan Islam setelah berhasil mengusir AS dari bumi Khurasan itu.
Jadi, sejarah memang belum berakhir dan sejarah tetap memberi pelajaran penting bagi mereka yang beriman. Orang-orang beriman diserukan untuk bertakwa yaitu merenungkan sejarah demi menyambut masa depan.
Maka jadilah Musa dan sahabat-sahabatnya, jangan menjadi Firaun, taipan Qarun, Kiai Bal’am dan teknokrat Haman.
Rosyid College of Arts, Gunung Anyar, 31/10/2021
Editor Sugeng Purwanto