Perang 10 November 1945, Kisah Pertempuran Day to Day oleh Prima Mari Kristanto, aktivis Muhammadiyah Lamongan.
PWMU.CO– Perang 10 November 1945 sebagai awal dari pertempuran Surabaya yang besar dan panjang berlangsung tiga pekan hingga 30 November 1945.
Wartawan Australia Frank Palmos menulis suasana pertempuran itu dalam buku Surabaya 1945 Sakral Tanahku. Buku ini mengutip penulis-penulis perang sebelumnya ditambah kliping reportase wartawan-wartawan Indonesia dan asing yang meliput peristiwa itu.
Perang 10 November 1945 adalah konflik antara pejuang Surabaya dengan pasukan Inggris, pemenang Perang Dunia II yang datang untuk mengatur perlucutan senjata tentara Jepang.
Namun sikap tentara Inggris menimbulkan perselisihan hingga terjadi tembak menembak sporadis antara tanggal 28-30 Oktober 1945 di kawasan Jembatan Merah.
Dalam insiden itu granat dilempar ke sebuah mobil sedan yang terhenti barikade di mulut Jembatan Merah. Ternyata di dalamnya ada Brigjen Aubertin Walter Sothern Mallaby. Komandan Brigade India ke-49 itu tewas bersama mobilnya yang terbakar.
Kematian komandan pasukan Inggris di Surabaya itu menyebabkan keluarnya ultimatum dari Mayjen Robert Mansergh, Komandan Aliansi Angkatan Darat di Jawa Timur. Dia datang dari India mengambil alih pimpinan pasukan menggantikan Mallaby.
Bunyi ultimatum itu: memerintahkan rakyat Surabaya yang membunuh AWS Mallaby dengan kejam dan tak beradab untuk menyerahkan senjata hingga batas pukul 06.00 tanggal 10 November 1945. Lewat batas itu pasukan dari darat, laut, dan udara menyerang kota Surabaya sebagai hukuman.
Presiden Sukarno menyikapi ultimatum itu dengan menyerahkan keputusan kepada pemerintah dan rakyat Jawa Timur. Gubernur Jawa Timur R. Suryo, bersama Residen Surabaya Sudirman, dan Dul Arnowo sebagai Ketua Komite Nasional Indonesia Daerah Surabaya, melobi Mansergh tapi perundingan gagal.
Usai perundingan, Gubernur Suryo berpidato di radio pada tanggal 9 November 1945 pukul 9 malam. Dia menyampaikan tekad pemimpin masyarakat Jawa Timur untuk ”lebih baik hancur daripada dijajah kembali.”
Perlawanan
Frank Palmos menceritakan dalam bukunya, rakyat Surabaya tidak takut dengan ultimatum itu. Tak pelak terjadilah bombardir terhadap kota Surabaya mulai dari arah utara, Pelabuhan Tanjung Perak.
Pejuang Surabaya yang tergabung dalam barisan milisi melawan. Perang 10 November pun berkobar hebat. Kota terbakar. Gelombang pengungsian penduduk Surabaya keluar kota juga terjadi. Pengungsi menuju Tanggulangin, Mojosari, Mojokerto hingga Jombang.
Palmos menggambarkan usia para pejuang masih muda dan beragam latar belakang. ”Usia rata-rata remaja dan pemuda yang bergabung sebagai pejuang dan sukarelawan antara 15 tahun sampai 25 tahun dari beragam kalangan pelajar, mahasiswa, sarjana, pekerja, santri termasuk ibu-ibu dan para remaja putri,” tulis Frank Palmos.
Di antara para sarjana yang menonjol perannya antara lain para dokter seperti Mustopo dan Suhario. Keduanya memimpin pasukan sarjana dan mahasiswa membaur dengan sukarelawan rakyat.
Milisi rakyat juga makin besar anggotanya seperti yang didirikan oleh Bung Tomo bernama Barisan Pemberontakan Rakyat Indonesia (BPRI). Ada juga Hizbullah, Pemuda Republik Indonesia (PRI), juga pasukan semi tentara pemerintah bernama Badan Keamanan Rakyat (BKR) yang diisi anak-anak Heiho dan KNIL.
