Deklarasi Balfour sumber konflik Palestina yang mengubah kehidupan negeri nyaman dan subur di Timur Tengah itu menjadi derita.
PWMU.CO– Pada Selasa (2/11/2021), warga Palestina mengenang 104 tahun Deklarasi Balfour. Dokumen Inggris yang memberikan tanah Palestina kepada gerakan Zionis untuk mendirikan ’tanah yang dijanjikan’ Israel.
Sejak itu hidup warga Palestina menderita hingga sekarang. Pada hari ini dukungan perjuangan Palestina melawan pendudukan Israel terus berkurang setelah empat negara Arab telah menjalin kerja sama dengan Israel. Yaitu Uni Emirat Arab (UEA), Bahrain, Maroko, dan Sudan.
Dukungan negara-negara ini, Israel makin berani melanggar Inisiatif Perdamaian Arab 2002 yang menetapkan penarikan pasukannya dari tanah yang diduduki selama perang Timur Tengah 1967. Bagi warga Palestina, normalisasi hubungan empat negara itu seperti tikaman dari belakang.
Deklarasi Balfour terjadi setelah Inggris menduduki Palestina tahun 1917 dari kekuasaan Kesultanan Turki Usmaniyah yang melemah.
Menteri Luar Negeri Inggris saat itu, Arthur Balfour menyetujui proposal kelompok Zionis yang ingin mendirikan negara Israel di tanah Palestina. Proposal ini sebelumnya ditolak oleh Sultan Abdul Hamid, khalifah terakhir Usmaniyah meskipun Zionis membeli tanah itu dengan harga mahal.
Saat Inggris berkuasa, Balfour memberi tahu Lord Lionel Walter Rothschild, pemimpin gerakan Zionis, pemerintah Inggris mendukung pendirian negara nasional, rumah bagi orang-orang Yahudi, di Palestina.
Deklarasi Balfour tertanggal 2 November 1917. Inggris menggunakan upaya terbaiknya untuk memfasilitasi pencapaian tujuan ini. Sayangnya dia mengabaikan hak warga Palestina yang sudah hidup tenteram di tanahnya.
Bagi Inggris keputusannya itu untuk mengakhiri orang-orang Yahudi bermasalah di Eropa. Ternyata yang terjadi kemudian memindahkan masalah orang yahudi itu ke Palestina.
Sejak itu gelombang migrasi orang Yahudi dari belahan dunia mana pun menuju Palestina. Zionis menggalang dana untuk memulangkan orang Yahudi ke tanah harapannya.
Setelah penarikan Inggris dari Palestina pada tahun 1948, tanah Palestina direbut oleh kelompok-kelompok Zionis yang mengusir ratusan ribu orang Palestina dari tanah mereka dan memproklamasikan pembentukan Negara Israel.
Orang Palestina mengenangnya sebagai hari Nakbah. Yaitu pengusiran dari tanah air mereka sendiri. Palestina kini di bawah kendali Israel. Lalu Yordania mengambil kendali Tepi Barat dan Jalur Gaza jatuh di bawah pemerintahan Mesir.
Jumlah pengungsi Palestina yang dipindahkan secara paksa melebihi 7 juta pengungsi, tersebar di seluruh belahan dunia, sebagian besar berada di Yordania.
Pembantaian Israel terus terjadi seperti Balad al-Shaykh tahun 1947, Deir Yassin tahun 1948, Desa Abu Shusha tahun 1948, Al-Tantora tahun 1948, Qibya pada tahun 1953, Qalqilya pada tahun 1956, Kafr Qasem pada tahun 1956 dan Khan Yunis pada tahun 1956.
Tahun 1967, dalam perang tujuh hari, Israel berhasil merebut Tepi Barat, termasuk Yerusalem Timur, Jalur Gaza, Semenanjung Sinai, dan Dataran Tinggi Golan.
Setelah penandatanganan Kesepakatan Oslo antara Israel dan Organisasi Pembebasan Palestina (PLO) pada tahun 1993, kota-kota utama di Tepi Barat (tidak termasuk Yerusalem) dan Jalur Gaza diserahkan kepada Otoritas Nasional Palestina.
Amerika Serikat menjadi pendukung Israel tutup mata dengan kebiadaban negara Yahudi ini. Bahkan AS memindahkan kedutaannya ke Yerusalem di masa Presiden Donald Trump. Ini adalah pukulan baru dan peningkatan ketidakadilan yang melanggar resolusi PBB.
Sumber Teror
Muhammad Abu Hashem, seorang peneliti hukum di Pusat Hak Asasi Manusia Palestina, mengatakan Inggris dan Israel memikul “tanggung jawab langsung atas semua pembantaian yang dilakukan terhadap orang-orang Palestina di wilayah-wilayah pendudukan.”
Dia menyalahkan Deklarasi Balfour sebagai sumber teror Zionis ke warga Palestina. “Pendudukan adalah kejahatan berkelanjutan yang dikutuk oleh hukum internasional,” kata Abu Hashem.
Dia menyerukan kampanye menekan Inggris untuk mengeluarkan permintaan maaf pada deklarasi yang membawa bencana itu.
Bagi Mustafa Ibrahim, seorang penulis dan analis politik Palestina, peringatan Deklarasi Balfour datang pada saat perjuangan Palestina menghadapi sejumlah bahaya.
“Perbedaan keseimbangan kekuatan antara Palestina dan Israel, kekeraskepalaan Israel mengenai pendirian negara Palestina, dan berkurangnya dukungan Arab mengancam perjuangan Palestina,” kata Ibrahim.
Dia menyatakan, normalisasi hubungan antara empat negara Arab dan Israel sebagai berbahaya karena memberikan Tel Aviv legitimasi dan melemahkan posisi Palestina.
Ibrahim menyerukan pengakhiran perpecahan antar-Palestina, antara kelompok Fatah dan Hamas, sebagai obat terbaik melawan Israel. (*)
Penulis/Editor Sugeng Purwanto