Harga PCR Anjlok, Bisnis Mencurigakan oleh M Rizal Fadillah, Analis Politik dan Kebangsaan.
PWMU.CO– Penurunan harga pemeriksaan Reverse Transcription Polymerase Chain Reaction (RT-PCR) menjadi Rp 275 ribu untuk Jawa Bali dan Rp 300 ribu untuk luar Jawa Bali berlaku mulai 27 Oktober.
Pengumuman presiden itu menggembirakan sekaligus mengejutkan. Gembira karena turun harga. Terkejut karena membayangkan keuntungan banyak pihak ketika harga PCR Rp 500 ribu, Rp 900 ribu atau di awal pandemi Covid-19 mencapai Rp 2 juta. Saat Rp 500 ribu, keuntungan senilai 150 persen.
Komponen penentuan harga pemeriksaan PCR adalah pertama, jasa dokter, tenaga lab, tenaga ATLM, jasa pengambilan spesimen. Kedua, komponen alat medik habis pakai (hazmat, masker N95, cover kepala, dan lainnya). Ketiga, komponen reagen. Keempat, biaya operasional termasuk administrasi. Dan kelima, keuntungan.
Hal yang menjadi perhatian bersama adalah kemungkinan hadir penumpang gelap dari permainan harga, pemburu rente, dan mafia yang berhubungan dengan budaya korupsi yang melekat pada para pejabat terkait. Tingginya angka dan biaya impor menjadi titik rawan korupsi tersebut.
Apalagi jika didukung oleh rasa aman penggunaan dana APBN akibat berlakunya UU No 2 tahun 2020 yang membebaskan gugatan atau tuntutan hukum. Penting pula untuk dibandingkan dengan harga PCR India yang dapat hanya 500 Rupee atau 96 ribu rupiah.
Mengapa perlu pengusutan dugaan skandal PCR ini, yaitu :
Pertama, penurunan harga yang anjlok jauh dari Rp 2 juta menjadi Rp 300 ribu, berarti selama ini ada keuntungan besar yang “dimainkan” pengusaha fasilitas kesehatan yang tidak lepas dari peran pengambil kebijakan.
Said Didu mensinyalir regulasi pemerintah dan beban rakyat itu justru menguntungkan swasta. Swasta tentu tidak bisa bermain sendiri tapi perlu bantuan regulator.
Kedua, Mahkamah Konstitusi dengan Putusan No 37/PUU-VIII/2020 tanggal 28 Oktober 2021 mengoreksi UU No 2 tahun 2020 membatalkan hak imunitas pemerintah atas tuntutan hukum dalam hal penggunaan dana APBN sebagaimana diatur dalam Pasal 27 ayat (1), ayat (2) dan ayat (3).
Pembiayaan jor-joran dengan menggunakan dana APBN untuk penanganan Covid-19 yang kemarin aman kini menjadi terancam.
Ketiga, di tengah beban berat yang menyengsarakan rakyat atas berbagai regulasi pemerintah di masa pandemi, ternyata pengusaha fasilitas kesehatan bersama para pejabat terkait (juga yang tak terkait) justru meraup keuntungan besar dari proyek kesehatan penanganan Covid-19. Kondisi ini tidak bisa ditoleransi karena mempraktikkan asas mencari kesempatan dalam kesempitan adalah suatu kekejian.
Aneh sebenarnya, mengapa presiden yang justru mengumumkan penurunan harga, padahal penetapan tarif baru tersebut hanya berdasarkan Surat Edaran Dirjen Pelayanan Kesehatan No AK 02.02/1/3843/2021 tentang Batas Tarif Tertinggi Pemeriksaan RT-PCR yang mulai berlaku terhitung tanggal 27 Oktober 2021.
Terhadap dugaan bahwa terjadi skandal dalam program pemeriksaan RT-PCR ini, maka semestinya Presiden Jokowi segera memerintahkan jajarannya untuk melakukan pemeriksaan atau pembenahan tata kelola keuangan yang dinilai publik mencurigakan tersebut.
Audit dan pemeriksaan menyeluruh harus segera dilakukan. Menarik data KPK bahwa 70 persen pejabat di masa pandemi ternyata meningkat harta kekayaannya, termasuk para menteri apakah Luhut, Prabowo, Johni Plate, ataupun Yaqut Cholil Qaumas. (*)
Bandung, 1 November 2021
Editor Sugeng Purwanto