Dalam perang ini muncullah tokoh pemuda yang menonjol seperti Ruslan Abdulgani, Bung Tomo. Di kalangan militer seperti Sungkono, Mustopo, Suhario, Yonosewoyo, Abdul Wahab Siamin, Hasanuddin.
Bung Tomo melalui pemancar radio BPRI (Barisan Pemberontak Rakyat Indonesia) mengudara dengan pidato menyemangati pejuang dengan pekik takbir.
Hari itu berseliweran 12 pesawat tempur Thunderbolt meneror dari langit kota Surabaya dengan bom-bom yang berjatuhan. Di darat dari pelabuhan meluncur truk-truk pasukan infanteri Inggris berjalan dikawal barisan tank menuju pusat kota.
Pasukan ini dihadang pejuang Surabaya sehingga meletus pertempuran di kawasan Tanjung Perak, Willemsplein (Taman Jayengrono Jembatan Merah), dan sekitarnya.
Hari kedua langit Surabaya diteror lagi 24 pesawat tempur Thunderbolt dan Mosquito yang menjatuhkan banyak bom. Pertempuran meluas hingga di kawasan Semampir, Sawah Pulo dan Societeit (Jl. Veteran Jembatan Merah).
Di hari itu tank-tank dan panser Inggris mulai menyerang kampung-kampung Sidotopo, Kapasan, Semut dan Ngaglik yang menjadi basis perlawanan rakyat.
Hari ketiga pertempuran bergeser ke sekitar Masjid Kemayoran, Kantor Pos Kebonrojo dan viaduct Pasar Besar Straat. Lalu pertempuran di sekitar Dupak dan Asem Rowo yang banyak rawa-rawa, sehingga tank-tank Inggris terperosok dan pasukan Inggris banyak menjadi korban serangan pejuang.
Masuk Kota
Semakin hari sukarelawan dari luar Surabaya berdatangan ikut bergabung menambah semangat pejuang sejak perang 10 November 1945. Sukarelawan berdatangan dari milisi Pemuda Republik Indonesia Kalimantan, Sulawesi, Sunda Kecil (Bali), Maluku, Mojokerto, Madiun, Ponorogo, Jember, Hizbullah Jawa Barat, Garut, Cirebon dan lain-lain.
Logistik dapur umum dan tim paramedis juga didirikan untuk menyuplai makanan dan pengobatan. Obat-obatan di gudang-gudang peninggalan Jepang pun dibongkar. Keterbatasan rumah sakit dan paramedis di Surabaya menjadikan korban perang diangkut ke rumah sakit Sidoarjo, Malang, Mojokerto dan Jombang menggunakan kereta api pada malam hari melalui stasiun Gubeng dan Wonokromo.
Memasuki tanggal 20 November 1945 pertempuran sudah masuk pusat kota. Embong Malang, Kedungdoro, Kedungklinter, Pandegiling, Kranggan, Praban, Gentengkali, Plampitan, Tunjungan, Kaliasin dan Pregolan berkobar.
Di kawasan Darmo dan Keputran, para pejuang mendapat bantuan tambahan dari pelajar-pelajar SMA membaur dengan satuan dari Sulawesi Selatan dan Kalimantan.
Semakin hari para pejuang terdesak ke selatan. Mulai Kayoon, lalu mundur ke Darmokali sampai Jembatan Wonokromo. Pertempuran dan pertahanan terakhir memasuki tanggal 28 sampai 30 November 1945 bergeser ke daerah Ketintang dan Gunungsari. Pasukan Tentara Repubik Indonesia Pelajar (TRIP) mempertahankan daerah ini. Tapi akhirnya terdesak mundur ke Sidoarjo dan Krian.
Memasuki bulan Desember 1945 Inggris menghentikan serangan. Markas para pejuang bergeser ke luar Surabaya, di antaranya Krian dan Gedangan. Sebagian besar lainnya membentuk basis-basis gerilya di Malang, Blitar, Kediri, Jombang, Nganjuk dan Madiun sejak Surabaya dikuasai Inggris lalu diserahkan kepada NICA Belanda. (*)
Editor Sugeng Purwanto